Jayapura, Jubi – Produsen informasi makin banyak, perusahaan media dituntut untuk lebih kreatif meraih kepercayaan publik di era disrupsi sehingga industri media digital tetap relevan dan tidak terpinggirkan.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI, Wahyu Dhyatmika mengatakan perusahaan media perlu merefleksikan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kurun waktu lima sampai 10 tahun terakhir ini.
Perusahaan media sebagai bagian industri media digital saat ini sedang berusaha melalui disrupsi.
“Ada banyak bermunculan kompetitor produsen informasi, selain media digital. Ada influencer, konten kreator, Key Opinion Leader atau KOL yang dimungkinkan keberadaannya oleh teknologi digital platform sosial media, seperti YouTube, X atau Twitter dulu, Meta, Instagram, Tik Tok gitu,” kata Wahyu Dhyatmika membuka diskusi Modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) untuk jurnalis dan pekerja media, melalui zoom meeting pada Selasa (23/7/2024).
Era disrupsi terjadi ketika suatu inovasi baru masuk ke pasar dan menciptakan efek yang cukup kuat sehingga mengubah struktur pasar yang sebelumnya. Era disrupsi adalah era dimana terjadinya perubahan masif yang mengubah sistem dan tatanan bisnis yang lebih baru, demikian dikutip Jubi dari situs ruangkerja.id yang diakses Selasa (23/7/2024).
Ketua AMSI menjelaskan ditengah banjir informasi di berbagai platform sosial media, perusahaan media seolah terpinggirkan. Hal itu dimungkinkan terjadi karena kepercayaan publik kepada media juga menurun.
Karena itu perlu menemukan cara bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada perusahaan media, bahwa media mempunyai kelebihan dibandingkan pembuat konten individual.
1. Taat pada kode etik jurnalistik
Kelebihan perusahaan media yang terpenting adalah ketaatannya pada kode etik jurnalistik.
“Kelebihan perusahaan media adalah ketaatannya pada kode etik jurnalistik, ketaatannya pada disiplin jurnalistik, pada verifikasi dan konfirmasi. Jadi seharusnya perusahaan media bisa menjadi mercusuar, menjadi referensi kebenaran, menjadi referensi fakta di tengah lautan informasi digital,” katanya.
2. Produk media mesti jadi acuan informasi
Wahyu Dhyatmika mengatakan media juga perlu memberikan contoh, perlu punya benchmark atau perangkat tolak ukur bagaimana sebaiknya mengelola sebuah perusahaan.
Perusahaan media digital tidak boleh hanya berpikir tentang bagaimana mengelola audience-nya, atau bagaimana memperoleh manfaat dari produk media yang diterbitkannya, melainkan juga bagaimana mengkonversi produknya menjadi acuan bagi informasi aktual.
“Tapi di tengah itu semua harus bisa mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, beretika, mematuhi prinsip-prinsip dan juga berkesadaran gender yang adil dan inklusif,” katanya.
3. Kepentingan publik dan keberimbangan selalu terdepan
Ketua AMSI lantas mengingatkan bahwa media selalu berhubungan dengan sebuah produk yang melayani publik. Karena salah satu prinsip penting jurnalisme adalah mengedepankan kepentingan publik maka perusahaan media yang mempublikasikan konten jurnalistik harus mengedepankan kepentingan publik.
“Hanya dengan cara itu media bisa kembali memperoleh kepercayaan dan jika kita memperoleh kepercayaan dari publik maka produk konten-konten media kita akan menjadi relevan. Dan akan berbeda dari konten yang dibuat oleh influencer atau oleh individu-individu yang mencoba membuat informasi atau konten di ranah digital ini,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu yang membedakan perusahaan media dibandingkan konten-konten kreator adalah pada prinsip implementasi dari keberimbangan.
4. Lingkungan bekerja yang aman
Keadilan tidak hanya diterapkan di media kepada berita-beritanya atau pada produk-produk beritanya, tapi juga secara internal diterapkan melalui manajemen perusahaan media yang memperlakukan karyawannya dengan baik dan memberikan rasa aman kepada karyawan secara khusus bagi perempuan.
“Media harus melindungi karyawannya, memberikan proteksi, memberikan ruang aman untuk perempuan yang bekerja di perusahaan media, memberikan ruang untuk keberagaman, memberikan perlindungan yang cukup untuk semua karyawannya,” ujarnya.
Penulis Modul Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO untuk jurnalis dan pekerja media, Nita Rositha mengatakan perusahaan mesti menciptakan ruang kerja yang aman bagi semua karyawan khususnya untuk perempuan. Karena perempuan yang rentan menjadi korban KBGO di media.
“Menjadi referensi untuk menciptakan ruang kerja yang aman dan inklusif bagi jurnalis dan pekerja media dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik,” ujar Nita Rositha. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!