Jayapura, Jubi – Menteri Luar Negeri Prancis, Manuel Valls, minggu ini mengunjungi Kaledonia Baru untuk ketiga kalinya dalam dua bulan dan kembali menyerukan semua pihak agar memenuhi tanggung jawab mereka guna mewujudkan kesepakatan politik baru.
Valls memperingatkan bahwa jika upaya ini gagal, potensi terjadinya perang saudara sudah sangat nyata. Pernyataan ini disampaikan sebagaimana dikutip Jubi dari laman resmi RNZ Pasifik, Selasa (29/4/2025).
“Kami akan mengambil tanggung jawab di pihak kami. Kami akan mengajukan sebuah proyek yang menyentuh masyarakat Kaledonia Baru, mencakup pemulihan ekonomi, industri nikel, dan masa depan generasi muda,” katanya kepada sekelompok jurnalis Prancis, Minggu (27/4/2025).
Valls berharap, revisi draf dokumen hasil kunjungan sebelumnya ke wilayah Pasifik Prancis serta usulan baru dari pemerintah Prancis, bisa menjadi “jalan sulit” yang memungkinkan rekonsiliasi pandangan antara kubu pro-kemerdekaan dan mereka yang ingin Kaledonia Baru tetap menjadi bagian dari Prancis.
Target utama tetap berupa kesepakatan yang mengakomodasi “hak dan aspirasi untuk menentukan nasib sendiri” serta “hubungan berkelanjutan dengan Prancis”.
“Jika tidak ada kesepakatan, ketidakpastian ekonomi dan politik bisa berujung pada bencana baru, konfrontasi, bahkan perang saudara,” ujar Valls.
“Itulah sebabnya saya berulang kali mengimbau semua pemangku kepentingan politik, baik yang mendukung maupun yang menentang kemerdekaan,” lanjutnya, seraya mengingatkan bahwa kedua kubu harus saling mendekat.
“Kesepakatan adalah sesuatu yang tak terelakkan,” tambahnya.
Valls mengatakan, ia berharap semua pihak segera memasuki “fase negosiasi yang sesungguhnya” dan menemukan solusi “inovatif” serta “cara baru dalam memandang masa depan”, termasuk kemungkinan melakukan amandemen terhadap Konstitusi Prancis.
Partai Lokal Menolak Teken Kesepakatan “Dengan Cara Apa pun”

Partai-partai lokal menunjukkan sikap hati-hati, dengan kedua kubu – baik pro-kemerdekaan maupun pro-Prancis – sepakat untuk tidak menandatangani kesepakatan “dengan cara apa pun” tanpa memenuhi syarat tertentu.
Sejak awal tahun ini, perundingan antara Valls dan partai-partai lokal memperlihatkan perbedaan tajam. Kubu pro-kemerdekaan, Front Pembebasan Nasional Kanaky Sosialis (FLNKS) yang dipimpin Union Calédonienne, menggelar konvensi akhir pekan lalu untuk menentukan sikap terkait pembicaraan baru.
Mereka memutuskan hadir dalam pertemuan meja bundar, namun menekankan bahwa itu hanya “diskusi”, bukan “negosiasi”. Keputusan lebih lanjut akan diambil pada Kamis (1/5/2025) setelah mereka meninjau proposal baru dari Valls.
FLNKS tetap menuntut agar “Perjanjian Kanaky” ditandatangani paling lambat 24 September 2025, diikuti masa transisi selama lima tahun. Mereka bersikeras mempertahankan jalur menuju kedaulatan penuh.
Sementara itu, pihak pro-Prancis menekankan bahwa tiga referendum penentuan nasib sendiri pada 2018 hingga 2021 – meski referendum ketiga diboikot kubu pro-kemerdekaan – semuanya menghasilkan penolakan terhadap kemerdekaan penuh.
Sonia Backès, Presiden Provinsi Selatan sekaligus pemimpin partai Les Loyalistes, dalam rapat umum minggu lalu menolak keras wacana referendum baru.
“Referendum baru berarti perang saudara. Kami tidak ingin menentukan tanggal untuk perang saudara,” tegasnya, meskipun ia menyatakan tetap membuka diri untuk mencari solusi konstruktif.
Salah satu usulan dari kubu pro-Prancis adalah memberikan kewenangan lebih besar kepada tiga provinsi di Kaledonia Baru, termasuk dalam pengelolaan pajak. Mereka menolak model berbasis garis etnis dan mendorong desentralisasi.
Menurut rancangan teks yang bocor minggu lalu, referendum baru hanya dapat digelar dengan persetujuan minimal tiga perlima anggota Kongres. Referendum tersebut tidak lagi berbentuk pertanyaan biner “ya” atau “tidak” terhadap kemerdekaan, melainkan berupa pilihan atas “proyek” masa depan Kaledonia Baru.
Anggota parlemen pro-Prancis, Nicolas Metzdorf, juga menegaskan bahwa kubunya “tetap termobilisasi untuk mempertahankan Kaledonia Baru dalam Prancis” dan menolak untuk menyerah.
Kekhawatiran Keamanan
Meski terus mengupayakan kesepakatan, Valls tetap menyoroti kondisi serius di lapangan. Ia mengibaratkan situasi di Kaledonia Baru sebagai “berjalan di atas tali yang membentang di atas bara api”.
Valls menyoroti meningkatnya pengangguran, memburuknya layanan publik, melonjaknya angka kemiskinan, serta menguatnya “rasisme dan kebencian”.
Sejak kerusuhan pada Mei 2024, Prancis mempertahankan sekitar 1.500 personel keamanan tambahan di Kaledonia Baru, di luar 1.200 petugas kepolisian reguler.
Komisaris Tinggi Prancis yang akan lengser, Louis Le Franc, menyebut bahwa pasukan ini siap menjaga ketertiban “selama tiga hingga empat hari” bila terjadi eskalasi kekerasan, sambil menunggu bala bantuan tambahan.
Jika terjadi kerusuhan baru, jumlah personel penegak hukum dapat mencapai 6.000 orang, seperti pada puncak kekacauan 2024 yang menyebabkan 14 orang tewas dan kerugian material sekitar €2,2 miliar.
Pilar Negosiasi
Menurut Valls, pilar negosiasi ke depan berfokus pada “demokrasi dan supremasi hukum”, “proses dekolonisasi”, hak menentukan nasib sendiri, hukum dasar masa depan Kaledonia Baru, kewenangan provinsi, serta definisi kewarganegaraan lokal, termasuk hak suara dalam pemilu.
Valls telah dua kali melakukan kunjungan resmi ke Nouméa tahun ini, pada Februari dan Maret 2025. Ia berangkat dari Paris pada Senin (28/4/2025) dan dijadwalkan tiba di Kaledonia Baru pada Selasa malam (29/4/2025).
Sejak kunjungan terakhirnya, diskusi tetap berlangsung melalui konferensi video antara pemangku kepentingan lokal, kabinet Valls, dan penasihat khusus Perdana Menteri Prancis, François Bayrou, yakni ahli hukum konstitusi Éric Thiers. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!