Jakarta, Jubi – Aparat TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan Polri (Kepolisian Republik Indonesia) paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis atau media sepanjang 2024. Terkait hal ini, negara harus hadir memberikan perlindungan bagi kebebasan pers di Indonesia.
Demikian disampaikan Ketua Bidang Advokasi AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia Erick Tanjung dalam diskusi publik ‘Melawan Teror Terhadap Jurnalis dan Media di Indonesia’ di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Minggu (4/5/2025).
Diskusi publik tersebut bagian dari acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 yang berlangsung dua hari, Sabtu-Minggu (3-4/5/2025), yang diselenggarakan Komite Tanggung Jawab Platform Digital dan Indonesian Institute of Journalism.
Diskusi juga menghadirkan narasumber lain, yakni Jurnalis Senior Papua Victor C Mambor, Jurnalis Tempo Stefanus Pramono, dan Pengacara Publik LBH Pers Gema Gita Persada.
Erick Tanjung menjelaskan berdasarkan data AJI Indonesia sepanjang 2024 menunjukkan polisi paling banyak sebagai pelaku kekerasan, yaitu 19 kasus dan disusul TNI 11 kasus.

Pelaku berikutnya yang juga sama banyak dengan TNI adalah masyarakat/ ormas (organisasi masyarakat) sebanyak 11 kasus. Kemudian perusahan/pegawai 5 kasus, aparat pemerintah 4 kasus, pekerja profesional (4 kasus), pejabat legislatif 2 kasus, pejabat pengadilan 1 kasus, rektorat kampus 1, dan pelaku tidak dikenal 10 kasus.
“Polisi masih ‘merajai’ kasus kekerasan terhadap jurnalis dan TNI,” kata Erik.
Menurut Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) itu, kekerasan yang dialami jurnalis dan media semakin berbahaya, seperti pembakaran rumah dan pembunuhan terhadap jurnalis Tribrata TV Rico Sempurna Pasaribu di Karo, Sumatera Utara. Kemudian penangkapan dan penganiayaan terhadao Hery Kabut, jurnalis Floresa di NTT.
“Ada juga kasus teror bom di Kantor Redaksi Jubi, mobil jurnalis Tempo dirusak orang yang tidak dikenal, hingga pemaksaan penurunan berita Tribun Sorong. Bentuk kekerasannya lebih berbahaya,” ujarnya.

Erick mengatakan kekerasan terhadap jurnalis tersebut berkaitan dengan pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat maupun anggota polisi dan tentara. Kemudian pemberitaan proyek strategis nasional atau PSN. Selain itu ada juga kekerasan terhadap jurnalis karena pemberitaan judi hingga isu keamanan di Tanah Papua.
Menurutnya proses hukum kasus-kasus kekerasan itu sering mandek. Ia mencontohkan pada 2023 hanya dua kasus yang diproses, sedangkan pada 2024 hanya satu kasus.
Victor Mambor: Polisi tidak serius
Menurut jurnalis senior Papua Victor Mambor tidak ada keseriusan dari pihak kepolisian untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dialami jurnalis dan media di Indonesia, khususnya di Tanah Papua. Mambor khawatir, apabila kasus kekerasan tersebut tidak diselesaikan maka teror terhadap jurnalis akan terus berulang.
“Teror terhadap jurnalis tidak boleh terjadi, kalau tidak ada yang ditangkap, diproses hukum, akan ada teror terus terhadap jurnalis. Kami di Papua akan menjadi orang yang diteror terus. Ini negara atau apa e? Kalau ada orang yang masih diteror, barbar begitu, terus negara ini ngapain? Apakah pemerintah juga barbar? Jadi mereka biarkan perilaku barbar itu terus ada,” katanya.
Mambor mengatakan ketidakseriusan polisi itu terlihat dari penanganan kasus teror bom molotov ke Redaksi Jubi pada 16 Oktober 2024. Polisi dan tentara, jelasnya, saling melimpahkan berkas perkara teror bom molotov ke kantor Jubi tersebut.
“Polisi, tentara omong kosong, tidak bisa diharapkan. Bagi saya tidak ada harapan. Dan betul juga sampai hari ini. Seharusnya Kodam menindaklanjuti hasil penyelidikan polisi, bukan membentuk tim penyelidikan. Hasil penyelidikan mereka membantah, tidak ada bukti. Bahwa kalau sudah dilimpahkan ke tentara berarti ada [dugaan] keterlibatan tentara. [Ini] tentara limpahkan kembali ke Polda Papua,” ujarnya.

