Oleh: Thomas Ch Syufi*
Aksi lompat pagar di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, dilakukan aktivis saat digelarnya KTT APEC atau Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik(Asia-Pacific Economic Coorperation), 15-16 November 1994 di Bogor, Jawa Barat,
Timor Leste memang harus merdeka, karena Indonesia selama 24 tahun terlalu mensimplikasi persoalan di Timor Leste. Padahal secara faktual, pemerintah Indonesia telah mengetahui bahwa masalah Timor Leste sudah menjadi sorotan masyarakat internasional, termasuk di berbagai forum resmi, seperti Komisi HAM PBB, Parlemen Eropa, Inter-Parliamentary Union (IPU), dan Majelis Umum PBB.
Presiden BJ Habibie mempertahankan pilihannya dengan menjatuhkan referendum kepada Timor Timur sebagai jalan terbaik. Menurut Habibie, negosiasi masalah Timor Leste di New York (PBB) sudah selling-off, sudah melewati rambu-rambu. Keputusan itu juga diambil karena atas keyakinan Habibie dan bisikan Badan Intelijen Negara (BIN) bahwa pihak prointegrasi akan menang nanti.
Namun, semua keyakinan itu sirna. Hasil jajak pendapat terjadi di luar dugaan. Timor Leste kemudian merdeka.
Itulah konsekuensi yang harus diterima oleh Indonesia, setelah kelompok pro-kemerdekaan memenangkan jajak pendapat di Timor Leste, karena Indonesia lalai dan tidak mau menyelesaikan persoalan Timor Leste melalui jalan dialog seperti tawaran Portugal tahun 1986-1987. Indonesia juga bersikap antagonistis; ingin agar persoalan Timor Leste segera diselesaikan.
Namun di sisi lain, Indonesia sendiri tidak mau menerima proposal Portugal yang mengusulkan akses atas kunjungan pejabat asing ke Timor Leste, seperti pejabat PBB dan misi parlemen yang mewakili semua partai politik dalam parlemen Portugal (diikutsertakan wartawan asing).
Portugal juga mengusulkan agar Jose Ramos-Horta (aktivis Fretilin di luar negeri) diizinkan berkunjung ke Timor Leste untuk memantau situasi dan bertemu dengan para pemimpin Fretilin, agar ia dapat memberikan kontribusi ke arah penyelesaikan.
Sebelumnya, pada 30 April 1987, Sekjen PBB, Javier Perez de Quellar (1920-2020) asal Peru, berkunjung ke Portugal, untuk mengadakan pembicaraan dengan Presiden Portugal Mario Soares dan Menteri Luar Negeri Jaime Gama. Dari hasil pembicaraan tersebut, Portugal menghendaki Sekjen PBB memediasi atau menaungi perundingan langsung Indonesia-Portugal, untuk menyelesaikan masalah Timor Leste.
Namun, semua hasrat yang disampaikan oleh Portugal, yang masih sebagai penguasa sah secara hukum internasional atas Timor Leste itu, tidak digubris oleh Jakarta.
Mengapa Indonesia tidak mau berdialog? Tentu ada dua alasan yang mendasari itu.
Pertama, pemerintah Indonesia merasa telah memperoleh sebuah kemenangan di KTT Gerakan Non-Blok (GNB) ke-7 di New Delhi, India, 7-12 Maret 1983. Di forum itu terjadi pertarungan sengit antara diplomat Indonesia dan Portugal, serta masing-masing dengan negara sahabat dan pendukungnya tentang status Timor Leste dalam komunike yang akan dilahirkan.
Akhirnya, Indonesia sukses melobi India sebagai Ketua GNB sekaligus tuan rumah KTT GNB untuk tidak mengeluarkan pernyataan tentang Timor Leste. Pemerintah Indonesia juga merasa tidak penting lagi berdialog dengan Portugal, tetapi melanjutkan perjuangan di Majelis Umum PBB.
Pemerintah Indonesia berekspektasi agar MU PBB akan menghapus persoalan Timor Leste dari agenda PBB. Itu akan memperoleh dukungan sangat besar dari negara-negara anggota PBB, sehingga dapat dicapai penyelesaian konflik Timor Leste, yang dapat diterima masyarakat internasional, termasuk sebagai solusi terhormat bagi Portugal;
Kedua, pemerintah Indonesia tidak meladeni keinginan Portugal untuk berdialog langsung tentang status politik Timor Leste, yang dimediasi oleh PBB, karena dikhawatirkan bahwa Fretilin sebagai organisasi perjuangan pembebasan rakyat Timor Leste akan diakui PBB sebagai wadah resmi.
Hal ini akan merepotkan posisi Indonesia dalam percaturan politik global, karena Indonesia telah menuduh dan menstigmatisasi Fretilin sebagai organisasi ilegal, gerakan separatis, prokomunis, dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Bila Fretilin diakui PBB, maka pemerintah Indonesia dan Fretilin akan memiliki derajat yang setara; sama-sama sebagai subjek hukum internasional, hingga mendapat penghormatan dan perlakuan yang sama juga di panggung internasional. Itu akan merugikan Indonesia secara politik.
Akan tetapi, semua langkah yang ditempuh Indonesia seperti simalakama. Membuka dialog sama dengan membuka segala borok tentang invasi militer Indonesia yang berekses pada pelanggaran HAM di Bumi Lorosae.
Sebaliknya, tidak membuka keran dialog pun kebenaran yang terkubur di atas tumpukan kebohongan itu, akan berubah menjadi “kanker ganas” yang merusak seluruh tubuh Republik jika Indonesia berani menerima proposal Portugal, untuk mengizinkan para pejabat PBB atau Parlemen Portugal berkunjung ke Timor Leste.
Juga termasuk mengindahkan saran dari Nelson Mandela pada medio 1990-an. Untuk mengakhiri konflik Timor Leste, Indonesia hanya bisa berdialog dengan pemimpin politik rakyat Timor Leste, yaitu Xanana Gusmao (yang dipenjara di LP Cipinang, Jakarta), tentu akan mengikis segala kecurigaan dan kekhawatiran masyarakat internasional terhadap Indonesia atas Timor Leste.
Namun, sikap Indonesia yang tak pernah terbuka itulah yang mengundang reaksi dan tekanan internasional makin keras tentang masalah Timor Leste melalui referendum 30 Agustus 1999.
Selain itu, terjadi distorsi antara fakta di lapangan dengan laporan yang diterima oleh para diplomat Indonesia, yang terus berjuang dengan gigih di forum PBB untuk mempertahankan Timor Leste dalam NKRI.
Diplomat Indonesia ternyata tidak mampu mengalahkan Jose Ramos-Horta, aktivis Fretilin di luar negeri yang gencar melakukan kampanye anti-Indonesia tentang invasi militer Indonesia dan pelanggaran HAM di Timor Leste. Diplomat Indonesia juga tidak mampu melawan opini publik yang telah dibangun Portugal dan negara-negara sekutunya tentang pelanggaran HAM di Timor Leste. (Bersambung). (*)
Penulis adalah Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Advokat muda Papua
Discussion about this post