Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, pernyataan Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Yusril Ihza Mahendra, mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, keliru dan menyalahi aturan hukum yang benar.
“Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM,” kata Usman Hamid melalui siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Senin (21/10/2024).
“Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” lanjutnya.
Menurut Usman, pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM, atas sejumlah peristiwa pada masa lalu, yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
“Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis,” ujarnya.
Apalagi menurut hukum internasional, lanjut Usman, setidaknya ada empat kejahatan paling serius, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma
“Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Ini sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil. Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” katanya.
Pernyataan Yusril itu, lanjutnya, bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum, tapi juga menunjukkan sikap nirempati pada korban yang mengalami peristiwa, maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.
Kata Usman, Tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu.
“Terlebih ini disampaikan pada hari kerja pertama Menko Yusril. Ini sinyal pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara, terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Pemerintahan yang lama juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98,” katanya.
“Kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri. Tapi pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM. Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas,” lanjut Usman.
Yusril Ihza Mahendra, pada hari pelantikannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI, Senin (21/10/2024) di Istana Kepresidenan, Jakarta, kepada media , demikian siaran pers tersebut, menyatakan bahwa Indonesia “selama beberapa tahun terakhir tidak terjadi pelanggaran HAM berat.” Peristiwa kerusuhan 98 dianggapnya bukan pelanggaran HAM berat.
“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, massive killing, ethnic cleansing, tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya, pada waktu awal perang kemerdekaan. Tapi dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril seperti dikutip Usman Hamid dalam siaran pers tersebut.
Usman melanjutkan bahwa ada wartawan yang bertanya, “98 enggak termasuk?” Lalu Yusril menjawab, “Enggak.”
Menurut Usman, peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 merupakan tragedi nasional yang sangat menyedihkan dan tercela bagi martabat serta kehormatan manusia, bangsa dan negara secara keseluruhan.
Pada 23 Juli 1998, Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang beranggotakan 17 orang dari gabungan unsur Pemerintah, Komnas HAM, dan ormas-ormas lainnya. Dari proses pengumpulan data dan bukti selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998.
Terkait jumlah korban kerusuhan, dalam ringkasan eksekutif laporannya, TGPF menyatakan sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian. Namun dalam laporan tersebut, TGPF memaparkan data yang beragam.
Untuk jumlah korban jiwa di Jakarta, TGPF mengungkapkan data versi Tim Relawan yaitu jumlah korban meninggal setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya terbakar akibat senjata atau penyebab lainnya), dan 91 luka-luka; sedangkan di kota-kota di luar Jakarta, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka.
Laporan TGPF juga mengungkapkan data jumlah korban versi Polda Metro Jaya, yaitu 451 orang meninggal di Jakarta dengan korban luka-luka tidak tercatat, sedangkan data korban di luar Jakarta tercatat 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar.
Sedangkan data korban versi Kodam Jaya di Jakarta, yaitu 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka. Data versi Pemda DKI Jakarta, korban meninggal dunia 288 jiwa, dan luka-luka 101 orang.
Laporan TGPF juga mencatat bahwa terdapat perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini dikarenakan begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.
Terkait kekerasan seksual, laporan TGPF memaparkan bahwa 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang menjadi korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. Sebagian besar korban kekerasan seksual dialami oleh perempuan dari etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial.
Laporan TGPF menghasilkan delapan poin rekomendasi, salah satu yang ditindaklanjuti adalah Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro-Justicia dugaan pelanggaran HAM yang berat atas Tragedi Mei. Pada 2003, Tim Penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup atas dugaan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dalam Tragedi Mei sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU tentang Pengadilan HAM.
Pengertian pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut penjelasan Pasal 104 ayat 1 UU HAM adalah “pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Pengertian pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 7 UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM meliputi : a) kejahatan genosida; b) kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelapor Khusus PBB untuk kebenaran, keadilan dan reparasi telah menyatakan bahwa kewajiban negara untuk menginvestigasi dan menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kewajiban yang ditegaskan dalam hukum kebiasaan internasional. Komite HAM PBB juga menyatakan bahwa kewajiban tersebut merupakan turunan dari hak atas ganti rugi yang efektif (effective remedy) dalam Pasal 2 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!