Wamena, Jubi – Sejak Tahun 1980-an hingga Tahun 2000-an, becak jadi transportasi legenda yang merajai jalan-jalan di Kota Wamena. Namun saat ini, kisah becak sebagai raja jalanan di Lembah Baliem mulai tergerus seiring ramainya kehadiran transportasi roda dua dan roda empat. Kisah becak sebagai transportasi mula-mula di Kota Wamena, nampaknya akan menjadi cerita legenda bagi generasi mendatang.
Walau transportasi roda tiga itu hingga kini masih dijumpai di ibukota Provinsi Papua Pegunungan itu, namun diperkirakan usia operasionalnya tidak akan berlangsung lama, mengingat transportasi roda dua dan roda empat kini lebih mendominasi layanan transportasi pilihan warga di Kota Wamena.
Wamena yang berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut, secara tata letak kotanya memang jalannya datar, sehingga cukup pantas moda transportasi roda tiga itu hadir di Lembah Balim. Sejak dulu hingga kini Becak masih menjadi daya tarik tersendiri karena selain di Wamena, di pulau Papua becak juga bisa dijumpai di Pulau Dom, Sorong, Papua Barat.
Selain menjadi andalan warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, Becak juga kadang menjadi tumpangan bagi para wisatawan yang berkunjung ke Wamena hanya untuk berkeliling kota. Meski becak di Wamena masih wara wiri menjadi moda transportasi, namun keberadaannya kini mulai kurang “dilirik” warga. Bahkan, keberadaannya pun mulai berkurang dari segi armada.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Jayawijaya, Yudha D Daby menyebut jika jumlah armada becak mulai berkurang dibandingkan di awal 2000-an. Menurut Yudha Daby, dari sepengetahuannya becak ada di Wamena ada sejak jaman J.B Wenas selaku Bupati Jayawijaya kala itu yang memunculkan ide untuk menghadirkan becak, dengan kondisi Kota Wamena yang datar.
“Waktu itu di seluruh Papua di awal 90-an (dulu Irian Jaya) tidak ada becak, hanya ada di Pulau Dom, Sorong (kini Papua Barat Daya). Hal itu yang membuat Bupati J.B Wenas tertarik untuk hadirkan Becak di Lembah Balim,” kata Daby kepada Jubi di ruang kerjanya baru-baru ini.
Dari penjelasannya sesuai dengan sejarah hadirnya becak di Wamena, bermula dibawa dari Makassar, Sulawesi Selatan ke Jayapura sekitar 1979. Meski awalnya hanya beroperasi di seputaran Sentani, dari situlah muncul ide untuk menghadirkan Becak di Wamena sebagai salah satu angkutan transportasi masyarakat.
“Setelah ada becak di Wamena, masyarakat lokal maupun tamu yang berkunjung, lebih senang naik Becak dan saat itu becak sangat digemari,” katanya. Bahkan, pemerintah Kabupaten Jayawijaya pun mengeluarkan peraturan daerah mengenai becak dimana penarik becak haruslah masyarakat asli untuk mencari pendapatannya.
Bahkan setiap becak yang ada hingga kini dilarang untuk melewati jalan Yos Sudarso, dimana merupakan pusat pemerintahan. Dan dari informasi Dinas Perhubungan setempat, memang area jalan tersebut merupakan kawasan tertib berlalu lintas dan bebas becak. Namun seiring perkembangan waktu, setelah hadirnya ojek perlahan Becak mulai berkurang. Bahkan dari data yang ada, sekarang tersisa sekitar belasan pengusaha becak ada di Wamena.
Keberadaan Becak mulai berkurang sejak Tahun 2020. Banyak pengusaha becak pun menjual unit yang dimiliki. Padahal dari segi kebutuhan warga, dengan mampu memuat barang yang cukup banyak apalagi bagi mama-mama ketika ingin ke pasar membawa hasil kebunnya.
“Sekarang memang masih ada yang gunakan becak untuk angkut barang dagangan ke pasar, tetapi mungkin masyarakat lebih memilih ojek maupun taksi/angkutan pedesaan karena lebih cepat sampai,” ujar Daby.
Becak kian tergerus
Saat ini yang usaha becak bisa dihitung dengan jari. Seperti yang disampaikan Mama Dian (sapaan yang akrab dikalangan pengayuh becak). Dimana dulunya ia usaha becak hampir puluhan unit, namun sekitar 2012 ia memilih untuk menjual beberapa becaknya. “Lebih kepengin usaha lain saja, masalahnya tempat juga tidak cukup karena waktu itu mau rehab rumah,” katanya.
Sama halnya yang dialami pengusaha Becak di Wamena, Supardi yang memulai usaha becak sejak 1997 yang berawal join dengan rekannya untuk membeli dua unit becak yang sudah ada di Wamena dengan harga kisaran satu juta hingga 1,6 juta rupiah.
Dari dua unit ia mengembangkan usaha becaknya itu hingga kini memiliki puluhan unit. “Awalnya saya buka bengkel, lalu ada uang beli becak pakai usaha tetapi tetap masyarakat asli yang narik. Ada uang lagi saya beli becak lagi,” kata Supardi.
Usaha becak yang digelutinya dari setoran dari Rp 10.000-Rp 12.000 di tahun 90-an, kini ia pun lebih fokus untuk membuka bengkel becak sendiri. Namun, saat ini armada yang ia miliki pun mulai berkurang, selain lantaran mulai sepi peminat, ada beberapa unitnya juga hilang dan juga rusak.
“Sekarang ini sulit usaha becak, selain harga suku cadang atau perlengkapan becak mulai naik dan susah didapat, juga saat ini kurang diminati dengan semakin banyaknya kendaraan baik roda dua maupun empat,” katanya.
Tinus Pahabol yang kesehariannya pengayuh becak di setiap jalan di Wamena mengaku mulai narik becak mulai umur 13 tahun itu sudah 10 tahun lebih menyebut keadaan mencari nafkah dengan becak lebih mudah dulu, dibandingkan saat ini.
“Dulu mungkin ojek masih sedikit, sekarang sudah banyak. Dulu di 2014 bisa dapat 300 ribu rupiah per hari, sekarang kadang 150 ribu atau bahkan di bawah itu pendapatan per hari, belum lagi harus setoran ke yang punya becak lagi,” kata Pahabol.
Meski begitu, hingga kini keberadaan becak memang masih cukup mudah dijumpai di setiap jalanan Kota Wamena, seperti halnya di depan Bandara Wamena. (*)
Discussion about this post