Sentani, Jubi – Ketua Lembaga Masyarakat Adat atau LMA Papua Lenis Kogoya menilai Pansel (Panitia Seleksi) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Mekanisme Pengangkatan periode 2024-2029 tidak netral dalam bekerja.
“Saya melihat khusus untuk kinerja Pansel Provinsi Papua ini, saya membaca ada kepentingan yang bermain,” kata Lenis Kogoya di Kantor LMA Papua, Kampung Harapan Nolakla, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (23/12/2024).
Kogoya menjelaskan, sebagai provinsi induk sebelum pemekaran, di Provinsi Papua ada berbagai suku, termasuk orang dari Lapago, Meepago, dan lainnya. Menurutnya perwakilan dari gunung juga mestinya masuk dalam anggota DPR Papua sebagai Orang Asli Papua atau OAP yang berdomisili, bekerja, dan beranak cucu Provinsi Papua.
“Apalagi Provinsi Papua itu tolak ukur kemajuan untuk provinsi lain di Tanah Papua. Jangan dibuat dikotak-kotakan, ini berbicara masalah aspirasi. Jadi di parlemen itu harus ada perwakilan, kalau tidak kita mau bawa aspirasi ke mana? Ini tidak bisa kita terkotak-kotak begitu,” ujarnya.
Menurut Kogoya ada dugaan keras kepentingan politik yang bermain sehingga terlihat tidak ada netralitas dalam seleksi administrasi dan validasi.
“Kami akan rapat dalam waktu dekat di Jayapura, nanti akan dirapatkan semua hasilnya, apakah Pansel tetap berjalan atau kita akan batalkan, nanti akan kita lihat perkembangan satu-dua hari kebdepan,” ujar Letnan Kolonel (Letkol) Tituler TNI itu.
Yepinus Kogoya, pendaftar yang tidak lulus tahap verifikasi dan validasi dokumen mengatakan, ia mendaftar dari Dapeng (Daerah Pengangkatan) Kabupaten Jayapura. Ia mengaku telah mendapat rekomendasi dari Ketua LMA Papua Lenis Kogoya dan beberapa kepala suku di Kabupaten Jayapura. Juga dari gereja GKI, Baptis, dan Kingmi yang mendorongnya untuk maju.
“Saya tidak lulus verifikasi dan validasi, tidak tahu kenapa. Saya menduga ada kejanggalan dalam proses tahapan seleksi administrasi dari Pansel. Mungkin ada timbul perbedaan wilayah adat ka, karena dari marga atau apa? Saya belum mendapatkan alasan yang jelas dari Pansel kenapa saya digagalkan,” kata Kogoya.
Yepinus Kogoya membeberkan bahwa ia memang dari marga Kogoya dari wilayah adat Lapago, suku Lani. Namun, menurutnya sebagai orang yang tinggal dan berdomisili di Jayapura ia juga berhak sebagai OAP untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR Papua Mekanisme Pengangkatan.
“Saya OAP, Mama Papua, Bapa Papua, tapi saya dilahirkan dalam keluarga Suku Lani. Namun saya ber- KTP, kependudukan dan bekerja di Kabupaten Jayapura, bertahun-tahun di sini. Jadi saya merasa punya hak yang sama untuk mengikuti seleksi anggota DPR Papua,” katanya.
Ia menambahkan, sama juga denga OAP lainnya dari wilayah adat Mamta yang tinggal di Papua Pegunungan, Papua Barat, Papua Selatan, atau Papua Tengah. “Itu bisa ikut seleksi sebagai OAP, karena Undang-Undang Otsus menjamin itu,” ujarnya.
Kogoya mengatakan akan terus mengadvokasi hal ini, sebab di dalam Undang-Undang Otsus dan aturan turunannya disebutkan OAP.
“Sehingga status sebagai OAP memiliki hak yang sama untuk mengikuti seleksi macam ini di enam provinsi yang ada di Tanah Papua,” katanya.
Ia mencontohkan orang Meepago tapi tinggal, berdomisili, dan bekerja di Ha Anim atau Papua Selatan, juga bissa ikut di sana sebagai status OAP.
“Yang menjadi pertimbangan itu sebenarnya adalah, satu-satunya orang tua, Bapa atau Mama yang bukan OAP itu dipertimbangkan, tapi kalau OAP itu harus bisa. Jangan kita dikotak-kotakan dengan wilayah administrasi, tapi sebagai OAP punya hak di atas Tanah Papua ini,” ujarnya.
Ia berharap ke depan antara OAP dengan OAP mesti bekerja sama membangun Tanah Papua. “Jangan OAP mempersulit OAP, itu yang tidak boleh, yang mesti dicegah adalah non-OAP yang rampas dan mencuri hak kesulungan OAP,” katanya.
Tanggapan Pansel
Menanggapi persoalan ini, Sekretaris Pansel Hans Sadrak Kaiwai mengatakan semua pihak mesti membaca dengan baik Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021.
Di sana, kata Kaiwai, diatur Daerah Pengangkatan anggota DPRP berdasarkan wilayah adat di provinsi, dan wilayah adat di provinsi ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapatkan pertimbangan dari DPRP dan MRP.
“Jadi untuk Provinsi Papua hanya ada dua wilayah adat, yaitu Wilayah Adat Tabi dan Wilayah Adat Saireri sehingga masing-masing Gubernur akan menerapkan Dapeng dan alokasi kursinya,” katanya kepada Jubi melalui pesan WhatsApp, Selasa (24/12/2024).
Dengan demikian, tambahnya, di setiap provinsi, termasuk daerah pemekaran, misalnya daerah pengangkatan untuk anggota DPR Papua Tengah, tidak mungkin akan diisi oleh Orang Asli Papua dari Wilayah Adat Domberai, walaupun ada Orang Asli Papua asal Wilayah Adat Domberai yang tinggal di Papua Tengah.
“Mengapa demikian, karena pengusulan calon anggota DPRP untuk mendaftarkan diri berasal dari wilayah adat di provinsi,” kata Kaiwai.
Ia menjelaskan, usulan itu berasal dari hasil musyawarah masyarakat adat pada wilayah adat yang ada di provinsi masing-masing. Untuk provinsi Papua, usulan berasal dari Dewan Anggota Suku, BAR, dan Sub Mnuk. Sesuai dengan wilayah adat yang ada di wilayah Adat Tabi dan Saireri.
Pansel, katanya, dalam melaksanakan tugas telah menetapkan Peraturan Pansel yang juga diperintahkan oleh ketentuan Pasal 75 ayat (8) dan Pasal 77 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021.
Ketua Pansel Provinsi Papua Pdt. Albert Yoku menduga kemungkinan ketua LMA Papua yang ada kepentingan dalam hal seleksi calon anggota DPR Papua mekanisme pengangkatan. Sebab, katanya, Pansel bekerja secara terbuka dan jelas dipandu oleh Undang-Undang No 2 Tentang Otsus Papua 2021 dan 2024 pasal 6 Tentang DPRK dan DPRP.
“Ada keputusan Gubernur Papua tentang Dapeng dan kuota pengangkatan, kemudian peraturan pansel 1 dan 2 ada semuanya diatur dengan magacu kepada PP 106. Jadi silahkan Saudara Ketua LMA dan jajarannya membaca di situ, karena seleksi sampai 23 Desember 2024 ini seluruh tahapan berjalan lancar-lancar saja,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!