Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Perwakilan Papua menyatakan pembunuhan pendulang emas di Yahukimo Papua Pegunungan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB itu melanggar Hak Asasi Manusia atau HAM. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB diminta untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap warga di Tanah Papua.
Hal itu disampaikan Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey di Kota Jayapura, Provinsi Papua. “Komnas mengklasifikasikannya sebagai pembunuhan sadis yang melanggar Hak Asasi Manusia atau HAM,” kata Ramandey.
Pada 6–9 April 2025, TPNPB menyatakan membunuh 17 pendulang emas di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, yang mereka tuduh sebagai mata-mata militer Indonesia. Aksi pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) XVI Yahukimo dan Kodap III Ndugama Derakma.
Ramandey mengatakan pembunuhan pendulang emas itu merupakan tindakan yang sadis. Ramandey mengatakan pembunuhan itu telah memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM karena telah mengakibatkan hak hidup orang hilang atau meninggal dunia. Hingga Rabu (16/4/2025), tim gabungan polisi dan tentara telah mengevakuasi 16 jenazah pendulang emas yang dibunuh TPNPB tersebut.
“Unsur [pelanggaran HAM] terpenuhi karena mengakibatkan hak hidup orang hilang. [Pembunuhan] ini adalah tindakan sadisme yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata [TPNPB], atau siapalah kelompoknya. Tapi yang pasti sudah ada kelompok yang mengaku mereka bertanggung jawab terhadap pembunuhan sadis ini,” ujar Ramandey kepada Jubi, pada Kamis (17/4/2025).
Akan timbulkan dampak yang luas
Ramandey mengatakan kekerasan yang dilakukan TPNPB itu akan menimbulkan dampak yang sangat meluas di Tanah Papua. Ramandey mengkhawatirkan kekerasan itu akan direspons aparat keamanan dengan meningkatkan operasi keamanan.
“Tindakan kekerasan itu [akan direspon] operasi keamanan [oleh polisi dan tentara] dan akibat bisa terjadinya pengungsian,” ujarnya.
Ramandey meminta agar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB menghentikan tindakan pelanggaran HAM dengan cara membunuh atau mencabut hak hidup dari warga negara yang lain. Menurut Ramandey, TPNPB juga seharusnya meminta klarifikasi terhadap pekerja pendulang emas tersebut, bukan langsung melakukan tindakan pembunuhan.
“Kalau orang-orang mengganggu sebaiknya mereka diusir, dikasih peringatan. Kelompok sipil bersenjata juga harus meminta klarifikasi. Kamu [pendulang emas] ini siapa yang mempekerjakan kamu dan sejenisnya, itu harus penting dilakukan. Dalam prinsip HAM yang terpenting adalah hak yang tidak boleh dicabut oleh manusia adalah hak hidup. [Dan] juga kelompok sipil bersenjata [TPNPB] kalau mereka ber Tuhan, mestinya mereka tidak melakukan pembunuhan sadis seperti begini,” katanya.
Ramandey juga meminta pihak kepolisian harus bertindak tegas terhadap aktivitas pertambangan emas di Yahukimo. Selain itu, Ramandey juga meminta Pemerintah Kabupaten Yahukimo berperan aktif melakukan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan emas di wilayah Yahukimo tersebut.
“Negara harus hadir untuk memastikan aktivitas yang ada di situ itu legal atau ilegal? Kegiatan eksplorasi itu mesti punya izin. Kalau dia legal, bagaimana cara pengamanannya? Kalau ilegal, orang yang mengeksploitasi sumber daya alam secara ilegal itu harus ditindak. Tapi [kalau] di wilayah konflik mesti harus bisa dihentikan. [Jangan dibiarkan] ada yang mendapat untung dari kegiatan ini, tapi kemudian mengorbankan hak hidup orang lain. Atas nama keamanan, kepentingan, pihak kepolisian harus menghentikannya,” ujarnya.
Bantahan TPNPB
Namun pernyataan Komnas HAM ini ditolak oleh TPNPB. Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom mengatakan TPNPB membunuh 17 pendulang emas bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM. Sambom klaim pembunuhan itu dilakukan mereka diduga sebagai mata-mata militer, serta mencuri emas orang Papua.
“Komnas HAM keliru, para perampok Indonesia yang datang curi emas orang asli Papua. Bahwa tindakan mencuri emas dan merusak hutan orang asli Papua itu yang pelanggaran HAM, karena rampas hak milik orang lain. Mereka dibunuh karena mencuri Emas dan menghancurkan alam itu bukan pelanggaran HAM. [Mereka] agent TNI/Polri yang mencuri emas orang asli Papua, maka wajib hukumnya bunuh,” ujar Sambom kepada Jubi, pada Jumat (18/4/2025)
Sambom juga mempertanyakan mengapa Komnas HAM Perwakilan Papua tidak menyebutkan penyerangan dan pembunuhan warga sipil yang dilakukan oleh TNI/Polri di Papua tidak pernah disebutkan sebagai pelanggaran HAM oleh Komnas HAM Perwakilan Papua. Menurutnya, seharusnya Komnas HAM bisa melihatnya secara komperehensif. Tidak melihat dari satu sisi saja.
