Nabire, Jubi – Wabah demam babi Afrika atau Africa Swine Fever (ASF) yang turut merebak di Nabire, Provinsi Papua Tengah membuat Yohanes Mote, seorang peternak babi asal suku Mee, terpaksa kehilangan 85 ekor lebih babinya, baik induk maupun anakan.
“Sekitar 20 ekor babi [yang mati] itu saya kubur langsung bersamaan, karena matinya serentak. [Menyusul] puluhan babi yang lain [hingga] saya hubungi dinas agar datang [membantu] mengangkut untuk dikubur,” ungkap Mote kepada Jubi saat ditemui di Bukit Meriam, Nabire, Papua Tengah, Kamis (9/1/2025).
Kejadian matinya babi secara berurutan itu menurut Mote terjadi akibat rutinitas pola makan babi yang dilanggar, sehingga babi menjadi rentan tertular virus. Dia mengaku babi ternaknya yang biasa diberi makan olahan sendiri, saat itu diluar pengawasannya, mendapat makanan sisa sayur dan ubi dari aktivitas bakar batu yang diduga tidak steril dari virus ASF.
“Setelah mengonsumsi makanan tersebut anakan babi yang sempat makan makanan itu pindah ke kandang lain, sehingga mengakibatkan virus itu tersebar dari anakan babi menularkan ke kandang yang satu ke kandang yang lainnya, akhirnya terkena [semua],” katanya.
Menurut Mote gejala demam pada babi-babi lebih dulu terjadi di wilayah perkotaan. Saat itu ternak babinya, di Kampung Gerbang Sadu Nabire, masih aman dari dampak virus ASF. Dia hanya menyesali kealpaannya mengontrol makanan yang diterima ternaknya hingga habis tak bersisa.
“Saya tidak kasih makan [ternak babi] ampas makanan dari warung maupun ampas makanan. [Makanan babi] saya olah sendiri dari tanaman di sekeliling rumah saya sehingga saya punya ternak babi itu belakangan baru mati karena makananya juga lengkap. Cuma kecolongan di sisa makanan barapen itu [sehingga ternak mati],” katanya.
Saat ini ternak babi milik Yohanes Mote habis tak bersisa. “Sekarang saya punya kandang [babi] kosong tidak ada satu ekor babi yang hidup, virus sudah sapu rata ternak peliharaan saya,” katanya dengan nada sedih sambil menceritakan bagaimana ternak babinya sempat dikirim ke Kabupaten Deiyai dan Dogiyai untuk pesta natal akhir tahun lalu.
“Di Nabire saya juga sempat bunuh satu ekor, dan setelah natalan baru babi saya habis [mati] semua,” katanya.
Mote berharap virus ASF ini dapat diatasi dan berakhir secepatnya agar dapat beternak babi kembali. Pengalaman kematian ternaknya di awal tahun 2025 itu dia jadikan pelajaran penting untuk berbenah.
“Saya akan bikin kandang permanen yang lebih baik lagi. Dan kedepan saya akan lebih teliti lagi terkait [virus] dengan mengantisipasi wabah atau penyakit sejenisnya yang mengancam ternak saya,” katanya.
Peristiwa ini membuat usaha ekonomi Yohanes Mote merugi. Dia sangat berharap wabah ASF segera berakhir agar ia bisa kembali beraktivitas.
“Kami tidak ada pekerjaan lain hanya [beternak] babi, satu-satunya usaha yang menjanjikan, kalau ternak ayam, bebek itu kami pelihara untuk konsumsi [sendiri],” katanya.
Indukan babi produktif yang tinggal kenangan
Mote menceriterakan ihwal mulanya ia memelihara ternak babi pada tahun 2015. Ia memperoleh induk babi yang sekali beranak bisa sampai 13 ekor.
“Awal saya pelihara babi sudah beranak sampai 13. Dari 13 ekor babi itu ada 8 ekor babi saya pelihara dan jadi indukannya, sisanya saya bagi ke keluarga untuk mereka pelihara. Dari 8 ekor itulah kemudian babi berkembang banyak,” kenangnya.
Mote mengatakan dari delapan indukan babi itu ia pernah memanen hingga 80-90 ekor anakan babi.
“Jadi satu kali ini beranak lebih dari 10, berarti itu sudah lebih lagi [dari 90]. Karena ada satu ekor babi yang beranak sampai 12-13 ekor,” katanya.
Untuk pakan ternaknya Mote biasa menggunakan ampas tahu, pisang, dan daun singkong yang dicampur dan dijadikan makana. Ada kalanya bahan-bahan itu dia campurkan dengan beras.
“Kesehatan babi bergantung kepada (kebersihan dan kualitas) pakan. Pemberian pakan harus dikontrol supaya virus tidak menyebar dan babi tidak mudah diserang penyakit,” katanya.
Mote menyebutkan tahun 2017 produktivitas babinya bertambah. Indukan 5-6 beranak sehingga bibitnya bertambah banyak.
“Karena saking banyaknya, saya menjual babi untuk membeli makanan babi, perbaiki kandang. Karena kalau babi beranak terus berarti itu kandang tidak cukup. Sampai saya tambah beberapa kandang hingga 38 pintu. 38 pintu itu di dalam satu pintu berisi 4 ekor sampai 5 ekor, ada yang 5 ekor, ada yang 3 ekor,” katanya.
Mote mengatakan banyak pembeli senang membeli babinya karena dia dianggap piawai memelihara babi dan induk babi yang beranak 12 ekor sampai 13 ekor itu.
“Mereka juga senang karena babi yang saya pelihara itu daging dan gemuknya yang tebal sehingga mereka selalu pesan ke saya dalam jumlah banyak. Mereka bayar kontan ke saya,” katanya.
Kisah pemilik babi lainnya di Nabire, Wegobi Pigai, mengaku segera memberi ternak babinya obat flu yang dibeli di apotik, setelah mendengar adanya wabah ASF.
“Saya coba dan berhasil [karena] saat wabah berlangsung babi saya tidak mati, sampai sekarang tidak ada gejala-gejala [ASF] yang ada pada ternak saya,” katanya.
Seperti halnya Mote, Pigai juga sangat berhati-hati dalam memberi makan ternaknya. Dia tidak pernah sembarangan memberikan makanan kepada ternak babi yang dipeliharanya.
“Saya harus belajar dari pengalaman yang ada bahwa saya akan kontrol makanan ternak babi supaya babi tidak terserang virus ASF,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga, Lina Douw yang hanya memiliki dua ekor babi terpaksa kehilangan keduanya. Satu ekor babi mati pada tanggal 11 Desember 2024, menyusul satu ekornya lainnya yang dipotong sebelum ikut mati.
“Yang mati kami kubur di halaman rumah. Sekarang sudah tidak ada babi lagi di kandang. Kami tunggu sampai nanti wabah reda baru kami akan pelihara babi lagi,” katanya.
Douw menyayangkan kematian babi-babi ini. Dia merasa rugi karena babi itu telah dipeliharanya begitu lama namun mati dalam sekejap.
“Kami pelihara setengah mati tapi sayang wabah ini membuat kami rugi. Tapi kami mau bicara apa lagi karena ini wabah,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!