KTT MSG tidak sesuai harapan rakyat, ULMWP tak patah semangat

KTT MSG
Dari kiri ke kanan: Sekretaris ULMWP, Markus Haluk, Urusan Luar Negeri, Benny Wenda, perwakilan WPNCL, Paola Makabori, Presiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni, dan Wakil Presiden ULMWP, Octovianus Mote. – Jubi/Dok ULMWP

Jayapura, JubiUnited Liberation Movement for West Papua atau ULMWP merasa tidak akan patah semangat meski hasil Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) tidak sesuai dengan harapan rakyat.

Presiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni, dalam siaran persnya yang diterima Jubi, Selasa (19/9/2023), mengatakan rakyat bangsa Papua tidak bisa menuntut bangsa dan negara lain untuk menanggung nasib seolah-olah itu adalah nasib mereka.

Menurutnya, nasib rakyat Papua adalah milik sendiri untuk dipikul oleh seluruh rakyat bangsa Papua sendiri dan hanya membutuhkan sebuah pengakuan yang tulus dan jujur, tentang adanya penjajahan serta kebutuhan pembebasan bagi tanah air dan bangsa West Papua.

Setelah KTT II ULMWP, katanya, kepemimpinan terus bergilir dari Negara Federal Republik Papua Barat atau NFRPB, Parlemen Nasional West Papua atau PNWP. kepada Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat yakni West Papua National Council for Liberation atau WPNCL.

“Pada kesempatan ini kami telah ditetapkan sebagai Presiden Eksekutif ULMWP untuk bekerja sama dengan semua faksi politik afiliasi maupun organ-organ non-afiliasi seperti KNPB, Petisi Rakyat Papua, Aliansi Mahasiswa Papua, serta seluruh jaringan aktivis Papua dan non-Papua Barat secara luas,” kata Tabuni.

Menurutnya, Papua memerlukan sebuah transformasi dalam nasibnya baik dari segi politik, sosial-budaya dan ekonomi, bahkan juga transformasi antara hubungan rakyat Papua dan non Papua dalam peta kebangsaan antara Papua, Indonesia, serta seluruh masyarakat internasional.

Baca juga :   Kompetisi Liga 1 dilanjutkan lagi, Tony Ho sarankan PSSI jangan melawan Pemerintah

“Ketika kita punya kuasa atas nasib kita, maka anak cucu kita akan berkembang dan hidup berdampingan bersama generasi penerus bangsa-bangsa di dunia,” ujarnya.

Ia menyebut bangsa Papua sebagai komunitas bangsa-bangsa di dunia, sudah tentu hidup bersosialisasi dan bekerja sama secara bermartabat dengan bangsa-bangsa lain di atas tanah air West Papua, ketika menghadapi perkembangan global dan juga mencari solusi damai saat menghadapi berbagai persoalan zaman yang ada.

Meskipun bangsa West Papua selama enam dekade terus mengalami krisis kemanusiaan dan kepunahan secara perlahan, sistimatis dan terstruktur (slow genocide), jika dibandingkan dengan perkembangan populasi penduduk keluarga Melanesia lain seperti Papua New Guinea (PNG), yang hingga kini mencapai 10,4 juta jiwa.

“Politik pendudukan Indonesia atas wilayah West Papua melalui program transmigrasi dengan dalih pembangunan dan pemekaran daerah otonomi baru [DOB], merupakan jalan tol bagi depopulasi penduduk pribumi Papua yang harus ditanggapi dan dipersoalkan secara serius oleh berbagai intelektual komponen suku bangsa pribumi pemilik tanah air,” katanya.

Berbagai persoalan sosial dan budaya seperti diskriminasi regulasi aturan hukum dan undang-undang, perampokan hak-hak dasar, hutan, tanah, air, kebodohan dan kemiskinan serta penyebaran penyakit mematikan, seperti HIV AIDS, di atas tanah West Papua merupakan situasi darurat kemanusiaan yang musti segera ditinjau dan ditangani sebelum terlambat.

Baca juga :   Persiapan Persipura terhambat kepastian calon sponsor 

“Suku bangsa pribumi Papua berhak untuk menentukan nasib sendiri, menempuh masa depan sendiri, dan mencari jalan keluar atas berbagai persoalan sosial, budaya, serta ekonomi dan politik di atas tanah air West Papua,” kata Tabuni.

Dalam rangka mencari jalan keluar atas setiap persoalan kemanusiaan di Papua itu, dibutuhkan suatu strategi politik dengan pendekatan negosiasi secara damai serta bermartabat antara semua pihak yang berkonflik di atas tanah West Papua.

Ia menjelaskan ULMWP merupakan manifesto politik suku-suku bangsa pribumi Papua Barat melalui forum Konferensi Tingkat Tinggi II/2023, telah mengakomodir dan merumuskan berbagai aspirasi dan pandangan politik dari setiap komponen perjuangan bangsa, tentang pokok persoalan serta peta jalan sebagai solusi penyelesaian masalah yaitu bidang politik, ekonomi, hak asasi manusia, budaya, keamanan, lingkungan, dan rekonsilasi luas serta negosiasi damai dan bermartabat.

Untuk itu ULMWP mengimbau dalam setiap proses perjuangan menuju cita-cita luhur kemerdekaan bangsa West Papua mesti perhatikan prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa dikompromikan yaitu pengakuan atas eksistensi orang asli Papua sebagai suku bangsa pribumi Papua.

Maka dari itu pihaknya meminta permusnahan orang asli Papua selama enam dekade tidak bisa diterima dalam bentuk apapun. Slow genocide (genosida perlahan-lahan) ini harus dihentikan.

Baca juga :   Pembunuhan disertai mutilasi di Timika jadi "amunisi" bagi OAP

“Kami tidak bisa terima eksploitasi sumber daya alam Papua oleh Pemerintah Indonesia tanpa konsultasi dengan orang asli Papua sebagai pemilik hak wilayah. Hak berpikir, berpendapat, dan berekspresi untuk menyatakan kehendak menentukan nasib sendiri, merupakah hak politik yang tak boleh disangkal, distigmatisasi, bahkan dikriminalisasi,” ujarnya.

Selain itu, ULMWP juga ingin menentukan jalan perdamaian dan mengurangi kejahatan serta kematian etnis Melanesia di Papua Barat dengan melindungi dan mempertahankan hak-hak dasar kehidupan makluk hidup di atas tanah air Papua Barat.

“Begitu juga membangun komunikasi yang kontruktif dan solidaritas yang lebih luas di antara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang berakal dan bermartabat demi kehidupan yang adil, harmoni, damai, dan berkelanjutan,” katanya.

“ULMWP bersama setiap komponen perjuangan bangsa, tetap konsisten dan terus meningkatkan perjuangan kemerdekaan melalui sistem pertahanan-keamanan, sosial-budaya, dan diplomasi politik dengan pendekatan sosialisasi dan konsolidasi yang lebih luas di tingkat lokal, nasional, maupun internasional,” kata Tabuni. (*)

Komentar
banner 728x250