Merauke, Jubi – Pemerintah Kabupaten Merauke tidak mengeluarkan izin untuk kegiatan investasi perkebunan di Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Sebab di pulau ini terdapat kawasan Hutan Produksi Konversi atau HPK, hutan lindung, dan sebagian besar kawasannya merupakan hutan mangrove.
Pulau Kolepom disebut juga Pulau Dolok atau Pulau Yos Sudarso terpisah dari daratan besar Pulau Papua, dan berada sekitar 145 mil sebelah barat Kota Merauke. Pulau dengan luas 11.742 kilometer persegi ini mencakup Distrik Kimaam, Waan, Kontuar, Tabonji, dan sebagian wilayah Distrik Ilwayab.
“Berdasarkan tata ruang, daerah Kimaam itu berada pada posisi HPK, hutan lindung, dan daerah mangrove. Untuk investasi itu agak sulit, dan tidak bisa kalau [ada] hutan lindung,” kata Bupati Merauke Romanus Mbaraka kepada wartawan, Minggu (16/6/2024).
Menyikapi aksi demonstrasi masyarakat adat yang menolak investasi di Pulau Kimaam pada Kamis (13/6/2024), Romanus Mbaraka mengatakan tidak ada satu izin pun yang dikeluarkan pemerintah untuk kegiatan investasi di Pulau Kimaam. Juga tidak ada pemberitahuan dari Kementerian Investasi, Kementerian Pertanian, atau departemen terkait lokasi yang menjadi fokus investasi di sana.
“Mau wilayah Kimaam [atau] Maklew belum masuk [rencana investasi] sama sekali. Namun dalam tata ruang, [Pulau Kimaam] untuk perwilayahan potensial dan komoditas [rencana pengembangan pertanian, peternakan, dan perikanan] itu ada. Tapi itu bukan berarti serta-merta investasi jalan. Jadi tidak ada satu pun izin untuk investasi di sana. Tidak ada sampai dengan hari ini,” katanya.
Selaku kepala daerah, kata Romanus Mbaraka, dia maupun Pj Gubernur Apolo Safanpo belum menerima pemberitahuan dari pemerintah pusat jika ada rencana kegiatan investasi di Pulau Kimaam. “Kalau ada helikopter atau pesawat yang melakukan survei di sana, saya kira itu wajar saja, itu untuk meneliti semua ruang kewilayahan,” ujarnya.
Romanus Mbaraka merespons positif aspirasi masyarakat yang menolak investasi di Pulau Kimaam. Menurutnya, biar bagaimanapun tanah ulayat masyarakat adalah segala-galanya untuk hidup dan anak-cucu mereka di masa mendatang. Sikap kritis masyarakat dipandang perlu dan wajar untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintah.
“Saya pikir sangat wajar masyarakat menyampaikan aspirasi. Tapi sesungguhnya Kimaam dan daerah-daerah sekitarnya itu belum menjadi fokus investasi. Kimaam memang masuk dalam tata ruang potensial yang bisa dikembangkan untuk peternakan, pertanian basah, dan perikanan. Namun bukan berarti investasi masuk,” ujarnya.
Pemerintah antisipasi kekurangan pangan
Bupati Romanus Mbaraka menyebut total alokasi ruang wilayah di Kabupaten Merauke untuk lahan pertanian adalah 1,2 juta hektare, bukan 2 juta hektare. Namun apabila seluruh wilayah Provinsi Papua Selatan digabungkan, potensi pertanian yang dikembangkan di atas 1,2 juta hektare.
Dengan potensi yang ada ini, pemerintah pusat berencana melakukan swasembada pangan dari Papua Selatan, karena ada ramalan bahwa dunia akan mengalami krisis pangan. Dengan mengoptimalkan lahan pertanian di Kabupaten Merauke dan sekitarnya, pemerintah optimistis dapat mengantisipasi kekurangan pangan nasional di masa mendatang.
“Kita yang harus bersyukur bahwa pemerintah mau membantu Merauke untuk mengoptimalkan 63 ribu lahan yang selama ini petani Merauke kerja, itu yang mau dioptimalkan. Makanya Menteri Pertanian bersama presiden [terpilih atau Menteri Pertahanan saat ini], dan Menteri Investasi terus datang ke Merauke untuk bagaimana optimalisasi lahan ini bisa dilakukan,” katanya.
Ia mengatakan bahwa Indeks Produksi (IP) panen padi di Kabupaten Merauke masih rendah, dua kali tanam dalam setahun. Karenanya optimalisasi lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas beras Merauke.
“Indeks produk padi kita itu, baru dua kali tanam kita, nah, itu yang mau dinaikkan ke IP tiga kali tanam, dengan rata-rata produksi gabah kering giling itu bisa di atas enam ton. Selama ini masih empat ton, dua ton, bahkan ada yang ada tidak sampai dua ton,” katanya.