Mambor menduga teror terhadap Jubi itu berkaitan dengan pemberitaan isu Papua Merdeka hingga masalah HAM (Hak Asasi Manusia) di Tanah Papua. Padahal, kata Mambor, seharusnya lewat pemberitaan dapat membuka ruang dialog penyelesaian masalah konflik bersenjata di Papua.
“Kami selalu memberikan ruang kepada kelompok Papua Merdeka. Mereka harus diberikan ruang. Pada intinya Jubi berusaha memberikan ruang bagi pro Indonesia dan pro Papua Merdeka. Masalah itu harus ada dialog, kalau orang-orang tidak tahu latar belakang [masalah di Papua] tidak [akan] ada dialog,” ujarnya.
Negara diam dan menikmati teror
Menurut jurnalis Tempo Stefanus Pramono negara diam dan menikmati teror terhadap jurnalis. Hal itu, katanya, terlihat dari respon Presiden Prabowo maupun pejabat negara atas teror terhadap jurnalis seperti yang dialami Tempo.
“Orang kritik dan [media] menyampai fakta sesuai temuan. Presiden Prabowo omong media antek asing, memecah belah bangsa. Yang mengundang antek asing ke sini dia [Prabowo] sendiri, bukan jurnalis. Apa yang dilakukan kepala menurun sampai ke bawahnya. Ada pejabat negara yang ditanyai teror kepala babi dijawab dimasak saja. Apa yang disampaikan pejabat negara itu sangat tidak pantas,” ujarnya.
Teror, kata Stefanus, tentu memberikan dampak yang serius terhadap jurnalis. Meski begitu, tambahnya, jurnalis maupun media tidak boleh terjebak dalam agenda peneror, melainkan terus melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“Kita tidak boleh mengikuti agenda peneror. Tidak ada orang yang siap menghadapi teror. Begitu teror terjadi pasti akan timbul kepanikan dan ketakutan. [Jurnalis Tempo] Cica pun sangat takut. Saya melihat itu hal yang normal. Untuk teman-teman di Papua yang diteror pun, pasti menghadapi itu. Tapi mungkin mereka lebih terlatih menghadapi teror karena sudah sering mengalami teror,” katanya.

Menurut Stefanus teror akan terus terjadi terhadap jurnalis maupun media.
“Dengan melihat apa yang terjadi, saya tidak kaget ke depan Tempo maupun jurnalis lain akan mengalami intimidasi atau teror,” ujarnya.
Jurnalis maupun media, kata Stefanus, membutuhkan negara untuk mendukung kebebasan pers. Juga penegak hukum yang bekerja dengan benar dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media.
Selain itu, katanya, sangat penting mendapatkan dukungan publik terhadap kerja-kerja jurnalistik dan kebebasan pers.
“Dukungan publik sangat penting dan ini muncul semakin meningkat. Memang modal positif bagi kami di Tempo, terlepas dari itu, ada publik yang sebenarnya masih peduli terhadap kebebasan pers, tapi masih bersifat lokal, hanya di sekitar kita. Berapa banyak dari kita atau publik yang mengecam teror yang ada di Papua dan di Jubi?” tanyanya.
Negara harus memiliki komitmen
Menurut pengacara Publik LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers Gema Gita Persada seharusnya negara memiliki komitmen untuk mewujudkan perlindungan pers.
“Kerja-kerja jurnalis itu sudah termuat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, juga Pasal 28F UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” katanya.
Ia menambahkan ada juga instrumen HAM internasional yang melindungi kerja-kerja pers yang termuat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 ICCPR.

