Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights atau POHR, Thomas Ch Syufi, mempertanyakan sejauh mana kejelasan proses hukum atas kasus meninggalnya seorang warga Tambrauw, Moses Yewen yang diduga dianiaya oleh dua oknum anggota Satgas TNI dari Yonif RK 765/FYS di Fef, Tambrauw, Papua Barat Daya, pada 9 April 2021.
“Kasus penyiksaan ini sudah lama terjadi, tapi sampai saat ini belum ada kepastian dan kejelasan, kata Syufi saat diwawancarai Jubi, Minggu (16/6/2024)
Padahal, lanjutnya, keluarga korban dan masyarakat sangat mengharapkan kasus ini segera diusut dan tuntas diproses hukum secara terbuka, agar kedua oknum anggota TNI yang melakukan penganiayaan, pada (9/4/2021) mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
“Sesuai ketentuan hukum pidana umum maupun militer, sebagai wujud dari apa yang disebut individual criminal responsibility, agar terpenuhinya keadilan bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat luas,” ujarnya.
Syufi juga meminta atensi Panglima TNI dan Pangdam XVIII/ Kasuari, untuk terbuka terhadap kasus ini, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas institusi TNI terhadap publik.
“Selama ini semua proses hukum berjalan senyap, yang menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakjelasan atas kepastian hukum dan keadilan korban,” ujarnya.
Ini sangat mencederai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat Tambrauw, pada umumnya. Perlu adanya keterbukaan untuk semua tahapan proses hukum kasus ini.
“Apakah kedua oknumnya anggota TNI itu sudah divonis oleh pengadilan militer atau belum? Bila sudah berapa tahun hukumannya? atau kalau belum, apa kendalanya?” ujarnya.
Perlu penjelasan secara terbuka kepada keluarga korban dan masyarakat. Sekaligus masyarakat juga bisa dapat memastikan bahwa hukum tegak secara fair atau tidak.
“Keadilan tidak boleh ditegakkan di ruang yang senyap dan parsial oleh satu pihak, tapi keadilan wajib dibentangkan dalam koridor yang terbuka dan diketahui oleh semua pihak, terutama korban, keluarga korban, dan khalayak,” ujarnya.
Apalagi korban Moses Yewen meninggal karena dianiaya oleh dua oknum anggota TNI secara brutal hingga korban babak belur dan menyeret korban di jalan raya hingga tiba di Pos Satgas Yonif 762.
“Inikan merupakan bentuk pelanggaran hukum berat dan kejahatan terhadap martabat individu korban, maka kedua pelaku layak diganjar hukuman maksimal, yakni hukum penjara dan hukuman tambahan berupa pemecatan kedua oknum prajurit dari satuan TNI,” ujarnya.
Pendekatan brutal dan premanisme oknum anggota TNI seperti ini membuat trauma, juga memicu konflik dan dendam dari masyarakat terhadap institusi TNI, serta menghambat tumpuan dan harapan pada Panglima TNI dan Kasad yang mendorong agar prajurit TNI senantiasa mencintai dan dicintai rakyat. (*)
Discussion about this post