Jakarta, Jubi — Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyatakan keprihatinan atas langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menjadikan sejumlah konten pemberitaan media sebagai alat bukti dalam kasus dugaan obstruction of justice. KKJ mendesak Kejagung untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers sebelum menjadikan karya jurnalistik sebagai bagian dari proses hukum pidana.
Dalam siaran persnya, Kejagung menetapkan tiga tersangka, yakni advokat Junaedi Saibih, Marcela Santoso, dan Tian Bahtiar selaku Direktur Pemberitaan Jak TV. Ketiganya diduga bersekongkol untuk mengganggu proses hukum dalam kasus dugaan suap ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga korporasi besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Kejagung menyebut bahwa narasi pemberitaan yang dipublikasikan Jak TV berpotensi mengganggu konsentrasi penyidik, sehingga dianggap sebagai bentuk perintangan proses hukum atau obstruction of justice, sesuai Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.
Namun, KKJ menilai penetapan konten jurnalistik sebagai alat bukti pidana tanpa melibatkan Dewan Pers berisiko melanggar kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pemberitaan, opini publik, dan penyampaian pendapat di muka umum bukan merupakan tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tipikor,” tegas KKJ dalam pernyataannya.
KKJ juga menyoroti bahwa sejumlah konten berita yang digunakan sebagai bukti telah dihapus dan tidak lagi dapat diakses publik, sehingga menutup ruang bagi evaluasi etik oleh Dewan Pers maupun pengawasan masyarakat.
Komite mengingatkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa pers harus terlebih dahulu melalui Dewan Pers, sesuai Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kejaksaan RI (Nomor: 01/DP/MoU/II/2019 dan KEP.040/A/JA/02/2019). Nota tersebut mengatur kewajiban koordinasi, komunikasi, serta konsultasi terkait penanganan perkara yang melibatkan produk jurnalistik.
“Pengabaian terhadap mekanisme etik Dewan Pers berpotensi membuka ruang kriminalisasi terhadap jurnalis dan media,” tulis KKJ.
Dalam pernyataannya, KKJ menyampaikan lima tuntutan, yakni:
- Kejagung diminta berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait konten media yang dijadikan alat bukti;
- Kejagung diminta meninjau ulang penggunaan pasal obstruction of justice dan membuka akses terhadap konten yang dijadikan bukti;
- Dewan Pers didesak untuk segera memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh jurnalis yang bersangkutan;
- Proses hukum harus dilakukan secara akuntabel dan tidak mengabaikan prinsip kebebasan pers;
- Jurnalis diminta tetap memegang teguh profesionalisme dan kode etik jurnalistik.
KKJ menyatakan tetap mendukung pemberantasan korupsi secara menyeluruh, namun menegaskan bahwa pendekatan hukum terhadap media harus proporsional dan tidak represif. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!