Jayapura, Jubi – Polisi mengadang aksi mahasiswa Papua saat melakukan aksi di kawasan Renon, Denpasar, Bali. Aksi yang dilakukan pada Senin (10/6/2024), dilakukan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, dalam mempertahankan tanah dan hutan adatnya.
Ikatan Mahasiswa Masyarakat Pelajar Papua atau IMMAPA Bali dalam siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Senin, menyebutkan kronologi pengadangan aksi mahasiswa Papua tersebut.
Sekitar pukul 09.30 WITA massa aksi menuju ke titik kumpul parkiran timur lapangan Renon. Kemudian korlap mengerahkan massa aksi untuk masuk dalam tali komando dan berbaris rapi lalu membentangkan spanduk dan poster-poster.
Beberapa menit kemudian, korlap mengerahkan massa aksi untuk pergi ke titik aksi di bundaran Renon atau depan Konjen AS. Namun, dalam perjalanan sebelum ke titik aksi, polisi sudah siaga untuk mengadang massa aksi dengan jumlah personil sekitar 200-an.
“Aparat mengadang massa aksi dengan memarkir dua mobil dalmas dan satu mobil komando. Massa aksi diadang dengan alasan ada aksi tandingan yang dilakukan oleh ormas PGN di depan Konjen AS,” demikian rilis IMMAPA.
Massa lantas bertahan di tempat selama 4 jam sambil berorasi, membaca puisi dan lain-lain. Lalu korlap mengerahkan massa aksi, untuk mendobrak barikade polisi, agar bisa pergi ke titik aksi. Di titik aksi nanti hanya membacakan pernyataan sikap lalu pulang.
Namun, polisi tetap bersikeras untuk mengadang massa dengan barikade. Massa pun membacakan pernyataan sikapnya di hadapan barikade polisi.
Sebelum pernyataan sikap dibacakan, polisi mendorong massa aksi dan menembakkan gas air mata. Lima orang dari pihak massa berinisial HM, SG, MA, LM, dan IK mengalami luka-luka. Diduga karena ditendang dan dipukul oleh oknum polisi.
Sedangkan empat lainnya, berinisial AM, MK, MA, dan HM dibawa ke Polsek Renon dengan menggunakan mobil dalmas.
Sekitar empat puluh menit kemudian massa aksi mendatangi Polsek Renon. Mereka menuntut agar empat mahasiswa Papua dan seorang aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali yang ditahan polisi segera dibebaskan.
Polisi akhirnya membebaskan empat mahasiswa Papua dan satu aktivis LBH Bali yang ditahan itu.
Perjuangan suku Awyu dan Moi
Suku Awyu dan suku Moi terus melawan investor yang mengeruk hutan adat mereka.
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit, demi mempertahankan hutan adat.
Kedua suku ini mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Lewat aksi damai tersebut, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap agar Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
Hendrikus Woro dan kawan kawannya menggugat Pemerintah Provinsi Papua, karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu.
Namun gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa, untuk mempertahankan hutan adat–warisan leluhurnya, dan menghidupi marga Woro turun-temurun.
Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.
Suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.
Selain suku Awyu dan Moi, di seluruh tanah Papua menjadi ladang investasi, sehingga banyak perusahaan yang masuk secara ilegal dan mengeruk sumber daya alam Papua. Hal itu berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia Papua, pelanggaran HAM, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat juga masih terjadi.
Seperti proyek Merauke Integrated Food And Energy Estate (MIFEE) yang memakan ribuan tanah masyarakat adat, proyek strategis nasional perkebunan tebu 2 juta hektare juga belum memiliki kajian yang jelas terkait hal tersebut, dan pembangunan bandara antariksa di Biak.
Di Timika Agimuga, terdapat kandungan minyak bumi di Blok Warim karena fantastis, beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan telah menemukan “harta karun” potensinya diketahui sangat besar 27 miliar barel per hari, yang sampai saat ini masih mendapatkan penolakan dari masyarakat Timika, khususnya Agimuga.
Di Deiyai operasi tambang emas ilegal PT Zoomlion Indonesia Heavy Industry di Kampung Mogodagi, Distrik Kapiraya, Kabupaten Deiyai. Di Wamena masyarakat adat menolak penempatan lokasi pembangunan kantor gubernur di wilayah adat Walesi dan Wouma, yang menggusur tanah adat sekitar 72 hektare, yang kemudian menjadi 108,8 hektare.
Lalu pembangunan Kodim di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, yang dinilai merugikan masyarakat pemilik ulayat.
Serta konflik bersenjata yang masih terjadi di beberapa daerah seperti Yahukimo, Nduga, Intan Jaya, Puncak Ilaga, Aifat, Pegunungan Bintang, Paniai, dan terkait Blok Wabu di Intan Jaya yang ditolak masyarakat setempat.
Pernyataan sikap
Perjuangan suku Awyu dan suku Moi di Mahkamah Agung merupakan upaya terhormat, demi hutan adat dan anak cucu mereka.
Oleh sebab itu, IMMAPA menuntut kepada negara dan MA beberapa poin:
- MA untuk cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi;
- MA mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi, tapi juga masyarakat Indonesia lainnya;
- Cabut semua izin di tanah milik suku Awyu dan Moi;
- Selamatkan hutan Papua dan Save Indigenous Papuan Forests;
- Papua bukan tanah kosong;
- Kami mendukung, Perjuangan Masyarakat adat Awyu dan Moi Melawan perusahan ilegal di papua;
- TNI/Polri hentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi;
- Tutup PT Freeport Indonesia, BP LNG Tangguh, MIFEE, Corindo dan semua perusahaan di seluruh Tanah Papua;
- Tolak perusahaan migas di Agimuga, Kabupaten Mimika;
- Tangkap dan adili semua jenderal pelanggar HAM;
- TNI/ Polri stop menciptakan konflik horizontal antara OAP dan non-OAP;
- Tarik militer organik dan nonorganik dari seluruh Tanah Papua;
- Stop kriminalisasi dan perampasan lahan di Batur dan masyarakat adat di seluruh Indonesia;
- Kami mengimbau kepada publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim;
- Buka akses seluas- uasnya kepada jurnalis nasional maupun internasional di Tanah Papua;
- Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua sebagai solusi demokratis. (*)
Discussion about this post