Sentani, Jubi – Penolakan terhadap rencana Pemkab Jayapura memindahkan makam pemimpin Presidium Dewan Papua, Dortheys Hiyo Eluay atau Theys Eluay terus bergulir. Para tokoh gereja di Papua dan pengamat politik turut angkat bicara. Menurut mereka makam Theys adalah simbol memoria passionis rakyat atas kekerasan dan ketidakadilan negara.
Moderator Dewan Gereja Papua Pendeta Dr Benny Giay mengatakan rencana Penjabat Bupati Kabupaten Jayapura memindahkan makam Theys Eluay ke tempat lain bukanlah perkara teknis terkait tata kota. Hal itu perlu dilihat berdasarkan konteks makam tersebut sebagai jejak kekerasan yang dilakukan negara di Papua.
“Mereka berusaha menghilangkan ingatan orang Papua dari kekerasan dan meneror orang Papua yang mau merayakan hari pembunuhan dan penculikan Theys H Eluay tahun 2001 lalu,” kata Pdt. Benny di STT Walter Post Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (13/5/2024).
Menurut Pdt. Giay Pj Bupati Kabupaten Jayapura hanya melanjutkan program keamanan negara saja. Karena segala hal terkait kematian Theys ingin tetap dibuat kabur oleh negara. Contohnya ketika buku yang ditulis oleh Pdt Giay ‘Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua’ terbit pada tahun 2005, aparat keamanan langsung melarang penyebarluasan dan jual beli buku itu.

Sempat salah satu mahasiswa ditahan dan diinterogasi oleh aparat keamanan karena kedapatan sedang memegang dan membaca buku tersebut. Bahkan tempat percetakan pun mendapat intimidasi karena mencetak buku tersebut.
“Pak Pj Bupati Jayapura, apa yang sedang anda wacanakan itu, anda ulang tindakan keamanan negara untuk menghilangkan ingatan orang Papua tentang pembunuhan dan penculikan almarhum Theys. Dengan cara seperti ini negara mau menghilangkan jejak-jejak kekerasan negara di Tanah Papua ini,” ujarnya.
Giay menjelaskan kekerasan negara terhadap orang Papua perlu dilihat dari berbagai aspek, selain kekerasan TNI/Polri. Ada kekerasan negara pada aspek kebijakan pemerintah, pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan, hutan adat, dan juga agama. Semua kekerasan yang terjadi Tanah Papua itu menurutnya karena dasar rasisme.
Pemindahan makam sama dengan merendahkan Theys
Giay menuding ada unsur kesengajaan untuk merendahkan Theys dalam rencana pemindahan makam. Ia mengingatkan tempat Theys dibunuh di sebuah lokasi di turunan Jalan Skyline Kota Jayapura, kini sudah diubah menjadi tempat sampah. Kemungkinan itu menjadi simbol bahwa negara menganggap Theys tidak ada apa-apanya, seperti sampah.
“Itu semua ada unsur kesengajaan bahwa Theys H Eluay di mata negara tidak ada nilai atau harganya. Jadi pemindahan makam juga dibayang-bayangi oleh pikiran itu, bahwa ‘orang tidak penting’ itu kenapa makamnya di depan mata jalan keluar dari bandara udara,” katanya.
Oleh karena itu Pdt Benny menduga ada niat yang bernuansa rasis dibalik pemindahan makam tersebut. Giay mengingatkan berbagai pernyataan publik sejumlah tokoh negara yang mendiskreditkan Orang Asli Papua, sehingga hal tidak mengherankan jika almarhum Theys dan makamnya dipandang sebela mata.
“Orang Papua perlu melihat hal seperti ini dari konteks Papua, dimana negara rasis dari berbagai aspek itu sehingga negara tidak menganggap orang Papua sebagai manusia tapi penghalang yang harus dihilangkan atau dijauhkan,” ujarnya Pdt Giay.
Presiden Gereja-Gereja Baptis West Papua atau PGBWP Pendeta Dr. Socratez Yoman mengingatkan Pemkab Jayapura agar tidak mengganggu tokoh Papua dari tidurnya panjangnya.
“Pemerintah urus rakyat Jayapura yang masih hidup, masih banyak yang perlu diurus tapi jangan mengganggu orang yang sudah mempunyai andil atas dua bangsa ini yang sedang tidur panjang,” katanya Pdt. Socratez melalui pesan aplikasi, di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (14/5/2024).
Dr Yoman menyatakan pemerintah tidak berhak memindahkan makam tokoh bangsa Papua itu.” Almarhum pak Theys adalah simbol perlawanan rakyat dan bangsa Papua Barat yang berani menentang atas tragedi kemanusiaan, ketidakadilan, kolonialisme, kapitalisme, rasisme, diskriminasi, marginalisasi, genosida, pelanggaran HAM berat, dominasi, politik adu-domba/pecah belah berkepanjangan yang dialami bangsa Papua Barat,” kata Pdt Yoman.
