Jayapura, Jubi – Luasan penetapan pengakuan hutan adat di Tanah Papua oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilai masih terlalu kecil dibanding luasan potensi hutan adat. Pemerintah provinsi/kabupaten/kota di Tanah Papua maupun pemerintah pusat diminta mendukung dan berperan aktif mendorong proses penetapan pengakuan hutan atau wilayah adat.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat atau BRWA, Kasmita Widodo mengatakan pengakuan hutan adat di Tanah Papua yang dilakukan pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru seluas 39.841 hektare. Ribuan hektare hutan itu terdapat di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua (23.612 hektare), dan Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat Daya (16.229 hektare).
Di Provinsi Papua, ribuan hektare hutan atau wilayah adat yang sudah mendapatkan pengakuan dari KLHK itu tersebar di Kabupaten Jayapura. KLHK telah memberikan pengakuan terhadap hutan adat Marga Syuglue Woi Yansu (16.493 hektare), Marga Yano Akrua (2.226 hektare). Ada pengakuan hutan adat bagi Marga Yano Meyu (501 hektare), Yosu Desoyo (3.394 hektare), Marga Yano Wai (594 hektare), dan Marga Takwobleng (405 hektare).
Sementara di Provinsi Papua Barat, pengakuan hutan adat baru diberikan kepada Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni (16.299 hektare). Di Provinsi Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan sama sekali belum ada pengakuan hutan adat dari KLHK.
“[Luasan penetapan pengakuan hutan adat 39.841 hektare] itu masih sangat rendah,” ujar Kasmita saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Senin (10/6/2024).
Kasmita membandingkannya dengan luasan wilayah yang telah dipetakan dalam 240 pemetaan wilayah adat di Tanah Papua. Total luasan wilayah adat yang terpetakan dalam 240 peta itu mencapai 11 juta hektare lebih.
Menurutnya, potensi hutan adat itu tersebar di Provinsi Papua (3.419.940 hektare), Provinsi Papua Selatan (5.443.575 hektare), dan Provinsi Papua Pegunungan (108.797 hektare). Potensi hutan adat juga ada di Provinsi Papua Barat (563.441 hektare) dan Provinsi Papua Barat Daya (1.485.109 hektare).
Baru diverifikasi 2022
Menurut Kasmita, hasil pemetaan wilayah adat di Tanah Papua yang telah mendapatkan pengetapan pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sangat sedikit. Pasalnya, verifikasi atas dokumen pengajuan penetapan pengakuan wilayah adat yang baru gencar pada 2022.
Kendala lainnya, masyarakat adat juga mengalami hambatan dalam mempersiapkan dokumen pengajuan penetapan wilayah adat kepada KLHK.
“Kami sebenarnya bekerja cukup lama dan advokasi untuk proses usulan hutan adat di Papua. [Tetapi] KLHK baru bekerja di 2022. Di luar [masalah] itu, harus ada data yang memadai [untuk bisa mengusulkan sebuah luasan diakui sebagai hutan adat. Itu harus disiapkan masyarakat adat, [namun] itu proses yang tidak mudah,” kata Kasmita.
Hingga kini, pemetaan wilayah adat di Tanah Papua yang ditetapkan pemerintah daerah baru seluas 564.370,08 hektare. Ratusan ribu wilayah adat itu tersebar di Provinsi Papua Barat Daya (432.933,30 hektare), Papua Barat (23.200,99 hektare), Papua (26.971,65) dan Papua Selatan (81.264,14 hektare).
Sementara pemetaan wilayah adat melalui pengaturan dalam peraturan daerah mencapai 11 juta hektare lebih. Luasan itu tersebar di Provinsi Papua Barat Daya (1.227.875,64 hektare), Papua Barat (891.446,01 hektare), Papua (3.639.318,29 hektare), Papua Selatan (5.840.633,71 hektare), dan Papua Pegunungan (192.554,15 hektare).
Akan tetapi, tidak semua penetapan pemetaan wilayah adat dari pemerintah daerah itu serta merta diikuti dengan penetapan pengakuan wilayah adat dari KLHK. Kasmita mengatakan pemerintah kabupaten/kota belum kuat mendorong proses pengakuan hutan atau wilayah adat bersama masyarakat.
Menurut Kasmita, pemerintah daerah seharusnya mengalokasikan anggaran untuk menjalankan proses pengajuan luasan hutan menjadi wilayah adat, membiayai proses verifikasinya, dan mengurus penetapan pengakuan wilayah adat dari KLHK.
“Kolaborasi itu penting dilakukan, agenda masyarakat seharusnya didukung pemerintah daerah. Hal itu yang menjadi hambatan/tantangan percepatan pengakuan hutan adat,” ujarnya.
Sangat lambat
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan proses pengakuan hutan adat di Tanah Papua sangat lambat. Padahal menurut Franky sudah putusan Mahkamah Nomor 35 Tahun 2012 tentang Hutan Masyarakat Hukum Adat.
