Merauke, Jubi – Komunitas Wartawan Daerah atau KWD Provinsi Papua Selatan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diinisiasi oleh Komisi I DPR RI. Jika disahkan, undang-undang tersebut dinilai bakal menghentikan kerja-kerja jurnalistik, terutama dalam melakukan investigasi.
Sekretaris KWD Papua Selatan, Eron Simbolon, Rabu (23/5/2024), menyatakan bahwa salah satu pasal dalam draf rancangan undang-undang itu membatasi kerja jurnalis dalam melakukan Investigasi. Jika RUU tersebut disahkan, maka kebebasan pers akan terkekang.
“Harus diketahui bahwa, jurnalisme investigasi itu bagian dari kerja-kerja jurnalistik atau insan pers, sehingga kami sangat menentang dengan adanya rancangan undang-undang tersebut. Teman-teman wartawan di Papua Selatan sepakat untuk menolak RUU itu,” kata Eron Simbolon di Merauke.
Dia mengatakan asal-pasal kontroversi dalam RUU tersebut dapat mematikan kemerdekaan Pers. DPR RI seharusnya menjadikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur penyiaran karya jurnalistik.
“Jika RUU ini disahkan menjadi UU, lembaga penyiaran akan menjadi wahana legislatif memainkan perannya menekan jurnalis. Ini menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan Pers,” ujarnya.
Dia menyebutkan, ada sejumlah pasal yang merugikan insan Pers, diantaranya Pasal 50 B ayat (2) huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi, begitu pula Pasal 50B ayat (2) huruf K, pasal 8A ayat (1) huruf Q, dan Pasal 51 E.
Selain itu, ada pula pasal 8A ayat (1) huruf Q berbunyi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
“Namun dalam peraturan Undang-Undang Pers yang berhak menyelesaikan sengketa Pers adalah Dewan Pers, rancangan UU itu berdampak akan memberanguskan kerja-kerja investigasi pekerja Pers dalam menyampaikan laporan kebenaran atas temuan liputannya,” tutupnya.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw yang dihubungi Jubi dari Merauke, mengatakan bahwa AJI melihat adanya pasal atau ayat tentang pelarangan penayangan jurnalistik investigatif dalam draft RUU Penyiaran tersebut, dan berpendapat pasal dimaksud akan membungkam pers.
Lucky Ireeuw menjelaskan pasal ini berpotensi memberangus kebebasan pers, termasuk juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat, berimbang dan konferensif. Jika ditetapkan menjadi undang-undang, kebebasan pers terancam dan kerja-kerja jurnalistik akan terhambat.
“Hadirnya pasal pelarangan ini, sangat mengkhawatikan. Masyarakat nantinya hanya mendapatkan informasi atau berita-berita seremonial saja. Sementara berita berkualitas, mendalam dan akurat, berita indept dan investigatif tidak lagi ada. Pasal ini jelas bertentangan dengan ketentuan Dalam UU No 40 thn 1999 tentang Pers,” katanya.
AJI Kota Jayapura mendesak Komisi I DPR RI untuk mengapus pasal yang jelas-jelas membatasi atau membungkam kebebasan pers dan hak publik mendapatkan informasi yang akurat, benar, lengkap dan berimbang melalui liputan investigasi.
“Pemerintah dan DPR harusnya mendukung pers sebagai salah satu pilar demokrasi, bukan malah sebaliknya menhadirkan regulasi yg mengancam kebebasan pers. AJI jelas menolak RUU penyiaran tersebut,” ujarnya.
Sementara itu salah satu wartawan senior di Papua Selatan, Hendrikus Petrus Resi mengatakan bahwa paska reformasi kehadiran Pers menjadi salah satu pilar demokrasi. Pers memainkan peran fungsi kontrol yang sangat baik, salah satunya melalui karya jurnalisme investigatif. Melalui jurnalisme investigasi juga, pers memberikan kritik yang konstruktif kepada pemerintah maupun swasta.
“Bila RUU itu disahkan sama saja kebenaran dibungkam. Sebab tidak ada dasar yang jelas bagi DPR melakukan pelarangan terhadap media menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi, selain itu akan menyebabkan tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara KPI dan Dewan Pers,” kata Hendrik Resi.
Dia menduga ada pihak-pihak yang merasa tidak nyaman terhadap kebebasan Pers, terutama melakukan investigasi jurnalistik. Penayang hasil investigasi mungkin bakal membongkar keborokan dalam sebuah sistem.
“Ada yang toxic terhadap kebebasan Pers, kita belum tahu siapa yang memasukkan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers. Upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007, upaya tersebut terus berlangsung hingga RUU KUHP tahun 2024,” tutupnya. (*)
Discussion about this post