Jayapura, Jubi – Bagi orang Marind di Kabupaten Merauke, padi itu tanaman biji-bijian yang biasa dimakan burung, sebab mereka sudah lama hidup dengan pangan lokal dari rimbunan dusun sagu, talas, umbi-umbian, dan kumbili. Bahkan orang-orang di Pulau Kimaam menanam kumbili dengan model pertanian terapung, karena wilayah mereka berawa.
“Kita ini punya totem buah kelapa dan bukan sawit apalagi bersawah dengan menanam padi-padian yang bukan pula totem dari nenek moyang kita,” katanya, dalam diskusi Konsolidasi Solidaritas Merauke pekan lalu di Merauke.
Menurutnya, kini masyarakat harus berhadapan dengan pembukaan lahan besar-besaran untuk sawah dan perkebunan tebu. Padahal masyarakat pribumi di Bumi Animha sudah lama terbiasa dengan sagu, sebab puluhan ribu hektare sagu berada di hutan rawa sebagai benteng hidup yang menjaga keseimbangan lingkungan, terutama untuk melawan musim hujan yang panjang dan juga musim kemarau yang lama.
“Begitu pula dengan fungsi hutan pohon bush alias eucalyptus yang akan menyimpan air di kala musim kemarau, dan menahan laju derasnya air saat musim penghujan. Kondisi tanah di Papua Selatan jelas berbeda dengan Pulau Jawa yang punya gunung berapi, sehingga tak heran kalau tanah di sana subur dan cocok menjadi areal pertanian menetap terutama untuk areal persawahan. Walau demikian, tanah sesubur itu masih harus dipupuk lagi,” katanya.
Para pakar pertanian menyebutkan bahwa lahan pertanian di Papua Selatan terutama di Merauke bersifat asam, dan tentunya miskin akan zat hara sehingga memerlukan pupuk yang berlebihan. Anggapan bahwa tanah hutan tropis subur, karena adanya hutan yang lebat keliru. Hampir semua tanah hujan tropis tidak sesuai untuk kegiatan pertanian intensif.
“Apakah padi-padian dan perkebunan tebu bisa menangkis atau menahan semua musim dan iklim kemarau serta hujan yang lama, ketika menurunkan butiran demi butiran air dari langit di Papua Selatan?” katanya.
Hal itulah yang terlintas di antara para penduduk Bumi Animha dari generasi ke generasi. Perubahan zonasi kehidupan mereka dari areal berburu, laut dan sungai untuk mencari ikan, menokok sagu dan berkebun dengan pola berpindah-pindah karena pemanfaatan lahan tropis sesuai dengan kondisi ini.
Bahkan areal keramat yang mestinya harus dilindungi dan dijaga, telah berubah fungsi menjadi areal perkebunan besar dengan luasan mencapai jutaan hektare.
“Kita mengenal musim dengan mengenal peristiwa alam terutama melihat bintang dan langit, kalau bintang pagi muncul dan kemudian berwarna merah tua, itu pertanda akan terjadi musim kemarau yang panjang. Kita harus siap-siap untuk menyimpan makanan. Tepung sagu dapat bertahan lama,” kata Melkior Balagaize dari Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, pekan lalu.
Dia lalu membagi zonasi wilayah kampung mereka antara laut (woloyo), kebun (bongabau) sampai daerah yang keramat dan dilarang yang disebut duwe dalam bahasa mereka (Marind Wanam).
“Dulu lokasi kami tinggal terdapat perusahaan penangkapan ikan [PT Dwi Karya], beroperasi di sini mencari ikan,” katanya, seraya menambahkan bahwa ada anak-anak yang bekerja sebagai buruh di atas kapal-kapal itu.
Setelah perusahaan itu tutup, perusahaan yang mendukung Proyek Strategis Nasional (PSN) memakai pelabuhan bekas milik perusahaan ikan itu, sebagai pelabuhan untuk menurunkan peralatan berat dan mulai menggusur hutan serta membabat habis hutan bush di areal perburuan orang-orang kampung.
Dia menambahkan, hutan bush itu sangat penting karena saat musim panas pasokan air masih tersimpan di dalam tanah. “Tapi kalau hutan bush ini gampang terbakar di musim kemarau, karena dalam kayu bush terdapat minyak yang akan mudah terbakar. Terus musim hujan datang, pohon-pohon bush kembali bertumbuh subur. Pohon bush ini cepat tumbuh,” katanya.
Menurut Balagaize, hutan rawa dan sungai di sana juga terdapat buaya air tawar yang dalam bahasa mereka disebut bobanim, sedangkan buaya muara dinamakan wolowio. Sementara dalam bahasa latin buaya muara disebut Crocodylus porosus atau dikenal sebagai salah satu buaya terbesar di dunia dan hidup di muara sungai dan perairan pantai, sedangkan buaya air tawar atau dalam bahasa latin Crocodylus novaeguineae lebih banyak ditemukan di sungai dan rawa air tawar.
“Kita biasa memakan daging buaya dan juga telur-telurnya,” kata Balaigaze, seraya menambahkan bahwa ketika buaya bertelur di darat atau di tepi kali, induk buaya mengumpulkan telur bisa sebanyak 500 sampai 1.000 butir di atas dedaunan kering, sampai akhirnya menetas.
Kehidupan mencari buaya maupun ikan, lanjut dia, jelas terputus saat masuknya proyek besar yang membongkar areal perburuan masyarakat di kampung, apalagi air rawa tersebut menjadi sumber air minum.
“Kalau musim hujan yang panjang sekali air rawa bisa naik setinggi delapan meter, saya kira biar pun dong timbun, lahan PSN pasti akan tenggelam karena musim hujan yang lama,” katanya, seraya menambahkan kalau dulu musim hujan atau kemarau seimbang yakni enam bulan sekali dan saling berganti.
Tetapi sekarang ini, kata Balaigaize, waktu musim kemarau maupun hujan sudah berubah, bahkan bisa berlangsung lebih lama lagi dan terkadang musim kemarau bisa sampai delapan bulan.
“Sangat lama sekali antara kedua musim itu [pergantiannya], sehingga musim tanam maupun mencari [buruan] harus kita sesuaikan dengan kondisi alam yang sudah tak menentu lagi,” katanya.
Dia melihat perubahan alam dan iklim jelas sangat mengganggu kalender musiman mereka, dalam mengatur kehidupan untuk kapan bisa menanam, berburu, dan memanen hasil kebun termasuk mencari dan menokok sagu.
Hilangnya sumber daya alam warga Papua termasuk dusun milik Balaigaize dari Kampung Wanam, jelas sangat merugikan dan mengkhawatirkan. Tak heran dalam buku karya Dr Laksmi Adriani Savitri MA berjudul Korporasi dan Politik Perampasan Tanah menyebutkan krisis dan konflik lahan untuk perkebunan besar-besaran masih terus berlanjut, tanpa upaya penanganan dan pemahaman dari si pemilik tanah (landowners) dan lahan. Maka akan sulit bagi rakyat Papua untuk kembali hidup sesuai dengan konteks kehidupan mereka yang sebelumnya, yang sangat bergantung dengan tanah dan alam.
“Saudara-saudara, mama-mama, kakak-kakak, adik-adik, bapak-bapak, jangan jual tanah untuk perusahaan. Kasihan, itu milik kalian dan anak cucu di masa mendatang,”demikian pesan yang dikutip dari buku karya antropolog Indonesia, yang dikenal peduli terhadap rakyat tertindas itu. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!