DERAP NUSANTARA

Halaman kerjasama pemberitaan Jubi dan Kantor Berita Antara

Anggota DPR minta Kemenkes selektif pengadaan vaksin COVID-19

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay - ANTARA/Dewanto Samodro

Jakarta, Jubi/Antara – Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay meminta Kementerian Kesehatan selektif dalam pengadaan vaksin untuk program vaksinasi COVID-19.

“Kemenkes mau tidak mau harus selektif. Selain untuk menghindari kadaluarsa, kemenkes juga harus memilih dan membeli vaksin halal. Pengadaan vaksin halal ini adalah amanat dari putusan judicial review di MA,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.

Dia mengingatkan terkait vaksin halal merupakan amanah dalam putusan MA, sehingga harus cepat dalam pengadaan. Dia juga meminta Kemenkes tidak menerima hibah vaksin non-halal.

Ketua Fraksi PAN DPR itu meminta Kemenkes untuk memperhatikan masa kadaluarsa vaksin. Menurut dia, dalam rapat terakhir dengan kemenkes, biofarma, dan BPOM dilaporkan adanya vaksin yang sudah kadaluarsa.

“Jumlahnya mencapai 19,3 juta dosis vaksin. Tidak hanya itu, diperkirakan bahwa pada bulan April dan awal Mei, vaksin kadaluarsa bisa mencapai 50 juta dosis, bahkan lebih,” ungkapnya.

Anehnya, kata Saleh vaksin kadaluarsa itu diperiksa kembali oleh BPOM. Lalu, diperpanjang masa waktu berlakunya. Yang semestinya sudah kadaluarsa, ada yang diperpanjang dan diperbolehkan untuk disuntikkan lagi.

“Teman-teman komisi IX banyak yang mempertanyakan. Kalau memang bisa diperpanjang, mengapa ada masa kadaluarsa. Dengan perpanjangan itu, definisi kadaluarsa (expired date) menjadi kabur dan tidak jelas,” katanya.

Kata Saleh, kementerian kesehatan diminta untuk tegas menghindari penggunaan vaksin yang sudah kadaluarsa. Harus dipastikan bahwa vaksin yang diberikan ke masyarakat adalah vaksin terbaik dan sesuai ketentuan. Dalam logika awam, bagaimana pun vaksin kadaluarsa pastilah memiliki risiko tertentu.

Sejalan dengan itu, lanjut Saleh, kementerian kesehatan diminta agar selektif dalam menerima hibah dan membeli vaksin. Penerimaan hibah dan pembelian vaksin pasti menggunakan APBN. Anggaran yang digunakan tidak sedikit. Sampai sejauh ini, biaya pembelian vaksin sudah mencapai lebih dari Rp32 Triliun. Angka ini belum termasuk biaya handling dan distribusi vaksin hibah. Kalau ada yang kadaluarsa dan tidak terpakai, tentu akan ada kerugian negara yang cukup besar.

“Sederhananya, kalau mau menerima hibah, Kemenkes harus memastikan dulu bahwa masa kadaluarsanya masih lama dan vaksinnya halal. Kalau mau beli, dipastikan halal dan dipilih yang masa kadaluarsanya lama. Dengan begitu, kebutuhan pada vaksin halal terpenuhi dan waktu untuk menyuntikkannya cukup. Tentu semua itu harus didasarkan pada ketentuan pelaksanaan vaksinasi sebagaimana diarahkan oleh para ahli epidemolog dan ITAGI,” pungkasnya.

Sebelumnya Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Ni’am Sholeh menyebutkan saat ini sudah ada empat fatwa MUI yang berkaitan dengan vaksin COVID-19 dan sudah ditetapkan kehalalannya. Adapun Vaksin COVID-19 yang sudah mendapatkan fatwa halal MUI yakni Sinovac, Zifivax, Merah Putih, dan Sinopharm. (*)

BacaJuga

Baca juga

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Add New Playlist