“Apakah pembunuhan, penangkapan dan penyerangan ke kampung-kampung terhadap warga sipil Papua yang dilakukan TNI dan Polri itu bukan pelanggaran HAM?” tanya Sambom.
“Belum lagi kalau kita lihat pengambilalihan sekolah dan kantor-kantor pemerintah di distrik dan kampung oleh TNI dan Polri untuk dijadikan pos mereka. Akibatnya apa? Anak-anak tidak bisa sekolah dan pegawai kampung dan distrik tidak bisa kerja,” lanjut Sambom.

Harus dibuktikan
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifah Anum Siregar mengatakan klaim sebagai mata-mata atau bagian aparat militer terhadap masyarakat sipil yang dibunuh akibat konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri sering dilakukan. Anum mengatakan klaim ini cenderung digunakan berdasarkan stigma tanpa dapat diverifikasi dan kemudian dibiarkan berkembang liar di sosial media.
“Pengguna sosial media digiring untuk memihak melalui perang informasi. Fakta yang ada diabaikan, persepsi lah yang dikembangkan hingga menjadi kebenaran versi masing-masing,” kata Anum.
Dari catatan Jubi, TPNPB beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap warga karena diduga sebagai mata-mata militer. Pada 8 April 2024, Kepala Kampung Modusit, Distrik Serambakon, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan bernama Timo Kasipmabin (45) diduga ditembak mati oleh kelompok bersenjata TPNPB Kodap 35 Bintang Timur pimpinan Ananias Ati Mimin. Kasipmabin dibunuh dengan cara ditembak karena dicurigai sebagai mata-mata yang membantu aparat keamanan dalam menumpas lima anggota TPNPB di wilayah itu sepanjang 2024.
Pada 14 Agustus 2024, TPNPB-OPM Kodap VIII Intan Jaya, mengklaim menembak mati seorang yang diduga intelijen TNI/Polri. Penembakan terhadap terduga militer Indonesia yang bekerja sebagai pekerja proyek jalan di Intan Jaya, Papua Tengah.
Pada 19 Maret 2025, TPNPB menembak seorang pegawai honorer Disdukcapil Intan Jaya, Michael Wattimena (29 tahun) yang diduga sebagai mata-mata. Aksi penembakan itu dipimpin Enam Bulan, yang berada dibawah komando Aibon Kogoya, Komandan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) Dulla.
Pada 23 Maret 2025 TPNPB diduga menyerang guru dan tenaga kesehatan yang bertugas di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan karena diduga sebagai mata-mata militer. Seorang guru bernama Rosalia Rerek Sogen meninggal dunia, dan enam orang lainnya terluka yaitu Doinisia Taroci More (guru), Vantiana Kambu (guru), Paskalia Peni Tere Liman (guru), Fidelis De Lena (guru), Kosmas Paga (guru), dan Irawati Nebobohan (tenaga kesehatan)
Pada 6–9 April 2025, TPNPB menyatakan membunuh 17 pendulang emas di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, yang mereka tuduh sebagai mata-mata militer Indonesia. Aksi pembunuhan ini dilakukan oleh pasukan Komando Daerah Pertahanan (Kodap) XVI Yahukimo dan Kodap III Ndugama Derakma.
Anum mengatakan sepatutnya siapapun yang melakukan klaim terhadap seseorang haruslah dapat dibuktikan. Anum mengatakan pembuktian perlu dilakukan untuk menghentikan stigma yang menyesatkan bukan hanya terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan, dan untuk pertanggungjawaban penegakan HAM
“Sepatutnya siapapun yang melakukan klaim terhadap seseorang haruslah dapat dibuktikan,” ujarnya.
Hentikan kekerasan
Anum juga meminta para TNI/Polri dan TPNPB menghentikan aksi kekerasan dan konflik bersenjata. Anum mengatakan konflik bersenjata telah menargetkan dan mengorbankan masyarakat sipil dengan latar belakang dan profesi lainnya.
“[Apalagi] ketika masyarakat sipil diklaim dengan stigma tertentu tanpa dapat diverifikasi,” ujarnya.
Anum mengatakan konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri yang mengorbankan masyarakat sipil merupakan kejahatan HAM yang sangat serius. Anum mengatakan masyarakat sipil cuma statistik yang dihitung saat hidup atau saat dibunuh, dan selebihnya tidak berarti apa-apa di wilayah konflik bersenjata.
“Rangkaian tragedi kemanusiaan yang ada telah mengoyak-ngoyak akal sehat dan hati nurani kita sebab hak hidup masyarakat sipil haruslah dihormati, dijaga dan dilindungi oleh para pihak yang berkonflik. Mereka harus diperlakukan setara tanpa perbedaan etnis, agama atau kepentingan politik apapun,” ujarnya.(*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!