Selain produktivitas, pemerintah daerah juga berupaya meningkatkan kualitas beras melalui penanganan pascapanen. Beras Merauke selama ini belum memenuhi selera pasar, dan hanya masuk pasar Bulog. Dengan meningkatkan kualitasnya, diharapkan beras Merauke dapat masuk pasar bebas dengan harga yang menguntungkan petani di sana.
“Selama ini kualitas beras Merauke, pH-nya masih di bawah tujuh dan tingkat patahannya juga cukup tinggi. Standarnya harus pH 11. Kalau di bawah itu, rawan terjadi pendebuan dalam beras. Hal ini karena penanganan pascapanen kita masih manual, dan penggilingan juga masih standar. Sehingga hal ini juga yang akan dioptimalkan nanti,” ujarnya.
Aspirasi penolakan tebu kian ‘kencang’
Pada Kamis (13/6/2024) lalu, ratusan orang dari kelompok masyarakat adat suku Kimahima di Distrik Kimaam, dan Maklew dari Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, melakukan demonstrasi damai untuk menolak rencana pemerintah membangun perkebunan tebu di wilayah adat mereka. Terdapat delapan poin aspirasi masyarakat adat yang disampaikan kepada pemerintah, antara lain masyarakat adat Kimahima dan Maklew dengan tegas menolak PT Global Papua Abadi (perusahaan perkebunan tebu yang saat ini sedang beroperasi di Distrik Tanah Miring dan Jagebob), dan perusahaan peternakan sapi/kerbau atau sejenisnya masuk beroperasi di Pulau Kimaam.
Masyarakat adat Kimahima dan Maklew juga dengan tegas meminta Pemkab Merauke dan Pemprov Papua Selatan untuk tidak memberikan izin operasi kepada PT Global Papua Abadi (GPA) dan perusahaan peternakan kerbau/sapi dan atau sejenisnya di wilayah adat mereka. Masyarakat adat pemilik hak ulayat selanjutnya meminta MRPS dan DPRD kabupaten untuk memfasilitasi persoalan dimaksud hingga tuntas.
Selain itu, masyarakat adat mendesak agar DPRD Kabupaten Merauke serta MRPS segera membentuk panitia khusus (pansus), untuk mengusut para pihak yang terlibat dalam rencana pemerintah dan perusahaan membuka perkebunan tebu di wilayah Pulau Kimaam. Mereka juga mendesak pemerintah pusat mencabut izin usaha perusahaan tebu PT GPA, dan perusahaan sapi serta kerbau yang hendak berinvestasi di Kimaam.
Sebelum masyarakat adat Kimahima dan Maklew berdemonstrasi, pada 8 Juni 2024, masyarakat adat Suku Yei (salah satu suku besar Merauke yang bermukim di wilayah Distrik Ulilin, Elikobel, Jabebob, dan Sota), dengan tegas menolak rencana pembukaan lahan untuk perkebunan tebu di wilayah adat mereka. Dikutip dari Sorak, media Keuskupan Agung Merauke, sikap penolakan itu disampaikan secara langsung oleh masyarakat adat Yei dalam pertemuan dengan PT Global Papua Abadi (perusahaan tebu yang sedang beroperasi di wilayah Tanah Miring, Jagebob dan sekitarnya), dan perwakilan pemerintah pada Sabtu, 8 Juni 2024.
Terdapat lima poin utama yang menegaskan penolakan masyarakat terhadap rencana perusahaan. Di antaranya, masyarakat adat Suku Yei telah hidup dari sumber daya alam yang melimpah di tanah adat mereka selama berabad-abad, sehingga menolak pembukaan perkebunan tebu di sana.
Tanah adat adalah warisan dari Tuhan dan leluhur yang mengandung norma, nilai, harga diri, dan hukum adat yang harus dipertahankan. Setiap pihak yang berinvestasi di wilayah adat wajib menghormati dan mematuhi semua aturan, nilai, norma, dan hukum adat Suku Yei.
Poin berikutnya, setiap marga harus melakukan tata batas wilayah adat secara jelas, untuk mencegah konflik sosial yang bisa merusak tatanan dan keharmonisan masyarakat. Terakhir, keberadaan masyarakat adat Suku Yei dan wilayah adat diakui dalam hukum Indonesia, termasuk dalam Pasal 18B UUD RI 1945 dan UU Nomor 02 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, Perdasus Provinsi Papua No. 23 Tahun 2008 dan Perda Kabupaten Merauke No. 05 Tahun 2013.
Untuk diketahui, sementara ini lahan tebu yang dikelola PT Global Papua Abadi seluas 506 hektare dengan nilai investasi Rp53.8 triliun. Lokasi perkebunan berada di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Perusahaan ini juga berencana melakukan perluasan lahan perkebunan tebu yang meliputi wilayah Distrik Jagebob, Eligobel dan sekitarnya. (*)
Discussion about this post