Jayapura, Jubi – Dosen Antropologi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, Dr. Budi Hernawan mengatakan dialog Papua-Jakarta masih jadi Pekerjaan Rumah (PR) yang belum selesai. Baik bagi para pemimpin gereja di Papua, maupun BRIN.
Katanya, sampai hari ini BRIN masih menawarkan konsep Papua Road Map. Dia mengutip kata-kata Karl Max; tidak cukup menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dunia ini dengan berbagai cara, padahal yang terpenting itu mengubahnya.
“Pertanyaan bagi lembaga-lembaga akademis, penelitian dan juga para pemuka agama dan pemuka gereja di tanah Papua mau pilih yang mana? menjelaskan kenyataan dan mendiskusikan atau mengubah kenyataan itu,” katanya.
Dia mengatakan, kalau mau mengubah kenyataan, berarti tawaran-tawaran tadi gagasan tadi harus masuk dalam proses-proses negosiasi politik. “Di situlah ruang-ruang negosiasi para pengambil kebijakan harus dilibatkan,” kata Budi dalam testimoni peluncuran buku karya Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman dengan judul ‘Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua’, di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Menurutnya yang tidak terjadi di Papua sejak para pendiri Jaringan Damai Papua (JDP) menghadap Tuhan, proses-proses ini berhenti proses-proses negosiasi politik. BRIN dan para pemuka agama punya PR bahwa mau masuk ke sana atau tidak.
Ia menjelaskan tiga contoh proses dialog damai yang sedang terjadi di wilayah Asia Tenggara yaitu Thailand, Filipina, dan Papua New Guinea (PNG).
Di Thailand, sedang terjadi proses perundingan antara barisan revolusi nasional yaitu kelompok bersenjata dengan pemerintah Thailand sejak 2013, difasilitasi Malaysia. Tapi sampai hari ini kedua belah pihak sudah 10 tahun lebih ini belum menyepakati Term of Reference (TOR), bagaimana perundingan itu dijalankan. Belum masuk substansi. Tapi baru bicara TOR mengenai tata cara perundingan.
“Jadi kalau teman-teman LIPI dulu bergulat dengan segala macam pemerintah, pergantian pemerintah. Di Thailand sudah 10 tahun belum bisa masuk dalam substansinya, karena belum menyepakati tata cara perundingannya, mau apa?” katanya.
Budi Hernawan mengatakan di Filipina perlu proses 44 tahun dari zaman Ferdinand Marcos sampai dengan terbentuknya BARMM Bangsa Moro Muslim Mindanao. Tapi baru-baru ini Mahkamah Agung Filipina mengeluarkan Sulu dari BARMM, rekonstruksi kebangsaan Mindanao dikeluarkan. Ini menimbulkan pertanyaan baru.
“Karena identitas ke-Mindanao-an menjadi digerogoti. Belum lagi soal identitas Mindanao yang bukan muslim dan bukan Katolik, yang namanya orang Lumat orang sebenarnya adalah orang Mindanao. Tapi karena dia bukan muslim dan bukan Katolik maka tidak disebut bangsa Moro. Orang-orang kelompok suku ini tidak terlindungi oleh siapa pun. Tidak juga terlindungi dalam sistem BARMM. Mereka menjadi target operasi militer negara. Target sasaran militer Partai Komunis Filipina,” ujarnya.
Contoh terakhir yang dia paparkan adalah PNG; 97 persen orang Bugenvil menyatakan berpisah dari PNG. Namun secara konstitusional DPR PNG belum mengesahkan. Sampai hari ini pemerintah Port Moresby masih kebingungan. Orang mulai frustasi. Lima tahun terjadi sudah deadlock. “Yang saya mau katakana adalah proses dari setiap isi dialog berbeda-beda, bersifat organik sehingga selalu makan waktu yang berbeda-beda,”.
“Kembali ke pertanyaan tadi yang saya titipkan pada para pemimpin gereja di Papua dan BRIN tadi, mau memasuki lorong-lorong yang mana? lorong seperti penjelasan Marx dibilang menjelaskan kenyataan ini atau mengubahnya. Kalau mengubahnya tidak cukup hanya menjelaskan kenyataan tapi harus masuk ke lorong-lorong negosiasi politik,” kata Budi.
Peneliti Dr. Adriana Elisabeth mengatakan Papua memerlukan problem solving bernama daftar isian masalah. Itu harus ditambah dengan daftar isian bagaimana menyelesaikannya masalah itu. Yang punya tugas eksekusi ada yang punya kekuasaan. Menurutnya problem solving ini sangat penting. Jangan hanya berputar di soal masalah ini mau diselesaikannya seperti apa.
Menurutnya yang berlangsung selama ini agak monolog. Bertabrakan dengan (konsep) dialog. Karena persoalan pokoknya, yang dibutuhkan saling mendengar. Itu bagian dari dialog.
“Jadi persoalan dialog ini juga bagian dari problem solving sebetulnya. Kemudian skill yang diperlukan juga adalah critical thinking. Kalau kita selalu bicara Papua harga mati. NKRI harga mati waktu kemerdekaan harga mati, aduh sudah itu tidak akan ada penyelesaian,” katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!