Jayapura, Jubi – Masyarakat adat Raja Ampat, Papua Barat Daya, dengan tegas menolak ekspansi pertambangan nikel di wilayah mereka. Mereka menilai bahwa industri tambang hanya akan merusak ekologi, mengancam keberlanjutan lingkungan, dan memicu konflik sosial di antara masyarakat setempat.
Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PDBPAN) Moi Maya, Elon Salomon Moifilit, dalam pesan singkat kepada Jubi pada Senin (11/03/2025), menegaskan bahwa Raja Ampat bukan tempat untuk bisnis tambang nikel.
“Masyarakat adat menolak ekspansi pertambangan yang merusak ekologi dan memicu konflik sosial,” ujarnya.
Moifilit juga mengingatkan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat agar tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis dibandingkan hak masyarakat adat dan pelestarian lingkungan.
“Orang-orang di negara maju menikmati kendaraan listrik dari nikel, sementara kami di Papua harus menanggung dampak buruknya hingga anak cucu kami,” katanya.
Ia meminta kepemimpinan baru Bupati Orideko Iriano Burdam dan Wakil Bupati Mansyur Syahdan untuk menerapkan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat adat dan menjaga ekologi Raja Ampat.
“Jika kebijakan ekstraktif terus berlanjut, maka Raja Ampat yang kaya akan biodiversitas akan berubah menjadi kawasan bisnis pertambangan yang hanya menguntungkan oligarki,” tegasnya.
Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata bahari dunia, tetapi juga memiliki ekosistem yang sangat sensitif terhadap eksploitasi industri ekstraktif. Namun, beberapa pulau di wilayah ini telah diberikan izin usaha pertambangan (IUP) nikel.
Pulau Gag: PT Gag Nikel memiliki konsesi seluas 13.136 hektare, termasuk 6.060 hektare daratan dan 7.076 hektare perairan. Padahal, luas daratan Pulau Gag hanya 6.500 hektare, sehingga hampir seluruh pulau dan laut sekitarnya masuk dalam area eksploitasi.
Pulau Kawei: PT Kawei Sejahtera Mining memiliki IUP seluas 5.922 hektare (berlaku 2013-2033).
Pulau Manuram dan Waigeo: PT Anugerah Surya Pratama menguasai IUP seluas 9.365 hektare, dengan tambahan 1.167 hektare di Pulau Manuram.
Pulau Manyaifun dan Batang Pele: PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP) telah mendapatkan IUP seluas 2.194 hektare dan mulai melakukan survei serta pengambilan sampel sejak September 2024.
Ekspansi pertambangan ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat adat, yang khawatir akan dampak lingkungan dan sosial. Mereka menilai bahwa kehadiran tambang akan merusak ekosistem, memicu konflik sosial, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata.
Dalam serah terima jabatan pada 5 Maret 2025, Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat menyampaikan komitmen mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan menerapkan kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan. Namun, masyarakat menilai janji ini masih perlu dibuktikan dengan tindakan nyata.
“Hingga kini, izin tambang nikel masih diberikan, dan masyarakat adat terus menghadapi ancaman ekspansi industri tambang. Kami tidak menolak pembangunan, tetapi menolak eksploitasi yang mengorbankan masyarakat adat dan menghancurkan lingkungan,” tegas Moifilit.
Masyarakat mendesak Pemerintah Kabupaten Raja Ampat segera mencabut seluruh izin pertambangan nikel dan industri ekstraktif yang beroperasi di kawasan wisata bahari tersebut.
Masyarakat adat dari Distrik Waigeo Barat dan 12 kampung yang terdampak menyatakan bahwa mereka menolak keberadaan industri tambang nikel di wilayah mereka karena dampaknya yang sangat besar terhadap lingkungan dan kehidupan sosial.

Mereka mendesak Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk segera mencabut semua izin tambang nikel yang telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan tambang.
Selain itu, mereka meminta UNESCO dan Pemerintah Pusat untuk segera mengambil langkah-langkah guna melindungi Raja Ampat sebagai Global Geopark dunia agar tidak dirusak oleh industri ekstraktif.
Lebih lanjut, mereka juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup untuk membatalkan seluruh izin lingkungan yang diberikan kepada perusahaan tambang, termasuk AMDAL, UKL-UPL, dan RKL-RPL, yang dinilai hanya menguntungkan korporasi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan.
Masyarakat juga meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk tidak memberikan izin pemanfaatan laut bagi PT MRP, yang saat ini sudah mulai melakukan survei eksplorasi.
Menurut Boby Mambraku, pemuda adat Moi Maya, kehadiran PT MRP telah memicu konflik horizontal di Kampung Manyaifun antara keluarga yang menolak dan menerima aktivitas tambang.
“Kami telah lama hidup dari pariwisata, perikanan, dan pertanian. Jika pulau-pulau kami diberikan kepada perusahaan tambang, ekologi dan kehidupan sosial masyarakat akan hancur,” tegasnya.
Masyarakat menilai bahwa aktivitas pertambangan tidak hanya menyebabkan konflik sosial akibat perebutan lahan, tetapi juga merusak ekologi laut, mengancam terumbu karang, dan menurunkan ekonomi lokal.
“Masyarakat Raja Ampat siap mempertahankan tanah leluhur mereka dari ekspansi industri tambang. Kami mendesak pemerintah untuk berpihak pada masyarakat adat dan menjaga warisan alam yang telah menjadikan Raja Ampat sebagai Mutiara Dunia di Timur Indonesia,” tutup Boby. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!