Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Amnesty International (AI) Indonesia, Usman Hamid mengatakan, kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung mengkhawatirkan, karena tak mengalami kemajuan.
Usman mengatakan, selama periode 20 Oktober 2024 hingga 20 Januari 2025 Amnesty International menilai seratus hari pertama diwarnai oleh berbagai pelanggaran HAM, yang dibenarkan oleh kebijakan, keputusan, dan komentar pejabat publik.
Warga biasa, termasuk anak-anak, kata Usman, menjadi korban kriminalisasi dan intimidasi hingga kekerasan dan pembunuhan di luar hukum. Masyarakat adat dan nelayan kehilangan hak-hak atas tanah dan laut, lingkungan, dan sumber daya alam. Diskriminasi terhadap kaum perempuan dan umat beragama masih diwajarkan.
“Penjatuhan vonis mati juga masih terus berlanjut. Semua terjadi dalam 100 hari pemerintahan baru tanpa ada langkah perbaikan dari negara,” kata Usman Hamid dikutip dari siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Sabtu (25/1/2025).
Menurut Usman, kemunduran ini sebagian besar merupakan kelanjutan dari kemunduran pemerintahan Jokowi. Besar kemungkinan situasi HAM ini akan memburuk bila tak ada perbaikan.
“Pemerintahan baru tampak masih tidak mau paham pentingnya HAM. Padahal pendiri bangsa-bangsa di dunia menjunjung tinggi hak asasi manusia, baik kebebasan politik, maupun keadilan sosial. Tanpa niat baik, ini bisa mengulangi kegagalan pemerintahan sebelumnya,” kata Usman Hamid.
“Tidak heran, banyak dari pelanggaran HAM yang terjadi adalah kelanjutan era dahulu. Kegagalan menghentikannya adalah pelanggaran HAM tersendiri. Ibarat melangkah, mundur 100 hari dengan prediksi kemunduran yang terbaca ke depan,” lanjut Usman.
Usman Hamid meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer saat menjelaskan kemunduran Majapahit, bahwa ini adalah ‘arus balik’ yang menandai kemunduran HAM di 100 hari pemerintahan baru.
Awal yang buruk: Penyangkalan pelanggaran berat HAM masa lalu
Kemunduran HAM 100 hari pertama pemerintahan baru ini, demikian Usman Hamid, tidak sulit untuk dilacak.
Di hari pertama bertugas Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, katanya, membuat komentar keliru bahwa tidak pernah terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia. Bahkan menyatakan peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
“Meski kemudian meralat, ia berkelit dengan mengatakan pemerintah berfokus melihat ke depan, tidak ke masa lalu,” kata Usman Hamid.
“Itu mencerminkan ketiadaan pemahaman hukum yang benar, bahkan penyangkalan atas pelanggaran HAM masa lalu dengan dalih tak mau melihat ke belakang. Padahal jalan pemahaman sejarah masa lalu yang adil mutlak diperlukan untuk menatap masa depan yang benar,” lanjut Usman.
“Tak heran jika pelanggaran HAM di masa kini tak mendapat perhatian serius negara. Ini awal yang buruk bagi kondisi HAM di 100 hari pertama maupun 5 tahun ke depan,” katanya
Dia mengatakan, berbagai kasus selama periode 100 hari pertama adalah ‘kartu kuning’ pemerintahan baru.
“Masalah ini sudah serius. Pemerintah harus menjadikan penegakan HAM sebagai prioritas demi memastikan Indonesia bergerak maju, bukan mundur,” kata Usman.
Dia mengatakan, meski membentuk Kementerian HAM, Pemerintah dan DPR baru tak membuat langkah apa pun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Bahkan Pemerintah menyangkal terjadinya pelanggaran berat HAM.
Padahal sederet pelanggaran berat HAM masa lalu seperti tragedi 1965, penculikan dan penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II 1998/1999, dan pembunuhan Munir 2004, masih tanpa kejelasan. Ketiadaan langkah negara memperkuat impunitas pelaku dan dapat menciptakan preseden terulangnya kasus serupa di masa depan.
“Negara harus menunjukkan komitmen nyata untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Ini termasuk menegakkan hukum dan keadilan bagi korban, menjamin pelanggaran serupa tak terulang di masa depan,” kata Usman.
Kekerasan dan pembunuhan di luar hukum
Usman Hamid berkata bahwa salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dominan terlihat selama 100 hari pertama pemerintahan baru adalah kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat. Tren ini adalah kelanjutan dari kasus-kasus yang terjadi di 2024, saat kekerasan aparat dan impunitasnya mencapai level endemik di institusi seperti Polri dan TNI.
