Jayapura, Jubi – Penulis buku Papua, Nyamuk Karunggu menyampaikan kekecewaannya kepada Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Jakarta, atas pelarangan buku tentang Papua, yang ditulisnya.
Dikutip dari siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Sabtu (15/3/2025), Karunggu yang mendaku sebagai Ketua Umum Koordinator Sekolah Rakyat Nuwi Nindi Nduga Papua menulis surat berjudul “Surat terbuka kepada Perpusnas RI di Jakarta”.
Demikian suratnya:
Surat terbuka kepada Perpusnas RI di Jakarta
Perihal: Penahanan Buku Terbaru Yang Berjudul “Dalam Medan Juang Mengkhianati Aku Dengan Cinta Palsu”
Kepada Yang Terhormat,
1. Presiden Republik Indonesia;
2. Perpusnas Indonesia
3.Menkopolhukam;
4.Menteri Hukum dan HAM di Jakarta dll.
Shalom!
Terimalah salam saya dari TANAH konflik terlama dan terpanjang di Asia Pasifik, TANAH Papua Barat.
“SURAT Terbuka ini, saya abadikan dengan pulpen tulang belulang, tintanya air mata dan darah serta penderitaan bangsaku, orang asli Papua di atas TANAH leluhur kami West Papua.”
“Seluruh penderitaan orang asli Papua sejak tahun 1960-an, 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 sampai sekarang yang ditulis dengan tinta akan terhapus, tapi saya menulis penderitaan bangsaku ini semua dengan pulpen tulang-belulang, tinta air mata dan darah di atas TANAH ini dengan keterbatasan kapasitas saya, kemampuan saya dan saya adalah anak kampung tidak cerdas seperti bapak-bapak sekalian di Jakarta, tapi saya menulis tentang penderitaan bangsaku dengan kemampuan yang seadanya, untuk dikenang oleh dua bangsa, yaitu bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat.”
Bapak-bapak sedang sibuk pecah-belah orang asli Papua dengan PEMAKSAAN Otsus jilid dan juga pemekaran provinsi-provinsi BONEKA yang miskin kajian akademik, miskin pertimbangan administrasi, miskin dukungan rakyat dan hanya muatan kepentingan politik dan keamanan menjadi landasan keputusan-keputusan sepihak.
Kami tahu, mengerti dan sadar bahwa pemaksaan Otsus jilid dua dan pemekaran DOB BONEKA itu mencerminkan bahwa penguasa Indonesia benar-benar berwatak rasialisme, fasisme, kolonialisme, militerisme, kapitalisme dan ketidakadilan.
Pemaksaan Otsus jilid dua dan DOB BONEKA itu mesin penghancur dan pembunuh serta pemusnah Orang Asli Papua yang dikemas dalam “slogan” pembangunan dan kesejahteraan. DOB BONEKA itu untuk Pendudukan, Remiliterisasi dan ReTransmigrasi di TANAH jajahan di Papua Barat.
Pimpinan Perpusnas RI yang terhormat, saya barusan dapat informasi dari kawan Max di Australia dengan mengirim video bahwa perpusnas RI menahan dan percobaan pelarangan penyebaran buku saya (Nyamuk Karunggu) yang berjudul “Dalam Medan Juang Mengkhianati Aku Dengan Cinta Palsu”, bukan hanya menahan buku, melainkan dalam proses pengiriman buku dari Yogyakarta ke Papua ditahan oleh oknum-oknum yang buta huruf.
Beberapa pertanyaan saya untuk Perpusnas RI adalah sebagai berikut:
Apakah Buku bisa membunuh dan menembak orang?
Kenapa harus takut dengan karya buku anak bangsa?
Bukankah buku-buku terbaru akan membantu perpusnas RI dan memberikan ilmu pengetahuan baru kepada NKRI??
Kenapa dan Mengapa Buku bisa di Tahan oleh perpusnas RI harus memberikan klarifikasi terbuka??
