Merauke, Jubi – Sedikitnya 20 rumah warga di Kampung Poo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke, Papua Selatan dilaporkan terendam banjir selama dua pekan terakhir. Kondisi ini mengakibatkan warga mengungsi ke rumah-rumah kerabat dan balai kampung yang tidak terdampak banjir di sana.
Kapolsek Jagebob, Iptu I Wayan Suena pada Rabu (22/5/2024) kemarin melaporkan bahwa dia bersama sejumlah personil menyambangi rumah-rumah warga yang terkena banjir di Kampung Poo, Distrik Jagebob. Anggota kepolisian membantu mengecek dan mengevakuasi warga yang terdampak banjir di sana.
“Ada 20 rumah di Kampung Poo yang terendam banjir. Semua warga yang terdampak banjir sudah di-evakuasi ke sanak saudara yang tidak terdampak banjir dan juga ada yang mengungsi ke balai Kampung Poo,” kata Wayan Suena.
Wayan Suena mengatakan banjir yang menggenangi sebagian Kampung Poo dikarenakan luapan air dari Sungai Maro. Intensitas hujan yang cukup tinggi dalam beberapa pekan terakhir menyebabkan volume air kali Maro naik dan meluap ke pemukiman warga yang posisinya berada di dataran rendah.
Dia menerangkan bahwa tidak ada korban jiwa akibat peristiwa banjir di Kampung Poo, Distrik Jagebob. Namun demikian warga di sana menderita kerugian materi.
“Selain itu, ada juga rumah warga yang berada di pinggir sungai, sehingga lebih riskan terdampak banjir. Kami harapkan warga Poo yang masih bertahan di rumahnya dapat juga memantau debit air. Kalau meluap, dapat segera hubungi kami, biar bisa segera dilakukan evakuasi,” kata Wayan Suena.
MSF sikapi persoalan banjir di Kabupaten Merauke
Belum sebulan lamanya, masyarakat Papua Selatan dihebohkan dengan peristiwa banjir di wilayah Salor, Distrik Kurik dan di Distrik Eligobel, Kabupaten Merauke. Kini publik kembali disita dengan persoalan banjir di Kampung Poo, Distrik Jagebob.
Banjir di wilayah Kurik melanda Kampung Sumber Mulia, Telaga Sari, Sumber Rejeki (kawasan Salor), dan Wapeko (kampung lokal). Akibat musibah banjir di sana, 1.500 orang terpaksa mengungsi, ratusan rumah dan ratusan hektar sawah terendam air. Sementara di Eligobel, dilaporkan jalan trans Papua terputus akibat banjir. Ratusan orang terpaksa menginap dan menunda perjalanan.
Menyikapi masalah banjir yang melanda sejumlah wilayah di sana, Multi Stakeholder Forum atau MSF Kabupaten Merauke berencana membuat kajian komprehensif cepat untuk memberikan masukan kepada para pihak terkait penyebab terjadinya banjir di Kota Rusa, julukan Kabupaten Merauke.
MSF sendiri mendata beberapa wilayah di Kabupaten Merauke yang dilanda banjir, yakni Distrik Eligobel (meliputi Kampung Kweel, Bupul, Tanas), Distrik Sota (Kampung Toray dan Erambu), Distrik Kurik (Kaliki, Kurik 6), Distrik Malind, Distrik Animha (Kampung Wapeko, Baad, Wayau), dan Distrik Jagebob (Kampung Poo).
“Kajian ini ditujukan untuk memberikan informasi kerawanan bencana yang disebabkan oleh perubahan Iklim baik pada saat musim panas ataupun pada saat musim hujan. Rekomendasi terkait kajian ini berdasarkan hasil pertemuan MSF baru-baru ini,” kata Koordinator MSF Kabupaten Merauke, Dewantoro Talubun kepada Jubi di Merauke, Kamis (23/5/2024).
“Situasi saat ini (banjir) cukup memprihatinkan. Musim panas kemarin sangat ekstrim, demikian juga musim hujan. Semoga ada penanganan yang baik dari berbagai pihak terkait hal ini, banjir dan pasca banjir serta harapan masyarakat untuk memperhatikan dampak lingkungan karena adanya pembukaan lahan yang masif di Kabupaten Merauke,” sambungnya.
Dewantoro Talubun yang juga merupakan Direktur Perkumpulan Harmoni Alam Papuana itu menyentil kebijakan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) Swasembada Gula pada 2027 dan Bioetanol yang dilakukan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
“PSN menjadi perhatian untuk dilaksanakan pemangku kebijakan, tapi masyarakat juga perlu penunjang untuk mendukung kehidupan ekonomi. Dari tata lingkungan, lokasi tersebut termasuk penyangga ekosistem penting untuk tata air dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Kumbe, Bian dan Maro. Dari ekosistemnya, punya potensi menjadi kawasan koridor bagi satwa, entitas lokal dan identitas budaya,” kata dia.
“Perlu kajian yang benar-benar komprehensif untuk mencegah resiko lingkungan dan sosial yang justru berdampak pada penggunaan biaya pemulihan lingkungan yang lebih besar. Bila pemanfaatan dengan cara land clearing, maka perlu hati-hati. Lokasinya (proyek perkebunan tebu) antara Distrik Sota, Jagebob dan Anim Ha,” katanya.
Dia menambahkan kebijakan pemerintah pusat terkait perkebunan tebu di Merauke tidak dapat dielak, karena regulasi daerah untuk menyaring (screaning) kebijakan itu lemah. Perda Kabupaten Merauke Nomor 5 Tahun 2013 tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat hukum adat Malind Anim akan kalah dengan regulasi pusat, karena (kebijakan itu) masuk Proyek Strategis Nasional.
“Sistem penahpisan di Amdal (sekarang Amdalnet) akan memberikan prioritas-prioritas tertentu terkait hal ini. Yang diharapkan adalah screaning melalui Perdasus. Pada akhirnya program ini harus dipantau dan dievaluasi secara bersama-sama agar daerah tidak ditinggal tanggung jawab oleh investor bila ada resiko dimasa depan,” tutupnya.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Wahli Papua juga mengecam kebijakan pemerintah pusat membangun perkebunan tebu dan industri etanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Walhi Papua menganggap kebijakan itu sebagai bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat pemilik ulayat, karena kebijakan yang diambil cenderung top down.
Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki menuding investasi yang masuk ke Kabupaten Merauke dan sekitarnya hanya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Menurut dia, peristiwa banjir yang terjadi di sejumlah wilayah Kabupaten Merauke sebagai akibat dari perusakan hutan secara masif di sana.
“Beberapa tahun ke depan, banjir akan semakin parah jika hutan masih saja terus dibabat. Kami juga minta pemerintah pusat untuk berhenti memberikan ijin-ijin yang merampas ruang-ruang hidup di Tanah Papua,” kata Maikel Peuki.
“Dia mengatakan proyek perkebunan tebu di Merauke tidak menunjukkan gambaran positif ke depan, baik itu soal keuntungan negara, di mana pasarnya, keuntungan masyarakat termasuk perhitungan pendapatan nantinya untuk Pemprov Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke.
“Justru yang terjadi nanti masyarakat punya lahan yang begitu besar, hutan Papua Selatan semakin hari semakin dibabat terus. Ini merugikan masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung dengan hutan dan alam. Karena terus menerus terjadi kerusakan lingkungan dan hutan di Papua Selatan,” tutupnya. (*)
Discussion about this post