Jayapura, Jubi – Kabupaten Asmat yang terletak di Provinsi Papua Selatan punya warisan budaya seni ukir Asmat bercita rasa tinggi di mata dunia. Karya seni ukir dengan teknik pahat rumit yang lahir dari tangan terampil Suku Asmat telah membuat nama Asmat mendunia.
Seni ukir kayu Asmat merupakan warisan budaya yang sudah turun temurun dilakukan oleh kebanyakan kaum pria di wilayah tersebut. Mengukir bagi orang Asmat dipercaya sebagai mediator yang menghubungkan kehidupan masyarakat dengan leluhur mereka.
Kini, karya seni ukir Asmat bukan hanya lestari, tapi juga banyak diminati oleh kolektor hingga wisatawan dari luar negeri. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Asmat, Donatus Tamot menyatakan ukiran Asmat memang unik.
“Asmat memang sangat terkenal karena hasil karya ukiran sejak dahulu sebagai suatu kekayaan budaya yang tidak dimiliki oleh daerah lain,” kata Tamot pada Minggu (16/6/2024).
Seni ukir Asmat berpotensi memberi dampak positif kepada kemajuan daerah Asmat. Pesta Budaya Asmat yang diinisiasi Keuskupan Agats sejak tahun 1981, ketika Asmat baru berstatus sebagai salah satu kecamatan (kini disebut distrik) di Provinsi Irian Jaya. Pesta Budaya Asmat berperan besar membuat karya seni ukir Asmat mendunia.
Kini, Pemerintah Kabupaten Asmat melalui Dinas Pariwisata mendukung Pesta Budaya Asmat yang telah bersalin nama menjadi Festival Asmat Pokman. “Pemerintah daerah berupaya memajukan kebudayaan di Asmat sebagai modal pembangunan dengan keberagaman kebudayaan yang dimiliki oleh suku-suku dan rumpun di Asmat,” ujar Tamot.
Ia menjelaskan Dinas Pariwisata Kabupaten Asmat memiliki tanggung jawab untuk ikut berandil pada pembangunan kemajuan daerah, dengan merujuk kepada 11 Objek Pemajuan Kebudayaan atau OPK cagar budaya seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Festival Asmat Pokman
Festival Asmat Pokman akan memasuki pelaksanaan yang ke-37 pada Oktober 2024. Kata ‘pokman’ berasal dari bahasa Asmat dialek rumpun Bismam. Pok berarti karya, dan Man/Mban berarti tangan.
Bupati Asmat, Elisa Kambu mengatakan pesta budaya tahunan itu digelar untuk melestarikan seni budaya masyarakat Asmat. “Menari, mendayung dan mengukir itu bagian dari jati diri kami, orang Asmat. Itu [budaya] yang membedakan kami dengan masyarakat di belahan dunia lain. Kami harus berbesar hati, bahwa di tengah arus globalisasi, kami masih mempertahankan jati diri, dan tetap melestarikan kearifan lokal,” kata Kambu.
Festival Asmat Pokman juga memupuk persaudaraan antar sub suku atau antar rumpun Suku Asmat, sekaligus membangun persaudaraan dengan orang luar. Pesta budaya itu telah mengembangkan dan melestarikan kembali energi seni pahat Asmat, dan memperkenalkan Asmat kepada dunia.
Kurator Museum Asmat, John Ohoiwirin menuturkan Pesta Budaya Asmat diinisiasi Uskup Agats tahun 1981, Mgr Alphonse August Sowada OSC, dengan mengumpulkan 36 pematung dari seluruh wilayah Asmat. “Proses itu terus dijalankan, dan pemerintah setempat mulai terlibat pada 1990-an,” ujar John Ohoiwirin.
Dalam Festival Asmat Pokman, sebanyak 200 seniman pahat Suku Asmat berkumpul dan saling unjuk keahlian memahat. Mereka adalah para pemahat dan pematung yang lolos dari tahapan seleksi yang digelar di distrik masing-masing.