Selanjutnya karya tulis buku saja bapak/ibu penghuni NKRI kalian takut, panik dan gelisah jadi kapan kalian mau selesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan sekarang yang telah menjadi nanah dan berbusuk di dalam tubuh NKRI? Saran saya anak kampung kepada kalian penguasa Indonesia semua bahwa seharusnya kalian membaca dan memahami karya tulis anak-anak negeri bangsa West Papua, agar kalian paham keinginan dan kemauan rakyat Papua dengan seutuhnya.
KARENA, persoalan pelanggaran HAM berat sudah menjadi seperti LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia yang sedang disembunyikan dengan pemaksaan Otsus jilid dua dan DOB BONEKA dan topeng-topeng, stigma, label daan mitos-mitos: separatis, KKB, Makar, OPM dan teroris.
Pemerintah Indonesia perlu merenungkan dan mengevaluasi pernyataan iman dari Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout adalah fakta, realitas, kenyataan, bukti tentang apa yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua.
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia…..“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa “Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
LUKA MEMBUSUK dan LUKA BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia,
yaitu, pelanggaran HAM berat sebagai berikut:
1. Biak Berdarah pada 6 Juli 1998;
2. Abepura (Abe) Berdarah pada 7 Desember 2000.
3. Wasior Berdarah pada 13 Juni 2001.
4. Kasus Theodorus (Theys) Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka pada 10 November 2001.
5. Wamena Berdarah pada 4 April 2003.
6. Kasus Musa (Mako) Tabuni 14 Juni 2012.
7. Kasus Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014.
8. Kasus Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 November 2020.
9. Bagaimana dan sejauh mana penguasa kolonial Indonesia bertanggung jawab untuk pengembalian 60.000 penduduk orang asli Papua ke kampung halaman mereka dan sampai saat ini masih berada di daerah-daerah pengungsian akibat operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang.
Saya meminta kepada pimpinan perpusnas RI segera klarifikasi atas penahanan buku tulis saya yang melindungi dan menjamin dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta. Saya juga meminta kepada Kapolri RI untuk menangkap salah satu akun Tiktok yang bernama @Lambe. Rakyat yang telah mencemarkan nama baik saya dengan mengatakan tuduhan bahwa saya penyebaran ideologi separatisme dan sebarkan foto-foto saya di akun tiktok, akunnya ini https://vt.tiktok.com/ZSMs6mhcA/. Saya meminta kepada perpusnas RI segera mengembalikan buku-buku yang telah disita atau ditahan dalam proses pengiriman ke Papua.
Akhir dari surat ini, saya mau sampaikan dari perspektif atau dimensi kemanusiaan, bahwa darah, air mata, tulang belulang dan penderitaan orang-orang asli Papua selamanya mengejar penguasa Indonesia dan anak cucu. Hari ini mereka berpikir hebat dan menang tapi siapa menanamkan kejahatan pasti memetik hasil kejahatan juga.
Demikian surat terbuka ini, disampaikan kepada perpusnas RI Di Jakarta atas perhatian dan kerjasamanya. Kami sampaikan Terima kasih.
Papua, 12 Maret 2025
Karunggu mengatakan, buku karyanya itu tidak berbahaya bagi nyawa manusia. Namun, katanya, yang berbahaya adalah senjata dan peluru yang pemerintah Indonesia arahkan ke rakyat Papua Barat.
“Oleh karena itu, saya sebagai penulis buku meminta kepada perpusnas RI dan pihak-pihak terlibat dalam penahanan buku, serta perintahkan Penerbitan Buku Diva press untuk tidak melanjutkan proses pencetakan buku,” katanya kepada Jubi melalui pesan WhatsApp, Sabtu sore.
Karunggu mendesak Perpusnas RI segera mengizinkan Diva Press untuk melanjutkan proses penerbitan buku.
“Dan saya meminta kepada Perpusnas RI untuk segera klarifikasi terbuka terkait dengan penahanan dan pelarangan percetakan buku tersebut,” kata Karunggu, yang menulis buku setebal 356 halaman, terbitan Maret 2025 itu. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!