Jayapura, Jubi – Sejak Oktober 2024, Peter Judge, Direktur Ekonomi dan Penelitian di Pacific Consulting Limited (PCL), telah menyatakan bahwa Vanuatu tengah menghadapi kondisi darurat ekonomi. Sejak pernyataan tersebut, situasi global menjadi semakin berbahaya dan tidak pasti, sementara Vanuatu sendiri dilanda gempa bumi terkuat dalam sejarahnya.
Gempa yang terjadi pada 7 Desember 2024 telah memberikan dampak luar biasa terhadap seluruh sektor bisnis di Vanuatu. Seperti dilansir jubi.id dari laman RNZ Pasifik, Selasa (15/4/2025), survei awal menunjukkan bahwa 60% bisnis yang disurvei memperkirakan omzet mereka akan menurun setidaknya 25% pada paruh pertama tahun ini.
Khusus bagi pelaku usaha mikro, 44% responden menyatakan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, dengan estimasi penurunan pendapatan mingguan mencapai 58%.

Situasi ini menunjukkan bahwa ekonomi Vanuatu membutuhkan dorongan besar dalam waktu dekat. Pemerintah perlu meningkatkan dan mempercepat pengeluaran, sementara sektor swasta juga harus mampu mempekerjakan lebih banyak orang dan mulai membelanjakan dana. Pembukaan kembali ibu kota, Port Vila, akan sangat membantu setelah pekerjaan pembongkaran yang dilakukan secara cepat dan efektif.
Namun, saat Vanuatu memasuki tahap rekonstruksi, diperlukan mata uang asing setara ratusan juta dolar AS. Lalu, dari mana dana ini akan diperoleh?
Sumber utama seperti pengiriman uang, bantuan luar negeri, dan penjualan kewarganegaraan tetap penting, sementara pembayaran asuransi akan menjadi penopang jangka pendek. Namun, semua ini bersifat rapuh dan bukanlah penghasilan yang dihasilkan langsung oleh perekonomian Vanuatu.
Jika Vanuatu ingin membiayai pemulihannya sendiri, dua sektor ekspor utama harus diberdayakan: pertanian dan pariwisata.
Pada tahun 2023, sektor pertanian hanya menghasilkan VUV 5,418 juta (sekitar US$44 juta), jauh dari yang dibutuhkan. Dari jumlah itu, 75% berasal dari kava. Namun, saat ini terjadi kelangkaan kava, yang diperkirakan akan menghambat ekspor selama setidaknya tiga tahun ke depan.
Ekspor kelapa, kakao, dan daging sapi mengalami penurunan sebesar 67% sejak 2014, dengan total hanya mencapai VUV 1,024 juta (US$8 juta) pada 2023. Meskipun kakao memiliki potensi di pasar global, peluang kelapa dan daging sapi sangat terbatas.
Peter Judge menyatakan bahwa meskipun peran pertanian tetap penting dalam jangka pendek dan panjang, saat ini tidak ada jalur cepat bagi sektor ini untuk menghasilkan devisa dalam jumlah besar.
Sebaliknya, cerita berbeda muncul dari sektor pariwisata. Sebelum pandemi COVID-19, pariwisata menyumbang sekitar VUV 30.000 juta (US$244 juta) per tahun—65% dari total ekspor negara. Namun, Vanuatu mengalami pemulihan pariwisata terburuk di Pasifik. Ekspor turun 20% dari level 2019 pada tahun 2023 dan diperkirakan menurun lagi pada 2024.
Padahal, Vanuatu memiliki lokasi strategis, iklim menyenangkan, budaya yang kaya, dan masyarakat yang ramah. Kekayaan alamnya luar biasa: indah, alami, dan beragam, dengan destinasi kelas dunia seperti Gunung Yasur.
Sayangnya, potensi besar ini belum dimaksimalkan. Sebagai perbandingan, Fiji menerima empat kali lebih banyak wisatawan per 1.000 penduduk. Produk pariwisata Vanuatu masih kurang dikembangkan, kurang didukung, dan sering kali kurang dikenal.
Sebagai contoh, pada Februari lalu, saya menghabiskan akhir pekan di Pulau Epi, hanya 100 kilometer di utara Efate. Kami mendaki ke air terjun besar, memanen kava, dan menikmati jeruk segar langsung dari pohonnya. Namun, kami adalah wisatawan pertama yang mengunjungi air terjun itu sejak 2019.
Pariwisata seperti ini berpotensi tinggi jika dikembangkan dan dipromosikan dengan baik. Namun, pariwisata pedesaan saat ini masih terbatas, dan perlu waktu lama sebelum menjadi sumber utama pendapatan. Dalam jangka pendek, operator besar di Efate, Santo, dan Tanna harus menjadi penghasil utama devisa dari sektor ini.
Vanuatu memiliki kapasitas untuk menggandakan jumlah wisatawan saat ini, baik dari sisi penerbangan internasional maupun akomodasi. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika konektivitas domestik diperbaiki. Salah urus dan kebangkrutan Air Vanuatu telah merugikan banyak pihak, dan perbaikannya sangat mendesak.
Meski pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk dua pesawat Twin Otter baru, kapasitas masih di bawah level 2019. Air Vanuatu kini dikelola oleh entitas baru AV3 yang sepenuhnya dimiliki negara, namun butuh waktu lama untuk mencapai standar layanan yang dibutuhkan. Pemerintah perlu terbuka terhadap solusi jangka pendek dan jangka panjang yang inovatif.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul narasi keliru bahwa pariwisata tidak penting. Kata-kata seperti ini harus dihentikan. Pemerintah perlu terus mendukung sektor swasta dan industri pariwisata sebagai penggerak ekonomi.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mengganti nama Kementerian Perdagangan dan Perindustrian menjadi Kementerian Pariwisata dan Perdagangan. Langkah simbolis ini dapat memberi sinyal positif kepada pengusaha dan investor.
Pemerintah dan pelaku industri juga perlu mengirimkan pesan yang jelas: Vanuatu terbuka dan siap menyambut wisatawan. Tambahan dana VUV 100 juta yang dialokasikan untuk Kantor Pariwisata Vanuatu merupakan langkah yang sangat positif untuk mendukung kampanye ini.
Terakhir, Pemerintah harus memiliki visi yang ambisius: menjadikan Vanuatu sebagai pusat pariwisata regional. Target realistis dapat berupa pemulihan ke tingkat 2019 pada tahun 2026, dan menggandakan jumlah wisatawan pada 2030. Ini bukan tugas mudah, tetapi sepenuhnya mungkin—dan sangat dibutuhkan. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!