Sorong, Jubi – Feki Yance Wilson Mobalen, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan pejuang masyarakat adat, yang dikenal karena berani melawan ketidakadilan, menghembuskan napas terakhirnya di RSUD Kabupaten Sorong pada Sabtu (22/2/2025) pukul 05:20 WIT akibat sakit.
Kesedihan mendalam dirasakan oleh Samuel Moifilit, juru kampanye penyelamatan tanah dan hutan Malamoi, sekaligus Kader Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi. Dengan suara lirih, ia menyampaikan betapa besar kehilangan sosok Feki Mobalen bagi para pejuang lingkungan dan hak adat. “Satu lagi suara perjuangan yang lantang membela hak-hak masyarakat adat kini telah tiada,” ujarnya.
Feki Mobalen adalah juga Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya. Kepergiannya tak saja menyisakan kehilangan bagi keluarga dan sahabat, tetapi juga bagi rakyat Papua yang selama ini mengetahui dan menyaksikan perjuangannya. Mobalen bukan hanya seorang aktivis, ia adalah simbol perlawanan terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat adat khususnya di Sorong Papua Barat Daya.

Menurut Moifilit, dia adalah sosok seorang pemimpin yang tak gentar berdiri di garda terdepan untuk membela tanah leluhur. “Kami tidak tega, masih banyak perjuangan yang H
Harus diteruskan”.
“Beliau berpulang meninggalkan kita, sementara masih banyak tugas yang harus kita selesaikan. Kita kehilangan seorang pemimpin, seorang guru, seorang motivator bagi anak-anak muda di Papua lebih kusus di wilayah Sorong Raya,” ungkap Samuel Moifilit.
Di mata para pemuda Papua, Feki Mobalen adalah seorang guru yang mengajarkan arti perjuangan. Menurut Moifilit ia kerap mengatakan bahwa berbicara tentang tanah dan hutan bukan hanya tentang hak, tetapi tentang isi hati Tuhan.
“Anak-anak muda yang bicara soal tanah, bicara soal hutan, itu anak-anak yang sedang memperjuangkan isi hati Tuhan,” kenang Moifilit, mengutip kata-kata almarhum yang menjadi pegangan dalam perjuangan mereka.
Dia juga mengenang Mobalen sebagai sosok yang tak kenal takut. “Feki Mobalen bukan hanya seorang pejuang yang vokal, tetapi juga seorang pemimpin yang mengajarkan keberanian. Ia tidak pernah mengajarkan rasa takut. Bagi Feki, melindungi bumi, tanah, dan hutan adalah tanggung jawab suci yang diberikan Tuhan kepada manusia,” ungkapnya.
“Bicara soal bumi, bicara soal tanah, hutan, dan manusia, itu adalah bicara tentang ciptaan Tuhan. Itu tugas kita untuk memperjuangkannya,” demikian sikap ketegasan Mobalen dalam banyak kesempatan seperti yang dikenang Moifilit.
Sebagai aktivis pejuang masyarakat adat, Feki Mobalen telah membawa suara masyarakat adat Papua hingga ke panggung nasional dan internasional. Ia adalah bagian dari gerakan lingkungan, HAM, dan politik yang berusaha menegakkan keadilan bagi masyarakat adat yang terus mengalami tekanan dan ketidakadilan.
Kepergiannya juga meninggalkan duka mendalam bagi Ambrosius Klagilit, anggota LBH Kaki Abu sekaligus sepupu almarhum. Ia yang berada di sisi Mobalen hingga akhir hayatnya menyatakan bahwa kepergian ini adalah kehilangan besar bagi gerakan masyarakat adat di Papua.
“Kami sangat kehilangan sosok anak muda yang penuh karisma, yang tak pernah takut melangkah meskipun tantangan sebesar apa pun menghadangnya,” ungkap Klagilit.
Di mata para aktivis muda, Feki Mobalen adalah pembakar semangat. Ia seperti tidak mengenal lelah, meskipun ancaman dan rintangan selalu ada di hadapannya, lanjut Klagilit.
