Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar menilai Komisi Nasional Hak Asasi Manusi atau Komnas HAM terlalu lambat dalam melakukan penyelidikan kasus dugaan penembakan terhadap warga sipil yang terjadi di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, pada 13 Juli 2023. Siregar menilai penyelidikan yang lambat berdampak terhadap semakin meluasnya konflik.
“Konflik pecah pada 13 Juli 2023. Kami berharap Komnas HAM segera turun setelah peristiwa itu, karena sangat penting untuk melakukan penyelidikan,” kata Siregar di Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin (11/9/2023).
Pada 13 Juli 2023, seorang warga sipil bernama Yosua Keiya (20) meninggal dunia karena tembakan yang diduga dilepaskan personal satuan Brimob di Kampung Idakebo, Distrik Kamu Utara, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Lembaga Bantuan Hukum Talenta Keadilan Papua atau LBH-TKP dan Jaringan Advokasi HAM menyatakan penembakan terhadap Yosua Keiya diikuti peristiwa penembakan lain yang terjadi di Moanemani, Dogiyai, pada 13 Juli 2023 malam, dan menyebabkan Yakobus Pekey (20) dan Stepanus Pigome (19) meninggal dunia.
Pada 19 Juli 2023, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah atau Polda Papua Kombes Ignatius Benny Ady Prabowo membantah informasi dugaan penembakan yang menyebabkan tiga warga sipil meninggal di Dogiyai pada 13 Juli 2023. Menurutnya, pengumpulan informasi oleh Kepala Biro Operasi (Karo Ops) Polda Papua, Komandan Satuan (Dansat) Brimob Daerah Papua, serta Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Papua tidak menemukan korban jiwa maupun korban luka-luka dalam penanganan amuk massa di Dogiyai pada 13 – 14 Juli 2023. Perbedaan data itu membuat sejumlah lembaga advokasi HAM mendesak Komnas HAM menurunkan tim ke Dogiyai, untuk memastikan ada tidaknya korban jiwa maupun korban terluka dalam peristiwa 13 – 14 Juli 2023 itu.
Siregar mengatakan jika dugaan penembakan itu lambat ditangani, konflik yang terjadi bisa semakin melebar. Selain itu, dampak konflik tersebut pun akan melebar, seperti menimbulkan pengungsi, melumpuhkan pemerintah daerah, perekonomian menjadi macet, pelayan pendidikan macet, menyuburkan stigma terhadap Orang Asli Papua (OAP), dan menambah ketegangan antara masyarakat OAP dan non-OAP.
“Karena, informasi [di lapangan] terus berkembang. Banyak informasi [yang berkembang], tapi itu perlu diklarifikasi. Karena itu seharusnya [Komnas HAM] cepat turun,” katanya.
Siregar mengatakan Komnas HAM harus mempunyai prioritas dalam menangani kasus kekerasan di Tanah Papua. Siregar juga meminta Komnas HAM memberikan perhatian yang lebih besar terhadap situasi konflik di Tanah Papua.
“Komnas HAM inikan punya kewenangan terbatas. Meskipun kewenangan terbatas, seharusnya mereka harus ambil prioritas [penangan kasus di Papua]. [Kalau] Komnas HAM masih begini prosedural, mereka tidak bisa ditangani, mereka justru akan kewalahan. Belum selesai satu kasus, sudah ada laporan [kasus lain] lagi,” ujarnya.
Siregar mengatakan Komnas HAM wajib untuk memberi informasi kepada publik terkait temuan awal kasus penembakan di Dogiyai tersebut. Siregar mengatakan upaya itu penting untuk menghentikan kesimpangsiuran informasi.
“Meskipun baru bersifat data awal, itu kan data terklarifikasi, terkonfirmasi. Dengan demikian, informasi lain yang simpang siur bisa diminimalisir dengan data Komnas HAM,” ujarnya.
Siregar mengatakan pemerintah daerah juga harus bekerja professional, agar informasi yang tanpa konfirmasi dan klarifikasi tidak meluas. “[Informasi yang tidak jelas] itu [bisa] membuat ketakutan, trauma, dan stigma yang cukup tajam buat masyarakat,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!