Jayapura, Jubi – Pada akhir 2024 lalu, para ilmuwan dalam ekspedisi ke Kepulauan Solomon mengatakan mereka telah menemukan karang terbesar di dunia, melampaui pemegang rekor sebelumnya yang ditemukan di Samoa Amerika, di Samudra Pasifik.
“Terumbu karang raksasa yang berdiri sendiri ini lebarnya 34 meter, diameternya 32 meter, dan tingginya 5,5 meter,” demikian pernyataan para ilmuwan dalam ekspedisi National Geographic. Mereka menyebut karang itu sehat dan memberikan “cahaya harapan” karena terumbu karang dangkal di dekatnya telah rusak akibat menghangatnya suhu laut.
Penemuan para ilmuwan ini mendorong Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim, Penanggulangan Bencana, dan Meteorologi (MECDM), serta Kementerian Perikanan dan Sumber Daya Kelautan (MFMR), untuk menyelenggarakan serangkaian lokakarya di empat provinsi di negara Kepulauan Solomon.

Lokakarya pertama diselenggarakan di Tulagi, Provinsi Tengah, dan lokakarya terbaru digelar di Ghaseali, Provinsi Isabel.
Lokakarya ini bertujuan mengumpulkan informasi penting dari para pemangku kepentingan dan pemilik sumber daya, sebagai persiapan pengembangan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Terumbu Karang di Kepulauan Solomon. Demikian dikutip jubi.id dari laman internet www.solomonstarnews.com, Jumat (11/7/2025).
Rencana Aksi Nasional (RAN) akan menjadi dokumen yang menetapkan arah strategis untuk mengembangkan, mengelola, melindungi, dan melestarikan terumbu karang, tidak hanya di empat provinsi yang diidentifikasi, tetapi di seluruh Kepulauan Solomon.
“Konsultasi ini berfungsi sebagai sesi pembelajaran, di mana kami mengidentifikasi ancaman dan peluang, serta membahas strategi potensial untuk mengelola sumber daya kami secara berkelanjutan, khususnya terumbu karang.
“Ini juga menyediakan wadah bagi kami untuk menyuarakan kisah-kisah kami. Nenek moyang kami telah mengelola sumber daya secara berkelanjutan di masa lalu, sehingga kami dapat menikmatinya hari ini. Merupakan tanggung jawab kami untuk melanjutkan warisan mereka bagi generasi mendatang,” ujar Mary Rakeli, perwakilan dari komunitas Kubolota, Provinsi Isabel.
Lokakarya ini merupakan kelanjutan dari perjalanan penyusunan visi komunitas yang dilakukan tahun lalu dan awal tahun ini.
Di antara tujuan lainnya, inti dari lokakarya ini adalah untuk meningkatkan dan memperkuat kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman secara menyeluruh tentang ketangguhan terumbu karang bagi semua pemangku kepentingan, guna memastikan gagasan mereka selaras dengan visi dan aspirasi tingkat provinsi, mengidentifikasi area pengembangan kapasitas potensial, serta menyediakan wadah bagi pemangku kepentingan untuk berbagi bagaimana mereka ingin RAN dilaksanakan.
Sesi lokakarya mencakup topik pentingnya terumbu karang, status terkini, ancaman, peluang, dan tinjauan umum proyek Penyelamatan Terumbu Karang (CRR) di Kepulauan Solomon, serta urgensi penyusunan NAP.
Selama sesi tersebut, peserta terlibat dalam analisis pemangku kepentingan dan presentasi kelompok, yang berpuncak pada diskusi tentang langkah selanjutnya untuk NAP.
“Sungguh menginspirasi mendengarkan beragam suara masyarakat adat, yang hubungan mendalamnya dengan sumber daya alam mereka tetap hidup dan tak tergoyahkan,” ujar Christian Manepolo dari WCS.
Lokakarya ini diselenggarakan bersama oleh WCS sebagai lembaga pelaksana proyek Penyelamatan Terumbu Karang (CRR) Dana Lingkungan Global (GEF) di Kepulauan Solomon, bersama Kementerian Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim, Penanggulangan Bencana, dan Meteorologi (MECDM), serta Kementerian Perikanan dan Sumber Daya Kelautan (MFMR) yang mewakili pemerintah.
Tim kemudian akan melanjutkan ke Provinsi Auki – Malaita, dan Provinsi Lata – Temotu dalam beberapa minggu mendatang.
Proyek ini didanai oleh Global Environment Facility (GEF), yang berkontribusi terhadap Prakarsa Penyelamatan Terumbu Karang Global yang dipimpin oleh World Wildlife Fund (WWF), yaitu Proyek Penyelamatan Terumbu Karang: Terumbu Karang yang Tangguh, Komunitas yang Tangguh (GEF CRR), di mana WCS merupakan Fasilitator Teknis Nasional di Kepulauan Solomon.
Terumbu Karang Terbesar di Dunia, Seukuran Lima Lapangan Tenis