Amnesty International Indonesia mencatat dari 21 Oktober hingga 30 Desember 2024 terdapat setidaknya 17 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat Polri maupun TNI dengan jumlah korban 17 orang warga sipil.
“Munculnya kasus-kasus pembunuhan di luar hukum menunjukkan pemerintahan baru tidak memiliki niat yang serius untuk memutus rantai kekerasan aparat dan enggan untuk memutus mata rantai impunitas di tubuh kepolisian dan TNI,” kata Usman.
Data ini, katanya, termasuk sekelompok personel TNI AD yang menyerang warga di sebuah desa di Deli Serdang, Sumatra Utara, yang menewaskan seorang warga sipil dan melukai beberapa orang lainnya pada November 2024.
Di bulan yang sama di Kota Semarang, Jawa Tengah, seorang polisi menembak pelajar hingga tewas dan dua temannya luka-luka. Kepolisian di Semarang bahkan sempat membuat narasi palsu bahwa korban adalah anggota geng tawuran.
Pembunuhan di luar hukum oleh aparat, katanya, terus terjadi di tahun 2025. Awal Januari lalu, seorang pengusaha rental mobil di Tol Tangerang-Merak ditembak mati oleh anggota TNI. Sebanyak tiga anggota TNI diduga terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut.
“Tahun 2025 diawali kombinasi mematikan kelalaian polisi melindungi warga dari aksi penyalahgunaan senjata api oleh aparat TNI yang berujung pembunuhan di luar hukum. Itu hanya satu dari rangkaian pembunuhan di luar hukum yang terjadi tiap tahun. Ini menegaskan awal buruk penegakan HAM bagi pemerintahan baru,” kata Usman.
Dia menilai insiden-insiden ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan warga, apalagi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari mekanisme hukum.
“Pelaku harus diadili melalui proses hukum yang obyektif dan memenuhi rasa keadilan lewat mekanisme peradilan umum,” kata Usman.
Institusi Polri dan TNI, kata Usman Hamid, selalu memakai istilah “oknum” jika anggotanya terlibat kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Istilah ini cenderung dipakai untuk menghindari tanggung jawab institusi. Institusi memiliki tanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan terlebih jika mereka menggunakan senjata api untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelanggaran HAM lainnya.
Parahnya, lanjutnya, dalam kasus penembakan bos rental, TNI terkesan membela anggotanya yang jelas melanggar HAM, dengan mengatakan anggotanya terpaksa membela diri dengan menembak karena dikeroyok tanpa didukung bukti. Rekonstruksi perkara oleh kepolisian tidak menemukan ada pengeroyokan sebelum penembakan.
“Jelas penembakan tersebut di luar tugas kedinasan anggota TNI AL. Upaya membela anggota yang terlibat adalah pelanggengan impunitas yang mengakar di institusi TNI. Pimpinan TNI juga menolak seruan agar anggotanya diadili di peradilan umum meski terlibat tindak pidana umum. Ini memperkuat budaya impunitas di TNI,” kata Usman.
Pada 23 Januari 2025, Polda Papua melimpahkan kasus pelemparan bom molotov di kantor Redaksi Jubi ke Detasemen Polisi Militer, tetapi kepolisian tidak memberikan informasi mengenai identitas pelaku sejauh ini.
Intimidasi dan kriminalisasi kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak yang mendapatkan represi selama 100 hari pertama pemerintahan baru. Mirip periode pemerintahan Jokowi, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dipakai untuk kriminalisasi suara kritis.
Septia Dwi Pertiwi, seorang pekerja di Jakarta, diancam penjara karena bersuara terkait ketidakadilan di tempatnya bekerja. Walau jaksa menuntut hukuman satu tahun penjara atas dakwaan pencemaran nama baik, PN Jakarta Pusat membebaskan Septia.
“Kasus ini mencerminkan bagaimana kebebasan berekspresi berujung pada intimidasi hukum. Negara wajib pastikan Septia benar-benar bebas dan tidak ada lagi kasus Septia lainnya di masa yang akan datang,” kata Usman.
Amnesty International Indonesia mencatat sejak 2019 hingga 2024 terdapat setidaknya 527 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi berbasis UU ITE kepada sedikitnya 560 warga. Dari situ, 421 kasus dengan 449 korban telah mendapat vonis pengadilan.
Selain itu, program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah justru diatasi dengan mengekang kebebasan berekspresi, untuk memastikan orang-orang yang mengkritisi program tersebut mendapatkan efek jera.