Meski begitu, tambahnya, jurnalis di Indonesia masih mengalami kekerasan bertubi-tubi sebagaimana data AJI Indonesia yang mencatat sepanjang Januari 2025 hingga Mei 2025 saja terdapat 39 kekerasan terhadap jurnalis.
“Jaminan terhadap kerja-kerja pers itu wajib dipenuhi negara sebagaimana termaktub dalam undang-undang. Ini dasar hukum atau instrumen yang seharusnya negara memiliki komitmen mewujudkan perlindungan terhadap kerja-kerja pers,” ujarnya.
Ketua Dewan Pers Republik Indonesia Ninik Rahayu saat memberikan sambutan pada pembukaan acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 di tempat yang sama, Sabtu (3/5/2025) mengatakan Dewan Pers sedang merumuskan satgas kekerasan terhadap wartawan. Menurut Ninik, satgas tersebut nanti akan bekerja menyelesaikan kekerasan terhadap jurnalis dan media.
Satgas melibatkan sejumlah pihak terkait, seperti Dewan Pers, media, jurnalis, kepolisian, LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kejaksaan. Satgas tersebut bertugas melakukan percepatan penanganan kekerasan terhadap jurnalis maupun media.
Ninik Rahayu juga meminta kesungguhan pemerintah untuk menjamin kebebasan pers.
“Biarkanlah pers bekerja secara independen dan tidak boleh dihalangi-halangi,” katanya.

Menurutnya upaya pers untuk menegakkan demokrasi masih mengalami hambatan. Ia juga menyampaikan bahwa kasus kekerasan terbanyak yang dialami jurnalis justru pelakunya adalah aparat keamanan TNI/Polri.
“Mohon kesungguhan dari pemerintah untuk memberikan atensi kepada keselamatan jurnalis. Biarkan media bekerja secara independen, jurnalistik berkualitas yang menyuarakan fakta,” katanya.
Selain menyorot pemerintah, ketua Dewan Pers juga mengingatkan agar jurnalis dan media bekerja secara profesional.
“Kami harapkan media dan jurnalis tidak mencampuri urusan bisnis dengan redaksi,” ujarnya.
Acara pembukaan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 di Taman Ismail Marzuki juga dihadiri Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria.
Ketika diwawancarai wartawan Nezar mengatakan kebebasan pers masih baik-baik saja. Ia mendasari bahwa saat ini belum ada media-media yang bersifat kritis ditutup dan juga telah ada sejumlah regulasi-regulasi yang mendukung kemerdekan pers.
“[Kekerasan terhadap jurnalis] bagian dari dinamika, setidaknya tidak ada media yag ditutup atau diberangus. Sampai sekarang masih baik-baik,” kata mantan anggota Dewan Pers tersebut.

Tanggapan dari Papua
Menanggapi kondisi kebebasan pers di Indonesia, terutama di Tanah Papua, menurut Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jayapura Lucky Ireeuw harus ada gerakan, semangat, dan perubahan bersama untuk cara yang lebih baik menjamin kemerdekaan pers, pekerja pers, dan industri pers yang ada di Tanah Papua dan di Indonesia.
“Butuh dukungan dari masyarakat secara umum dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga-lembaga negara, dan juga DPR, demi mewujudkan kemerdekaan pers,” ujarnya.
Khusus kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Papua, Lucky Ireeuw mengatakan TNI dan Polri juga masih mendominasi sebagai pelaku.
Data AJI Jayapura mencatat sepanjang 2020 hingga November 2024 terdapat 7 kasus dari 11 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diduga dilakukan aparat keamanan, baik itu TNI/Polri.
“Secara data yang kita miliki, mengarah dan menunjukkan angka bahwa kekerasan itu cukup tinggi dilakukan juga, termasuk oleh aparat keamanan, baik TNI maupun Polri,” kata Ireeuw kepada Jubi, Sabtu (3/5/2025).
Ireeuw mengatakan aparat keamanan seharusnya memahami bahwa jurnalis itu bekerja untuk kepentingan publik. “Masih belum ada kesepahaman bahwa pekerja jurnalis itu bekerja untuk kepentingan publik sehingga kecenderungan itu muncul dan berwujud pada tindak kekerasan yang terjadi pada para pekerja pers atau jurnalis di Tanah Papua ini,” katanya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!