Jayapura, Jubi – Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia atau PGI, Pdt. Ronald Richard Tipilatu mengatakan, gereja bersolider terhadap perjuangan masyarakat adat di Merauke, Papua Selatan yang menjadi korban Proyek Strategis Nasional atau PSN.
Katanya, pihak gereja sepakat untuk bersolider memberikan dukungan kepada masyarakat adat di Merauke.
Pernyataan itu disampaikan Pdt Ronald Tapilatu dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Jakartanicus saat media briefing, Selasa (17/6/2025).
Konferensi pers itu dalam rangka menanggapi surat pelapor khusus PBB dan tindakan mengabaikan Pemerintah Indonesia.
“Jadi bapak, ibu dan saudara-saudara di Merauke, kalian tidak sendiri. Kami gereja juga ikut memberikan dukungan yang pasti, terhadap apa yang dialami saudara-saudara di Merauke dalam hubungan dengan Proyek Strategis Nasional dan Food State yang merampas hak-hak masyarakat adat disana,” kata Pdt Ronald Tapilatu.
Pdt. Ronald berharap melalui media briefing itu, publik mendapat gambaran mengenai sikap pemerintah yang perlu direspons, dan bagaimana menyikapi itu dengan pikiran-pikiran yang bisa menggugah hati pemerintah.
Menurutnya keberadaan PSN di Merauke bukan hal yang sederhana. Namun lebih pada masalah perampasan hak hidup, yang juga menjadi tanggung jawab negara.
“Oleh karena itu, kita punya perjuangan ini pasti masih panjang. Karena itu, kita perlu hemat banyak tenaga karena kalau kita sakit atau tidak hemat tenaga, maka perjuangan tidak bisa maksimal. Jadi kita sama-sama perjuangkan hak-hak yang dirampas itu,” ucapnya.
Sebelumnya, sembilan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB mengirimkan surat bersamaan kepada Pemerintah Indonesia pada 7 Maret 2025.
Surat itu terkait dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM dan lingkungan akibat pelaksanaan Proyek Strategis Nasional atau PSN di Kabupaten Merauke.
Dalam suratnya, para pelapor khusus PBB itu menyoroti perampasan tanah, kerusakan lingkungan, intimidasi terhadap masyarakat adat, ketiadaan prinsip free, prior, and informed consent atau FPIC, dan minimnya akuntabilitas.
Pemerintah Indonesia merespons surat itu pada 6 Mei 2025. Namun jawaban tersebut dinilai tidak substantif dan menghindari isu pokok.
Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia mengatakan, Pemerintah Indonesia menanggapi dokumen yang dikirimkan pelapor khusus PBB itu.
Inti tanggapan Pemerintah Indonesia adalah membantah adanya pelanggaran HAM dan lingkungan sebagaimana yang dituduhkan.
“Ada pelapor hak atas pangan, pembela HAM, hak mendapatkan lingkungan bersih, sanitasi yang sampaikan dugaan pelanggaran HAM dan lingkungan itu. Tapi Pemerintah Indonesia menanggapi bahwa itu tidak benar. Apa yang disampaikan pelapor khusus ini tidak benar. Dalam jawaban itu, Pemerintah Indonesia terkesan menjadi juru bicara korporasi,” kata Nurina Savitri. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!