“Dalam seleksi di tingkat distrik yang selalu dilakukan jelang festival, kami hanya mengambil 30 nominasi dari setiap distrik. Kuota maksimal untuk peserta yang akan tampil di festival [adalah] 200 orang pengukir,” kata John.
Tak hanya menampilkan keindahan seni memahat, Festival Asmat Pokman juga menyajikan beragam seni budaya Asmat lainnya. Seperti atraksi, tari, dan kerajinan anyaman.
Festival Asmat Pokman diharapkan dapat meningkatkan sektor perekonomian kreatif di Asmat. Festival itu telah masuk dalam kalender Karisma Event Nusantara (KEN), agenda Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Total ada 110 event yang masuk dalam kalender KEN, terdiri dari 100 event unggulan dan top 10 event.
Festival Asmat Pokman ikut tampil berkolaborasi dan berpartisipasi dalam promosi FAP pada KEN Festival 2024. Donatus Tamot menyatakan festival itu dipromosikan juga oleh Kemenparekraf. “Akan banyak hal positif, kunjungan wisatawan ke Asmat juga akan meningkat,” kata Tamot.
Festival Asmat Pokman menjadi jembatan bagi para pengukir Asmat untuk memasarkan hasil karya mereka hingga para peminat dari mancanegara. Ukiran karya mereka akan dihargai hingga puluhan juta rupiah pada lelang yang berlangsung di Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat, pada salah satu hari festival.
Pada pelaksanaan Festival Asmat Pokman tahun 2023, hasil dari pembelian ukiran dan berbagai produk ekonomi kreatif bisa mencapai Rp 3 miliar lebih. Sementara anggaran yang dikucurkan Pemerintah Kabupaten Asmat untuk membantu pelaksanaan festival itu mencapai Rp1,4 miliar.
“[Nilai Rp3 miliar] itu [baru dihitung] dari ukiran yang dilelang maupun anyaman yang dibeli. Kontribusi dari kegiatan itu sangat potensial. Kami lihat jumlah tamu yang datang, hotel di Asmat penuh dengan adanya festival itu, omset mereka naik,” ungkap Tamot.
Berkeliling dunia
Bernard Bicimpari mensyukuri hidupnya sebagai putra asli Asmat yang melestarikan tradisi mengukir. Ia seorang seniman pahat, yang dalam istilah Asmat disebut Wow ipits. Dengan keahliannya itu, Bicimpari mengunjungi beberapa negara untuk memperkenalkan budaya dan karya seni ukir Asmat.
Guru SMK Seni dan Kreatif di Asmat yang berusia 48 tahun itu mulai mendalami keahliannya sebagai Wow ipits sejak duduk di bangku sekolah dasar. Itu bermula dari kebiasaannya melihat orang tua membuat karya seni ukir Asmat.
Saat kelas 3 SD, Bicimpari berpartisipasi dalam Pesta Budaya Asmat tahun 1985. Meski hasil ukirannya belum sempurna, karya Bernard terjual dengan harga Rp90 ribu. Ia merasa bangga karyanya dihargai orang, dan termotivasi untuk terus mendalami seni ukir.
“Ukiran saya waktu itu belum begitu bagus, cuma bisa masuk lelang dan dihargai Rp 90 ribu. Waktu itu saya masih 12 tahun,” katanya.
Sejak saat itu, Bicimpari tak pernah melewatkan momen Pesta Budaya Asmat. Apresiasi terhadap karyanya pun terus naik. Ia menjadi salah satu seniman pahat terbaik di Kabupaten Asmat, dan karyanya pernah terjual dengan nilai Rp8,9 juta.
Pada 2016 silam, ia diundang untuk memberikan pelatihan seni memahat di sebuah universitas di Minnesota, Amerika Serikat. “Di sana saya mengajar seni ukir,” ujarnya.
Pada tahun yang sama, Bicimpari berkeliling ke beberapa daerah di Amerika Serikat, seperti Chicago, Indiana, Arizona dan California. Keahliannya itu juga membawanya ke Jepang dan Singapura. “Itu yang memberikan motivasi kepada saya untuk terus maju,” katanya.