Petugas di Lombok Timur merampas kamera milik jurnalis TV yang hendak meliput di Unit Dapur MBG Desa Rumbuk pada 15 Januari 2025 dan menghapus video liputan. Begitu pula jurnalis media daring dilarang meliput kegiatan MBG di Sekolah Menengah Pertama di Kota Ternate, Maluku Utara, 7 Januari lalu. Saat melarang foto dan video, pihak sekolah mengatakan “tidak usah tanya alasan kenapa, ini sudah prosedur.”
Seorang pelajar di Kota Bogor juga dipanggil sekolah dan terpaksa membuat video permintaan maaf, karena merekam porsi MBG milik temannya yang baginya tidak layak dan telah viral di media sosial.
Lebih parahnya lagi, kata Usman, pelanggaran-pelanggaran ini senada dengan komentar-komentar pejabat pemerintah maupun pendengung yang menghardik suara kritis yang menyoroti masalah yang ada di program MBG.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, melabeli pihak-pihak yang mengkritik MBG “sok tahu” dan berkata bahwa ketika menjadi pejabat mereka berpotensi “menjadi maling juga.”
Begitu pula pendengung pro-pemerintah yang berkomentar sinis menanggapi keluhan murid sekolah lewat video, bahwa menu ayam MBG yang dia terima kurang enak, dengan melontarkan kekerasan verbal kepada siswa yang kritis yang berpotensi menimbulkan kekerasan psikis terhadap anak.
“Ini jelas melanggar UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjamin anak untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat,” kata Usman Hamid.
“Komentar-komentar pejabat publik semacam inilah, yang membuat petugas-petugas di lapangan merasa mendapatkan angin segar, untuk membungkam kebebasan berekspresi, karena menganggap perilaku mereka diwajarkan, bahkan oleh pejabat tinggi,” kata Usman.
Tidak hanya jurnalis maupun warga biasa, anggota DPR pun mendapat pembatasan kebebasan bersuara ketika bersikap kritis terhadap program pemerintahan baru.
Pada akhir Desember 2024, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR memanggil politisi Rieke Diah Pitaloka karena mengkritisi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Di bulan yang sama MKD menjatuhkan sanksi teguran tertulis bagi anggota DPR Yulius Setiarto, karena mengkritik dugaan keterlibatan polisi dalam pilkada 2024.
“Penyempitan ruang berekspresi semakin melebar. Bukan hanya terhadap ruang warga sipil tapi juga anggota DPR yang punya wewenang mengawasi jalannya pemerintahan mendapatkan intimidasi ketika mengkritik program pemerintahan baru,” lanjut Usman.
“Sikap anti-kritik jelas terlihat dalam 100 hari. Patut disayangkan program seperti MBG ini masih harus dilakukan dengan cara-cara melanggar HAM,” kata Usman.
Pembangunan merampas hak masyarakat adat
Walau pemerintah berganti, program-program pembangunan terus mengancam hak-hak masyarakat adat di sejumlah daerah. Salah satunya proyek lumbung pangan (food estate) di Papua dan Sumatra Utara yang merupakan proyek strategis nasional (PSN).
Masyarakat adat di Merauke, Papua, maupun di Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, memprotes proyek lumbung pangan ini karena mengabaikan hak-hak adat atas tanah dan tanpa konsultasi memadai, sehingga menimbulkan konflik dan keresahan.
Ancaman masih dialami warga yang terdampak proyek Eco-Rempang City. Intimidasi berlanjut bagi yang mempertahankan tanah leluhur. Sedangkan warga kampung lama Tembesi Tower, Batam, digusur karena wilayahnya akan dijadikan kawasan industri.
Hak nelayan atas laut dan sumber penghidupan dilanggar oleh pembuatan pagar laut di perairan wilayah Tangerang hingga Bekasi. Pagar laut menghalangi mereka melaut dan telah melanggar hak nelayan meski kemudian pemerintah mulai membongkarnya.
“Sangat jelas bahwa negara nyaris kehilangan peran pelindung masyarakat dalam kasus pagar laut ini,” kata Usman.
“Setiap program pembangunan harus dilakukan dengan menghormati hak masyarakat adat, termasuk melalui konsultasi bermakna dan kompensasi yang adil. Negara harus segera hentikan proyek-proyek yang telah merugikan masyarakat adat,” tambah Usman.
Kebijakan diskriminatif terhadap perempuan
Usman mengatakan, dari perspektif gender, juga terdapat masalah. Mendagri Tito Karnavian melontarkan pernyataan yang mendukung peraturan gubernur yang memuat diskriminasi gender.
Pada 6 Januari 2025, penjabat Gubernur Jakarta menerbitkan Pergub Nomor 2/2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian untuk ASN di lingkungan Pemprov Jakarta. Regulasi ini mengatur soal menikah lebih dari satu kali (poligami).
