Jayapura, Jubi – Konstitusi Vanuatu akan segera diamandemen untuk mengakui hanya dua jenis kelamin—laki-laki dan perempuan—sejak lahir. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap kebebasan berekspresi, yang dilindungi oleh konstitusi negara tersebut. Demikian dilaporkan jubi.id, Selasa (29/4/2025).
Vanuatu Daily Post melaporkan bahwa amandemen ini dipandang pemerintah sebagai upaya untuk menyelaraskan hukum negara dengan “nilai-nilai Melanesia dan prinsip-prinsip Kristen” yang menjadi dasar berdirinya Vanuatu.
Ketua Dewan Kristen Vanuatu, Pendeta Collin Keleb, menyatakan bahwa amandemen ini akan membatasi individu lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, interseks, dan aseksual (LGBTQIA) dalam memobilisasi atau membentuk asosiasi yang dipengaruhi oleh ide-ide Barat.
Sementara itu, komentar dari kelompok LGBTQIA yang beredar di media sosial mempertanyakan alasan sejumlah pemimpin nasional dan gereja menargetkan mereka, sementara masih banyak hukum Alkitab lainnya yang juga sering dilanggar oleh umat Kristen.
Pendeta Keleb menegaskan bahwa meski ada banyak persoalan akibat pengaruh negara asing, membatasi gerakan kelompok LGBTQIA merupakan langkah awal untuk menjaga nilai-nilai lokal. Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak bermaksud memusuhi komunitas LGBTQIA, tetapi lebih berfokus pada menjaga hubungan antara kelompok minoritas itu dengan keluarga mereka, serta mencegah pengaruh asing yang dapat menjauhkan mereka dari Tuhan.
Menurut Keleb, konsultasi antara pemerintah, gereja, dan para kepala suku telah dilakukan untuk membahas peraturan ini.
Tahun lalu, Vanuatu telah mengubah undang-undang perkawinannya, menyatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan seorang wanita.” Menteri Dalam Negeri, Andrew Napuat, menjelaskan bahwa undang-undang tersebut secara tegas melarang pendaftaran pernikahan sesama jenis.
Isu terkait LGBTQIA+ dan gender bukanlah hal baru di kawasan Pasifik. Menurut Human Dignity Trust, yang memantau undang-undang terkait sesama jenis, sejumlah negara di Pasifik—termasuk Kiribati, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, dan Tuvalu—masih mengkriminalisasi individu LGBT (per Desember 2024). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penegakan hukum tersebut tampaknya telah melemah. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!