Jayapura, Jubi – Penelitian terbaru mengenai proses Pemilu Kepulauan Solomon tahun 2024 mengungkap masih adanya persoalan sistemik yang memengaruhi kepercayaan publik dan hak-hak pemilih.
Studi ini dilakukan oleh Universitas Nasional Australia (ANU) bekerja sama dengan Universitas Nasional Kepulauan Solomon (SINU), dan melibatkan 5.342 partisipan dari 15 daerah pemilihan di seluruh negeri. Seperti dilaporkan jubi.id dari laman RNZ Pasifik, Kamis (24/4/2025), laporan ini dirilis pekan lalu.
Penelitian tersebut mengkaji praktik pemungutan suara dan proses pemilu menjelang hari pemungutan suara yang digelar pada 18 April 2024. Laporan ini merupakan bagian dari proyek berkelanjutan yang memantau kondisi demokrasi di Kepulauan Solomon, dan dibangun dari studi serupa pada pemilu tahun 2019 dan 2014.
Secara umum, laporan ini mencatat adanya kemajuan di beberapa bidang, termasuk meningkatnya partisipasi politik perempuan. Namun, tantangan jangka panjang seperti kepercayaan terhadap akurasi daftar pemilih tetap menjadi sorotan.
Pemilu 2024 menandai pertama kalinya pemilihan pemerintah provinsi dan nasional dilakukan secara bersamaan. Menurut Komisi Pemilihan Umum Kepulauan Solomon, tingkat partisipasi pemilih mencapai 83 persen, sama dengan angka partisipasi pada pemilu tahun 2019.
Kepala Pejabat Pemilu, Jasper Anisi, menyatakan bahwa meskipun jumlah pemilih tergolong tinggi, praktik pendaftaran lintas batas masih menjadi sumber ketidakpuasan.
Pendaftaran lintas batas terjadi ketika seseorang memilih di daerah pemilihan yang bukan tempat tinggalnya, biasanya karena memiliki hubungan leluhur dengan daerah tersebut. Berdasarkan undang-undang pemilu saat ini, praktik ini tidak dianggap melanggar hukum.
Dr. Colin Wiltshire dari ANU, selaku peneliti utama, menyebut bahwa masyarakat memiliki pandangan yang terbelah mengenai praktik ini.
Penelitian menunjukkan bahwa 38 persen responden menganggap wajar jika pemilih yang memiliki hubungan keluarga mendaftar di luar tempat tinggal mereka. Sebaliknya, 26 persen menyatakan praktik itu tidak adil, sementara 20 persen lainnya menilai pemilih berhak memilih di mana pun suara mereka dianggap paling berharga.
Di daerah pemilihan Aoke/Langalanga, partisipan penelitian mengungkapkan ketidakpuasan karena merasa kalah jumlah oleh pemilih dari Malaita dan Honiara yang datang memilih di daerah mereka.
Para peneliti mencatat bahwa pendaftaran lintas batas dianggap merusak kemampuan masyarakat lokal untuk memilih wakil yang benar-benar mewakili kebutuhan mereka. Sesuai peraturan pemilu, pemilih boleh mendaftar di daerah tempat tinggal selama minimal enam bulan, atau di daerah yang memiliki ikatan leluhur. Namun, pemilih wajib memberikan suara secara langsung di daerah tempat mereka terdaftar, kecuali dalam kasus tertentu seperti petugas kepolisian yang bertugas saat pemilu.
“Data dari Komisi Pemilihan Umum menunjukkan bahwa beberapa daerah pemilihan mengalami pertumbuhan pemilih lebih dari 50 hingga 60 persen, sementara daerah lainnya justru menyusut,” ujar Wiltshire.
“Tak ada konsistensi dalam pertumbuhan jumlah pemilih di seluruh Kepulauan Solomon. Ini menunjukkan bahwa praktik pendaftaran lintas batas bersifat meluas dan bukan hanya terjadi di Aoke/Langalanga.”
Penelitian ini juga menyoroti peran perilaku kandidat dalam memperkuat praktik tersebut, antara lain melalui pemberian hadiah atau insentif materi. Sebanyak 27 persen responden menyatakan bahwa kandidat membagikan hadiah di lingkungan mereka, sementara 14 persen melaporkan adanya pemberian uang tunai.
Laporan tersebut menekankan kompleksitas penanganan praktik ini, karena pemberian hadiah tradisional sering kali sulit dibedakan antara kewajiban budaya dan praktik suap dalam pemilu. Persinggungan antara tradisi dan proses pemilu ini menjadi tantangan tersendiri dalam penegakan hukum.
Secara keseluruhan, laporan ini memberikan 16 rekomendasi untuk mengatasi berbagai persoalan yang ditemukan pada pemilu tahun lalu.
Mengenai pendaftaran lintas batas, Wiltshire menekankan perlunya peningkatan pemahaman masyarakat.
“Warga perlu memahami implikasi dari keputusan untuk tidak memilih di tempat tinggal mereka, dan bagaimana mengikuti kandidat ke daerah pemilihan lain bisa menggerus proses demokrasi,” ungkapnya.
Sementara itu, Anisi menyatakan Komisi Pemilihan Umum Kepulauan Solomon saat ini tengah berupaya memperbaiki aksesibilitas bagi pemilih lanjut usia dan penyandang disabilitas dalam pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada 2028. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!