Tito mengatakan, demikian Usman Hamid, Pergub ditujukan untuk melindungi keluarga, khususnya istri, dari perceraian. Pemerintah berdalih pergub diperlukan demi melindungi perempuan.
“Adalah pola pikir sesat mengatakan aturan yang membolehkan poligami itu bertujuan melindungi perempuan. Jelas itu merendahkan martabat perempuan,” kata Usman.
Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan poligami harus dihapus karena merendahkan martabat perempuan dan melanggar prinsip kesetaraan dalam pernikahan.
Dalam banyak kasus, akses yang sulit bagi perempuan dalam mengajukan perceraian membuat perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan rumah tangga berkepanjangan.
Diskriminasi minoritas beragama
Kasus-kasus intoleransi kebebasan beragama bagi kelompok minoritas masih terjadi. Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya terdapat tiga kasus intoleransi dan diskriminasi selama periode 100 hari ini.
Pemerintah Kabupaten Kuningan melarang Jemaah Ahmadiyah mengadakan pertemuan tahunan Jalsah Salanah, yang direncanakan pada 6-8 Desember 2024 di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan.
Begitu pula dengan aksi sejumlah warga suatu perumahan di Cibinong melarang ibadah perayaan Natal yang dirayakan oleh Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) pada 8 Desember 2024. Sebelumnya terjadi aksi penolakan sejumlah masyarakat atas pendirian gereja Mawar Sharon di Pegambiran, Cirebon, pada 2 November 2024.
“Dalam pelanggaran kebebasan beragama pelakunya adalah negara dan aktor non-negara. Negara membiarkan praktik diskriminatif dan intoleran atas kaum minoritas dalam menjalankan agama mereka sesuai keyakinan,” kata Usman.
“Negara tidak boleh terus-menerus membiarkan itu terjadi dan harus tegas menentang segala bentuk intoleransi maupun diskriminasi atas dasar keyakinan agama,” lanjut Usman.
Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi juga, kata Usman, bisa memperkeruh permasalahan diskriminasi bagi pemeluk agama dengan memberi interpretasi sempit soal kebebasan beragama dalam putusan MK pada 3 Januari lalu.
“Putusan MK bisa berujung pemenjaraan oleh negara atau aksi main hakim sendiri oleh aktor non negara terhadap mereka yang dianggap tidak beragama atau keyakinannya dituduh menyimpang dari agama resmi negara. Ini bak menyiram api intoleransi dan diskriminasi dengan bensin,” kata Usman.
Hukuman mati masih berlanjut
Pengadilan masih terus menjatuhkan vonis mati di Indonesia, yaitu sebanyak 14 terdakwa dijatuhi hukuman mati dari 24 Oktober hingga 20 Desember 2024, di mana 10 diantaranya terkait kasus narkotika dan sisanya kasus pembunuhan.
Awal tahun 2025 pun hukuman mati masih dijatuhkan. Pada 6 Januari, Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, Sumatra Barat, menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa kasus narkotika, seperti yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada 9 Januari, Pengadilan Negeri Sidoarjo, Jawa Timur, menjatuhkan hukuman mati kepada dua orang, juga dalam kasus narkotika. Hukuman ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Kecenderungan bagi penegak hukum seperti polisi dan jaksa maupun pengadilan yang masih terus mendorong penghukuman mati menunjukkan masih kurangnya komitmen negara terhadap reformasi hukum yang lebih mengedepankan HAM.
“Keputusan untuk terus menjatuhkan hukuman mati mencerminkan kegagalan negara dalam melihat alternatif hukuman yang lebih manusiawi dan efektif. Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan,” kata Usman.
Maka pemerintah harus segera memulai menetapkan moratorium resmi atas semua eksekusi. Moratorium ini menjadi sinyal kuat kepada dunia bahwa Indonesia bersedia mengikuti standar internasional yang lebih beradab.
“Lalu dengan mengubah hukuman mati menjadi hukuman lain yang lebih manusiawi, Indonesia dapat menunjukkan komitmen nyata terhadap penghormatan HAM,” lanjut Usman.
Keputusan untuk memulangkan Mary Jane Veloso ke Filipina memang menghindarkan dia dari eksekusi mati di Indonesia. Namun, jika benar-benar pemerintahan baru mau mengedepankan HAM, seharusnya pemerintah membatalkan atau mengubah vonis hukuman vonis mati tersebut sebelum mengembalikannya ke negaranya.
“Walau Indonesia kini telah memulangkan Veloso, kami mendesak pemerintah untuk mengikuti tren global dengan menetapkan moratorium resmi atas semua eksekusi dan mengubah hukuman semua terpidana mati sebagai langkah awal yang esensial menuju penghapusan penuh hukuman yang kejam ini,” kata Usman.
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!