Karya seni ukir Bicimpari banyak dipesan para kolektor di Indonesia hingga luar negeri. “Jumlah hasil ukiran saya tidak bisa dihitung lagi. Di Amerika itu yang paling jauh, [karya saya dibeli] mulai harga 150 dolar AS. Secara ekonomi, [apresiasi atas karya seni ukir itu] sangat berdampak,” sebutnya.
John Ohowirin selalu Kurator Museum Asmat yang dikelola Keuskupan Agats juga menyebut apreasiasi terhadap seni ukir Asmat memberi dampak kepada perekonomian di Asmat, kendati dampak itu belum berkelanjutan. “Saat digelar festival, mereka [para seniman Asmat] mendapat hasil dari lelang ukiran, anyaman, dan yang lain,” kata John.
Peluang ekspor
Pelestarian budaya seni ukir Asmat tak terlepas dari peran Uskup Agats pertama, Mgr Alphonse August Sowada OSC. Uskup yang berasal dari Amerika Serikat adalah seorang antropolog yang bertugas di Asmat sejak 1961, dan mulai menjadi Uskup Agats pada 1969. Uskup Alphonse berkunjung ke berbagai kampung, mendekati tetua dan masyarakat adat untuk kembali mengangkat dan melestarikan kebudayaan mereka.
Demi menampung hasil karya pengukir Asmat dan benda kebudayaan Asmat, Keuskupan Agats membangun sebuah museum pada 1971. Museum yang dipelopori dipelopori oleh misionaris RP Frank Trenkenschuh itu resmi dibuka pada 1973.
Museum Asmat menjadi jembatan atau media penghubung untuk memasarkan karya para pengukir Asmat. John Ohoiwirin menjelaskan museum itu memiliki art shop yang menampung karya para pengukir Asmat.
“Jadi mereka datang membawa hasil ukiran mereka, dan jual ke sini. Kalau di museum ini, patung [berukuran sekitar] 30 cm itu dihargai Rp100 ribu. Yang paling mahal bisa sampai Rp2 juta. Baru-baru ini, ada orang dari Bali membeli patung Mbis [seharga] Rp6 juta,” sambungnya.
Koleksi Museum Asmat semakin bertambah, kini mencapai lebih kisaran 2.400 koleksi. Beragam koleksi itu menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun manca negara.

Museum Asmat tak hanya sebagai tempat menyimpan dan memamerkan karya seni dan kebudayaan Asmat tapi juga menjadi penghubung bagi berbagai museum di luar negeri untuk menemukan karya seni ukir Asmat maupun benda budaya Asmat yang berharga untuk dikoleksi.
Museum di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Inggris, Swedia, dan Swiss, memiliki koleksi karya seni ukiran Asmat. Begitu pula sejumlah museum di Amerika Serikat dan Australia.
“Museum Asmat ini seperti sentral dari museum-museum di luar negeri. Kami sekarang membangun kembali jaringan dengan mereka di luar sana. Kalau boleh disebut museum di Belanda, Inggris, Jerman, Australia, Prancis, Amerika, Swedia dan Swiss, semua mengoleksi benda budaya Asmat,” ungkap John.
“Ada peningkatan pengunjung, karena setiap hari ada yang berkunjung. Turis manca negara baru datang bulan lalu, berjumlah 75 orang. Tapi mereka tidak hanya [berkunjung] ke museum,” sebut John.
Daya tarik ukiran Asmat bahkan memikat banyak peminat dari manca negara. John Ohoiwirin menyebut potensi ekspor karya seni ukir Asmat besar. “Saya [pernah] kirim Mbis ke Brisbane, Australia, [Mbis seharga] Rp10 juta, dengan panjang 8 meter,” ujarnya.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Asmat, Donatus Tamot, karya seni ukir Asmat sudah kerap diekspor ke berbagai negara Asia, Eropa hingga ke Amerika Serikat. “Biasanya mereka kirim ke Bali, dan dari sana baru dikirim ke luar negeri. Yang paling mahal itu bisa sekitar Rp30 juta – Rp40 juta bahkan bisa lebih tinggi lagi,” kata Tamot. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!