“Semangat juangnya sangat tinggi. Ia menjadi panutan di kalangan aktivis di wilayah Sorong Raya,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.
Sekjen AMAN: Feki Mobalen seorang visioner masyarakat adat Papua

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2022–2027, Rukka Sombolinggi, menyampaikan duka citanya atas wafatnya Feki Yance Wilson Mobalen.
Melalui sambungan telepon kepada Jubi di Sorong pada Sabtu (22/2/2025), Rukka mengungkapkan rasa kehilangan yang begitu besar. “Saya masih sangat sedih. Ini masih terasa seperti mimpi. Feki benar-benar sudah pergi,” ucapnya lirih.
Rukka mengenang sosok Feki Mobalen sebagai seorang pemikir yang cerdas dan berdedikasi.
“Dia tidak banyak bicara, tetapi pikirannya luar biasa. Dia rajin mencatat dan sering mengirimkan catatan-catatan itu kepada saya. Pemikirannya tentang masyarakat Papua sangat dalam dan visioner,” tambahnya.
Rukka menceritakan, pada Desember 2024, setelah kembali dari Inggris, Mobalen menghabiskan banyak waktu di Bogor dikediaman Rukka. Mereka sering berdiskusi tentang berbagai persoalan masyarakat adat Papua.
“Setiap hari kami bertemu, makan siang, makan malam bersama di teras belakang rumah saya. Kami berdiskusi banyak hal. Saya bahkan meminta Feki untuk ikut dalam tim riset tentang dampak transmigrasi bagi orang Papua yang akan dipimpin oleh Bang Abdon,” kenangnya.
Menurut Rukka, Mobalen juga sangat peduli dengan masa depan orang-orang Muay. Ia terlibat dalam perencanaan dokumentasi dan pembuatan film dokumenter mengenai kehidupan masyarakat Muay, khususnya tentang sagu, anak-anak muda, dan peran mama-mama dalam kehidupan sehari-hari.
“Dia menceritakan tentang rumahnya, tentang mimpinya menjadikannya tempat berkumpul bagi anak-anak muda untuk berdiskusi dan belajar. Dia sangat bersemangat membangun ruang untuk generasi muda,” ujar Rukka.
Ia juga sempat berdiskusi dengan Rukka mengenai Musyawarah Daerah (Musda) AMAN Sorong Raya, dan menyatakan kesiapannya jika diminta kembali menjadi ketua.
“Ketika saya tanya apakah dia masih bersedia jika diutus oleh kampung untuk kembali menjadi ketua, dia bilang siap. Kami sudah mencocokkan jadwal agar Musda bisa disesuaikan dengan waktu saya. Tapi kemudian dia jatuh sakit,” ujar Rukka dengan penuh penyesalan.
Sebelum wafat, kondisi Feki sempat membaik. Bahkan, dua hari sebelum kepergiannya, ia masih sempat berbicara dengan Rukka.
“Saya pikir dia akan sembuh karena suaranya terdengar baik.” Rukka juga menyampaikan rasa penyesalannya, merasa belum berbuat cukup untuk membantu Mobalen. “Saya minta maaf kepada semua. Saya merasa belum cukup banyak berbuat untuk Feki. Saya menyesal, setiap hari saya membujuknya untuk berobat, tapi dia hanya bilang, ‘Kakak, pulang saja dulu.’ Saya minta maaf kepada keluarga dan teman-teman di sana,” katanya penuh kesedihan.
Sepanjang hidupnya, Feki Mobalen dikenal sebagai pemuda yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga, rekan, dan masyarakat yang pernah merasakan perjuangannya.
“Kami sangat kehilangan sosok anak muda yang penuh kharisma,” ujar Maria baru jurnalis suara Papua di Sorong, Sabtu 22/2/2025.
“Semangat juangnya sangat tinggi. Ia tidak mengenal lelah, meskipun banyak tantangan dan rintangan. Ia juga menjadi panutan di kalangan aktivis di wilayah Sorong Raya,” tambahnya seraya mengenang almarhum. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!