Jayapura, Jubi – Gereja Kingmi di Tanah Papua menentang pengerahan pasukan militer TNI-Polri berlebihan apalagi dengan ditingkatkannya status operasi pembebasan Pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Mehrtens, dari pendekatan lunak menjadi siaga tempur.
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt. Tilas Moom mengaku belum mengerti arti nama “Operasi Siaga Tempur” yang dikeluarkan Panglima TNI baru-baru ini. Namun, Pendeta meyakini operasi ini sangat berpotensi melahirkan lebih banyak korban nyawa umatnya dan berdampak luas.
“Waktu status operasi belum siaga tempur saja korban jatuh, apa lagi dengan status baru ini dan ditambah korban dari prajurit TNI yang gugur ditembak TPNPB, pasti mereka marah. Kami khawatir sekali akibatnya kena umat kami di Ndugama. Panglima harus turunkan status itu, libatkan kami gereja masuk ke sana,” kata Pdt. Tilas Moom kepada Jubi, Sabtu (22/4/2023).
Pendeta Moom menuturkan pihaknya sebagai gereja yang memiliki basis umat paling besar di Ndugama tidak pernah dilibatkan pemerintah maupun aparat keamanan dalam upaya-upaya pembebasan Kapten Philip yang masih disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di bawah pimpinan Egianus Kogoya.
“Posisi kami gereja Kingmi di mana? Sampai hari ini tidak ada yang hubungi kami sebagai gereja yang punya basis umat di situ. Kami juga sudah bicara melalui media ini dan sertakan nomor, tanggal 17 Februari lalu, tapi tidak ada (yang telepon). Tiba-tiba status naik. Sebenarnya mereka bicara dengan siapa dari gereja. Kami pertanyakan TNI Polri bagian kami sebagai gereja di mana,” ujar Pdt. Moom.
Sinode Kingmi di Tanah Papua membawahi 13 Klasis di wilayah Ndugama. Sebagian besar gerejanya kini kosong, ditinggalkan umat untuk berlindung.
Koordinator gereja Kingmi wilayah Nduga, Pdt. Eliaser Tabuni mengatakan, “Sebagian besar gereja kami tutup di sana, jemaat-jemaat kami takut jadi lari. Ada yang ke Kenyam (ibukota Nduga), yang punya uang bisa keluar Nduga, tapi masih banyak juga yang sembunyi di hutan-hutan,” ujar Pdt. Tabuni menjelaskan situasi jemaatnya.
Pdt. Eliaser Tabuni menjelaskan, mulanya pada Februari lalu, sebagian besar umatnya berkumpul di Nduga untuk mengikuti Rapat Kerja (Raker) yang diikuti oleh 13 Klasis. Dalam rangka Raker itu, beberapa warga mulai kembali membuka gereja-gereja yang sempat kosong ditinggal warga pada pengungsian tahun 2018. Namun, warga kembali harus mengungsi setelah penyanderaan Pilot Susi Air, Kapten Philip terjadi yang melahirkan kontak tembak antara TNI-Polri dengan TPNPB.
“Distrik Mbulmolyalma, yang ditinggalkan mengungsi tahun 2018 itu, tempat kami konferensi, jadi masyarakat ada yang sudah masuk. Begitu juga Klasis Mbua, Iniye, Nduga Barat, semua ada,” ujar pendeta.
“Tapi yang diusir keluar (mengungsi) dari tahun 2018 sampai hari ini itu klasis Yigi Timur, Yigi Barat, Mapenduma, Mugi, Yuguru, dan Mbulmoyalma. Itu yang mengungsi. Tapi sekarang ini, semua yang tadi tidak disebut itu sudah keluar. Klasis Paro, Yuguru semua sudah masuk ke Kenyam dengan jumlah 52 KK. Baru tambahan kemarin 66 KK dari Mugi, Yigi sampai Distrik Kroptak yang sudah masuk Kenyam. Sebelumnya mereka lari sembunyi di hutan, bertahan di goa-goa,” Pdt. Tabuni menjelaskan.
Selain ke ibukota Nduga di Kenyam, Pdt. Tabuni menyebut banyak umatnya yang juga mengamankan diri ke lintas kabupaten.
“Yang lari ke Kuyawage itu dari Yugur, Yenggelo, Kageyam, Mapenduma, Mugi, sampe Yigi juga. Sebagiannya menuju ke Kuyawage, dari sana ke Lanny Jaya dan Wamena. Jadi beberapa distrik ini mulai kosong, gereja kosong. Kalau Kingmi delapan klasis, 82 gereja. 82 gereja itu yang mereka lari mengungsi, belum hitung dengan yang distrik,” lagi kata pendeta.
Jaminan keamanan bagi pekerja gereja
Hingga saat ini pihak gereja mengaku kesulitan dalam melakukan pemantauan langsung di lapangan karena ketiadaan jaminan keamanan.
Pdt. Tilas Moom mengatakan dengan tidak adanya jaminan keamanan, dirinya sangsi menginstruksikan para gembala dan pendeta untuk mengecek langsung di lapangan. Bukan tanpa alasan, Pdt. Moom merasa trauma dari pengalaman yang dialami sejumlah hamba Tuhan di daerah-daerah perang antara TNI-Polri dengan TPNPB seperti di Nduga dan Intan Jaya, baru-baru ini.
“Kami belum instruksikan kepada pekerja-pekerja gereja. Kami sudah coba koordinasi langsung dengan koordinator tapi tidak ada ruang gerak. Tidak berani masuk. Karena pengalaman Pdt. Nirigi mati ditembak di halamannya sendiri, Pdt. Yeremia Zanambani, orang tahu itu pendeta tapi mati ditembak juga di halamannya sendiri di Intan Jaya. Dan, terakhir kami dapat informasi satu lagi pendeta di Intan Jaya, Pdt. Ebi yang mati dalam kondisi terbakar di rumahnya. Jadi, kalau tidak ada jaminan keamanan dari TNI Polri, kami juga takut tidak bisa ke lapangan,” ujar Pdt. Moom.
Pdt. Moom, yang terpilih menjadi Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua dalam Konferensi XI di Timika tahun 2021 itu, mengaku telah berusaha berkomunikasi dengan pihak pemerintah daerah maupun aparat keamanan, namun tidak mendapatkan tanggapan positif.
“Pemerintah daerah tidak tanggapi, TNI Polri marah-marah. Jadi sampai hari ini kami gereja Kingmi di Tanah Papua yang punya tempat di sana ini juga hadapi tantangan…dimana umat kami mau ditaruh apalagi sudah operasi besar begini,” kata Pdt. Moom.
Menanggapi status operasi “Siaga Tempur” yang dinyatakan Panglima baru-baru ini, Pdt. Tilas Moom dengan tegas menolak dan meminta evaluasi kembali rencana operasi militer karena akan berdampak semakin luas dan menambah panjang daftar korban jiwa masyarakat sipil.
“Tentu kami tidak setuju. Apalagi Alkitab mengajar kami jangan membunuh. Jadi kami mendesak yang penting amankan umat sipil kami,” harapnya. (*)