Pada 14 November 2024 lalu, para ilmuwan kelautan dalam ekspedisi National Geographic mengatakan mereka telah menemukan karang terbesar di dunia, melampaui rekor sebelumnya di Samoa Amerika.
“Terumbu karang raksasa ini lebarnya 34 meter, diameternya 32 meter, dan tingginya 5,5 meter,” kata mereka. Karang ini dinilai sehat dan menjadi “cahaya harapan” di tengah kerusakan terumbu karang dangkal akibat pemanasan laut, dikutip dari abc.net.au.
Para ilmuwan menyebut bahwa karang ini lebih panjang dari paus biru dan ditemukan di gugus Pulau Three Sisters, Provinsi Makira-Ulawa. Awalnya mereka mengira itu bangkai kapal, namun saat menyelam mereka menemukan koloni karang raksasa yang diperkirakan telah tumbuh selama 300 hingga 500 tahun.
Enric Sala dari National Geographic menyebut ini sebagai temuan ilmiah penting. “Rasanya seperti menemukan pohon tertinggi di dunia,” katanya.
Molly Timmers, ilmuwan ekspedisi, menyebut bentuk karang mirip es krim yang meleleh. Karang dari spesies Pavona clavus ini memiliki bentuk beriak, berwarna coklat dengan bercak kuning, biru, dan merah.
Menurut Adam Smith, profesor di Universitas James Cook, karang ini akan menjadi “landasan” penting ekosistem laut setempat.
Peter Mumby dari Universitas Queensland menambahkan bahwa jenis karang besar seperti ini menyediakan habitat penting bagi ikan kecil dan pari manta. “Mereka bagian vital dari ekosistem terumbu karang,” ujarnya.
Terumbu Karang: Ekosistem Laut yang Beragam

Menurut www.fisheries.noaa.gov, terumbu karang adalah ekosistem laut paling beragam secara biologis, mirip hutan hujan tropis. Meski hanya menutupi sebagian kecil dasar laut, jumlah spesies invertebrata yang hidup di dalamnya bisa mencapai 1–10 juta, banyak yang belum teridentifikasi.
Terumbu karang sangat rentan terhadap tekanan lokal seperti penangkapan ikan berlebih, polusi, perusakan habitat, serta tekanan global seperti perubahan iklim dan pengasaman laut.
Di Kepulauan Pasifik, Program Penilaian dan Pemantauan Terumbu Karang Pasifik (Pacific RAMP) melakukan survei habitat, iklim laut, dan pemantauan jangka panjang untuk menilai kondisi karang.
Tren tutupan karang dan dominasi alga menjadi indikator kesehatan ekosistem. Survei cepat dilakukan untuk mengukur pemutihan, kematian, demografi, dan penyakit karang.
NOAA mengidentifikasi 19 ancaman terhadap terumbu karang, tiga di antaranya utama: kenaikan suhu laut, pengasaman laut, dan penyakit – semuanya berkaitan dengan perubahan iklim. Namun, pengurangan stres lokal terbukti dapat meningkatkan ketahanan karang. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!