Merauke, Jubi – Ratusan orang dari kelompok masyarakat adat suku Kimahima di Distrik Kimaam dan suku Maklew dari Distrik Ilwayap, Kabupaten Merauke, Papua Selatan pada Kamis (13/6/2024), melakukan demonstrasi damai untuk menolak rencana pemerintah membangun perkebunan tebu di wilayah adat mereka. Massa bergerak dari titik kumpul di Mangga Dua Merauke menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
Masyarakat adat membawa spanduk yang berisi pernyataan tegas menolak investasi perkebunan tebu dan sejenisnya di Pulau Kimaam. Pulau Kimaam mencakup Distrik Kimaam, Waan, Kontur, Tabonji, dan daerah sekitarnya yakni Distrik Ilwayap dan Okaba.
Di kantor DPRD Kabupaten Merauke, masyarakat adat diterima oleh Wakil Ketua II Dominikus Ulukyanan dan anggota Moses Kaibu, serta Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) Paskalis Imadawa. Selanjutnya, koordinator aksi dan perwakilan masyarakat adat menyampaikan aspirasi mereka kepada pimpinan dan anggota DPRD.
Terdapat delapan poin aspirasi masyarakat adat yang disampaikan kepada DPRD dan MRPS, antara lain masyarakat adat Kimahima dan Maklew dengan tegas menolak PT Global Papua Abadi (perusahaan perkebunan tebu yang saat ini sedang beroperasi di Distrik Tanah Miring dan Jagebob), dan perusahaan peternakan sapi/kerbau atau sejenisnya masuk beroperasi di Pulau Kimaam.
Masyarakat adat Kimahima dan Maklew juga dengan tegas meminta Pemkab Merauke dan Pemprov Papua Selatan untuk tidak memberikan izin operasi kepada PT Global Papua Abadi (GPA) dan perusahaan peternakan kerbau/sapi dan atau sejenisnya di wilayah adat mereka. Masyarakat adat pemilik hak ulayat selanjutnya meminta MRPS dan DPRD kabupaten untuk memfasilitasi persoalan dimaksud hingga tuntas.
Selain itu, masyarakat adat mendesak agar DPRD Kabupaten Merauke serta MRPS segera membentuk panitia khusus (Pansus), untuk mengusut para pihak yang terlibat dalam rencana pemerintah dan perusahaan membuka perkebunan tebu di wilayah Pulau Kimaam. Mereka juga mendesak pemerintah pusat mencabut izin usaha perusahaan tebu PT GPA, dan perusahaan sapi serta kerbau yang hendak berinvestasi di Kimaam.
Koordinator aksi masyarakat adat Suku Kimahima dan Maklew Idelfonsius Cambu mengatakan, masyarakat adat merasa sangat tidak dihargai oleh pemerintah dan perusahaan. Pemerintah maupun investor dalam rencananya membangun perkebunan tebu, peternakan sapi/kerbau dan sejenisnya di Pulau Kimaam, tanpa terlebih dahulu berkomunikasi dengan masyarakat adat pemilik hak ulayat di sana.
“Tidak ada tanah yang tak bertuan, semua memiliki tuan. Hari ini kami datang ke Kantor RDPRD Merauke untuk menyatakan dengan tegas, kami menolak investasi tebu di Pulau Kimaam! Laporan masyarakat, ada kegiatan pemantauan helikopter yang berlangsung beberapa pekan, termasuk kapal besar telah berlabuh di Pelabuhan Wanam, Distrik Ilwayab,” katanya.
Kehadiran investor yang tanpa ‘permisi’ itu menyebabkan masyarakat di sana resah, khawatir jika tanah dan hutan mereka dirampas dengan kedok berbagai aturan atau regulasi yang disiapkan pemerintah. Sejauh ini masyarakat adat di sana tidak dilibatkan, dan oleh pemerintah maupun investor seolah-olah Pulau Kimaam tidak ada penghuni atau pemilik tanah.
“Masyarakat adat pemilik hak ulayat merasa sangat khawatir kalau tanah dan hutannya dirampas. Pulau Kimaan seperti tidak ada penghuni atau pemilik tanah, sehingga helikopter maupun kapal seenaknya dikirim ke sana untuk melakukan pemantauan,” ujarnya.
Idelfonsius Cambu menduga ada kesepakatan para pihak, termasuk juga ‘oknum’ yang mengatasnamakan masyarakat adat Pulau Kimaam, untuk bersepakat dengan investor dan pemerintah. Pemerintah dan investor berencana memuluskan Proyek Starategis Nasional (PSN) tebu di Pulau Kimaam, tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik hak ulayat di sana.
“Jujur kami curiga. Ada politik apa dibangun Pemerintah Kabupaten Merauke bersama Pemerintah Pusat? Kami sepakat saja, kalau tanah ini milik negara, tapi harus tahu bahwa dalam undang-undang tertulis bahwa satuan hukum adat harus dilindungi negara. Tapi kenapa kami tidak dihargai sama sekali,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan penolakan investasi tebu itu, Wakil Ketua II DPRD Merauke Dominikus Ulukyanan berjanji akan memperjuangkan apa yang menjadi desakan masyarakat adat suku Kimahima (Pulau Kimaam) dan suku Maklew (Ilwayab) Kabupaten Merauke.
“Kami sangat menghargai aspirasi yang disampaikan bapak ibu. Ini adalah cara terbaik menyelesaikan masalah. Tidak usah ke jalan, berteriak-teriak, karena itu tidak akan ada kesimpulan. Kesimpulan ada di sini, kami akan laksanakan itu tanggal 21 Juni 2024. Kami mengundang semua pihak terkait,” kata Dominikus Ulukyanan di hadapan masyarakat adat.
“Siapa pun yang datang mewakili OPD bersangkutan, kami berharap bisa berikan solusi. Demi anak cucu kita di Pulau Kimaam, saya pikir apa yang disampaikan masyarakat bukan dibuat-buat. Kami akan perjuangkan ini berjenjang hingga ke pemerintah pusat. Saya minta doa dan kesabaran, kita semua bekerja,” ujarnya. (*)