Bangun gedung sejarah
Menata kota seharusnya dengan menata makam Theys Eluay, bukan memindahkannya. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Papua Observatory for Human Right atau POHR, Thomas Ch Syufi, saat dihubungi Jubi melalui panggilan aplikasi, Senin (13/5/2024).
Menurut Syufi Pemerintah Kabupaten Jayapura sebaiknya membangun gedung sejarah atau taman baca, di area makam Dortheys Hiyo Eluay, sebagai bentuk penghormatan atas jasa almarhum untuk orang Papua dan negara Indonesia.
“Ada banyak cara untuk menyulap atau mempercantik Kota Sentani, sebagai ibukota Kabupaten Jayapura. Bagi saya makam Theys bukan sesuatu yang mengotori pemandangan atau merusak wajah kota Sentani,” kata Syufi.
Justru, lanjutnya, baliho dan poster dengan gambar elit politik lokal yang bernuansa politik di tepi jalan depan makam sang tokoh kharismatik Papua itu lah yang mengotori kota.
“Lebih baik Pemda Kabupaten Jayapura bangun gedung sejarah atau taman baca, di area makam Theys, apa yang saya usulkan punya manfaat besar bagi masyarakat Kabupaten Jayapura,” ujarnya.
Itu juga akan meningkatkan budaya literasi, sebagai bentuk edukasi dan penyadaran terhadap memori kolektif masyarakat Papua akan nilai-nilai sejarah, demokrasi, keadilan, dan perdamaian yang di perjuangan Theys dengan cara damai atau non-violence, kaya Syufi.
“Juga akan menambah pendapatan APBD Kabupaten Jayapura. Bukan bangun ruko atau pusat bisnis yang tidak punya manfaat nyata bagi masyarakat kecil dan kelas menengah,” katanya.
Ia juga mengingatkan Pemda Kabupaten Jayapura agar membenahi fasilitas umum, seperti aspal jalan raya yang rusak di beberapa tempat di Kota Sentani, pembangunan kantor dari beberapa dinas, yang masih berkantor di rumah pribadi atau kontrak, dan mengurus nasib para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, sebagai langkah yang lebih berguna untuk rakyat.
Kematian Theys bukan urusan keluarga
Ia juga menambahkan, jangan ada pesan-pesan politik dari proses rencana pemindahan makam Theys ini.
“Pemindahan makam Theys itu harus ikuti kehendak rakyat Papua, karena kematiannya itu bukan urusan keluarga, tapi memperjuangkan kepentingan generasi rakyat Papua, dan membela hak-hak dasar orang asli Papua,” tegasnya.
Dia meminta Pemkab Jayapura membuka ruang demokrasi dan menerima kritik dan masukan dari berbagai pihak. “Pjs Bupati Kabupaten Jayapura jangan otoriter dalam rencana pemindahan makam Theys, harus dibuka ruang demokrasi, harus dengar pendapat dan persetujuan dari kehendak kolektif masyarakat adat Papua, termasuk keluarga dan anak-anak genealogisnya Dortheys Hiyo Eluay,” ujarnya.
Syufie mengingatkan, Dortheys Hiyo Eluay adalah martir demokrasi Papua, salah satu bukti dimana gagalnya demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Theys bukan mati karena sakit atau kecelakaan alamiah, tapi karena dibunuh oleh negara melalui Kopassus, atas aktivitas politik yang diekspresikan secara damai oleh Theys.
“Seharusnya Pemda Jayapura membantu agar kasus kematian Theys diungkap secara terang benderang, bukan malah memindahkan makam,” ujarnya.
Makam Theys, lanjutnya, menjadi salah satu dari ratusan ribu memoria passionis atau ingatan penderitaan kolektif atas ketidakadilan dan kekerasan terhadap rakyat Papua.
“Masa orang Papua dilarang untuk mengingat atau mengenang, segala rasa sakit dan penderitaan mereka, termasuk tokoh besar seperti Theys yang berjuang secara damai,” ujarnya.
Dia menambahkan Proklamator Bung Karno saja bisa dibangun monumennya di Meksiko, atau Bapak Bangsa Filipina, Jose Rizal patungnya di bangun di Papua Nugini dan Amerika Serikat, termasuk nama aktivis HAM Munir, bisa diabadikan dengan nama salah satu jalan di Belanda.
“Sedangkan rakyat Papua malah diminta untuk menghilangkan jejak sejarah pahlawannya yang mati karena memperjuangkan nilai-nilai universal, keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan,” ujarnya.
Otonomi Khusus adalah hasil perjuangan Theys, yang hari ini para elit lokal gunakan untuk pesta pora di dunia birokrasi, kecam Syufi. Bahkan Syufi mengingatkan Theys sebagai salah satu tokoh Dewan Musyawarah (Pepera) 1969 yang sukses membawa Papua masuk Indonesia hingga hari ini.
“Perlu dihormati jasa-jasanya, bukan berarti sejarahnya didistorsi dan dipaksa untuk rakyat Papua amnesia terhadap semua peristiwa tragis yang dilakukan negara kepada Theys,” ujarnya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!