“Kita lihat proses di Papua sangat lambat. Itu bisa dihitung hanya ada 7 hutan adat. Pada 2012 Menteri KLHK mengeluarkan hutan adat yang ada di Kabupaten Jayapura maupun Kabupaten Teluk Bintuni. Sementera di Papua itu komunitas yang memiliki hutan adat itu banyak,” kata Franky kepada Jubi, pada Selasa (11/6/2024).
Franky mengatakan pengakuan hutan adat diperlukan untuk perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat terkait hutan adat. Sebab dalam situasi yang lain kepentingan investasi pemerintah maupun korporasi tidak mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Dalam konteks itu perlu pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas hutan adat oleh KLHK,” ujarnya.
Franky mengatakan pihaknya sedang mendampingi 11 komunitas adat di Tanah Papua untuk mendapatkan pengakuan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kesebelas komunitas adat itu diantaranya sembilan berada di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan yakni Marga Kinggo Kambenap, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair (5.100 hektare) Marga Tenggare, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, (3.000 hektare) Marga Aute, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, (15.343 hektare).
Ada juga Marga Kanduga, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, (14.105 hektare), Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur (61.304 hektare), Marga Ekoki di Kampung Subur, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur (41.222 hektare), Marga Kemi, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur (48.901 hektare), Marga Eninggugop, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur (30.228 hektare), dan Marga Wauk, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur (20.149 hektare).
Sementara dua lainnya yaitu Hutan adat Gelek Malak Kalawilis Pasa di Sorong (2.876 hektare) dan hutan adat Suku Afsya di Distrik Konda Sorong Selatan (3.278 hektare).
“Kami di Pusaka mendampingi sebelas komunitas adat di Sorong Selatan sejak 2022, Kabupaten Sorong dan Boven Digoel sejak 2023 tapi sampai sekarang belum ada putusan apa-apa,” ujarnya.
Franky mengatakan saat ini Tim Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) KLHK bersama Balai BPSL Maluku Papua baru melakukan identifikasi teknis dan koordinasi dengan Pemerintah di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan.
“Memang kita lihat sudah ada proses validasi dan identifikasi yang tahun ini baru dilakukan terhadap dua usulan kita komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan. Saya kurang tahu persis berapa semua yang sedang mengusulkan di Papua,” katanya.
Pentingnya perda
Franky mengatakan untuk bisa mengusulkan pengakuan hutan atau wilayah adat harus ada peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Ia mengatakan peraturan daerah seperti itu baru ada Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Teluk Bintuni.
“Selain itu ada ada persyaratan lain mereka [masyarakat adat] harus mengusulkan subjek dan objek hak yang dimaksud. Subjek berkaitan dengan masyarakat, dan objek itu menginformasikan dasar-dasar penguasaan dan kepemilikan hutan adat itu misalnya harta benda adat, hutannya, sejarahnya dan keadaan biodiversitasnya. Itu kan pengetahuan masyarakat adat dituturkan, perlu dicatat. Permohonan berdasarkan dokumen tertulis, bukan lisan. Itu menjadi hambatan sehingga teman-teman LSM memfasilitasi proses itu,” ujarnya.
Menurut Franky seharusnya pemerintah daerah hingga KLHK berperan aktif mendampingi masyarakat adat mulai dari dari penetapan peraturan daerah sampai dengan pemenuhan kriteria pengakuan hutan adat. Franky mengatakan selama ini masyarakat mengusulkan sendiri serta dibantu lembaga swadaya masyarakat.
“Pemerintah daerah harus aktif, juga KLHK untuk mempercepat mulai sejak awal proses tahapan-tahapan bisa difasilitasi tapi bukan tergantung kepada masyarakat atau LSM setempat. Karena begitu akan sangat sulit, LSM juga terbatas dengan sumber daya,” katanya.
Franky meminta agar pemerintah daerah baik itu provinsi/kabupaten/kota untuk tidak mengeluarkan izin pengolahan hutan bagi perusahaan. “Harus ada pengamanan sosial, hukum, ekonomi masyarakat adat yang diutamakan. Penetapan pengakuan hutan adat seharusnya negara memfasilitasi dan menghormati sepenuhnya disampaikan pengetahuan masyarakat adat bukan hanya berdasarkan verifikasi,” ujarnya.
Masyarakat adat Suku Wambon Kenemopte, Petrus Kinggo mengatakan pengakuan hutan adat sangat penting guna melindungi hutan dan sumber kehidupan masyarakat adat. Tanpa pengakuan itu, Kinggo khawatir hutan adat akan habis dibabat perusahaan.
Kinggo berharap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secepatnya memproses usulan mereka. “Saya marga Kinggo Kambenap [usulkan] 5.100 hektare. Sampai saat ini KLHK belum [memproses pengakuan] hutan adat,” ujarnya. (*)