Jayapura, Jubi – Sejumlah perempuan Papua menyatakan keberatan atas hasil seleksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui mekanisme pengangkatan.
Mereka menilai proses seleksi yang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) penuh pelanggaran dan berpotensi cacat hukum, sehingga hasilnya harus dibatalkan.
Irene Waromi menyebutkan bahwa seleksi ini seharusnya berpedoman pada UU No. 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang diatur lebih rinci dalam PP No. 106 Tahun 2021. Namun, ia menyoroti sejumlah pelanggaran, seperti perubahan jadwal seleksi tanpa konsistensi, kurangnya transparansi, dan ketidakhadiran Pansel dalam tahapan penting.
Menurut Irene, berbagai pelanggaran tersebut mencakup perubahan jadwal seleksi tanpa kejelasan, ketidakhadiran Pansel dalam musyawarah adat tingkat kabupaten, serta pengumuman hasil seleksi yang tidak disertai berita acara yang ditandatangani oleh seluruh anggota Pansel.
Selain itu, Pansel tidak transparan dalam menyampaikan hasil peringkat peserta dan meloloskan peserta tanpa rekomendasi adat atau yang tidak mengikuti tahapan seleksi lengkap. Bahkan, terdapat peserta yang terafiliasi dengan partai politik, tetapi tetap diloloskan. Hal ini, menurutnya, memicu nepotisme, diskriminasi, dan berpotensi menimbulkan kecurangan.
Sarah Yambeyabdi, perwakilan perempuan Giriminawa, menyoroti kurangnya representasi perempuan yang kompeten dalam hasil seleksi.
“Perempuan yang memiliki pengalaman dan rekam jejak perjuangan hak perempuan, anak, dan disabilitas tidak dinyatakan lulus. Ini diskriminatif dan berpotensi kecurangan,” ujarnya.
Para perempuan Papua pun menuntut agar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) meninjau kembali hasil seleksi dan mengevaluasi Pansel. Mereka juga meminta Penjabat Gubernur Papua untuk memfasilitasi pertemuan antara peserta dan Pansel guna mengklarifikasi dugaan pelanggaran.
Ombudsman RI dan Komisi Informasi Publik didesak menyelidiki indikasi maladministrasi, sementara aparat hukum diminta mengusut dugaan suap dan kecurangan dalam proses seleksi.
“Hentikan pelantikan hingga masalah ini selesai. Keputusan yang tidak transparan merampas hak politik Orang Asli Papua (OAP) dan mencederai demokrasi,” tutup Sarah. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!