Jayapura, Jubi – Ambisi Nauru untuk menambang dasar laut secara komersial kini menghadapi ancaman serius. Hal ini menyusul perintah eksekutif Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mendorong percepatan penambangan laut dalam, langkah yang diperingatkan oleh para aktivis sebagai potensi pengabaian terhadap hukum laut internasional.
“Perintah ini meningkatkan ketidakstabilan di kawasan Pasifik karena secara efektif menghindari hukum dan proses internasional yang telah berlaku lama, dengan menyediakan jalur alternatif untuk menambang dasar laut,” demikian pernyataan para pendukung lingkungan seperti dikutip jubi.id dari RNZ Pacific, Sabtu (3/5/2025).
Perintah bertajuk Unlocking America’s Critical Offshore Minerals and Resources itu ditandatangani Trump pada 25 April. Instruksi ini mengarahkan lembaga sains dan lingkungan AS untuk mempercepat pemberian izin penambangan di perairan nasional maupun internasional.

Kebijakan ini memicu kecaman global, terutama setelah perusahaan tambang asal Kanada, The Metals Company (TMC), mengumumkan pada Selasa (29/4/2025) bahwa mereka telah mengajukan permohonan penambangan komersial melalui jalur hukum AS.
Sebelumnya, TMC gagal memperoleh izin komersial melalui Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA), lembaga yang mengatur aktivitas penambangan di perairan internasional berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salah satu wilayah yang menjadi fokus eksplorasi adalah Zona Clarion-Clipperton di Samudra Pasifik, area seluas 4,5 juta kilometer persegi yang kaya akan nodul polimetalik mengandung nikel, kobalt, mangan, dan tembaga.
Zona ini berada di bawah yurisdiksi ISA dan manfaat dari aktivitas di dalamnya seharusnya diperuntukkan bagi “umat manusia secara keseluruhan”. Namun, beberapa negara kecil di Pasifik seperti Nauru, Tonga, Kiribati, dan Kepulauan Cook telah diberi blok eksplorasi di sana dan bertindak sebagai negara sponsor perusahaan tambang.
Kemitraan Nauru dan TMC

Sejak 2011, Nauru bermitra dengan The Metals Company untuk mengeksplorasi bloknya di zona tersebut. Meski kode penambangan komersial ISA belum rampung, pada 2021 Nauru mengaktifkan klausul “pemberitahuan dua tahun” yang mendesak ISA memproses permohonan eksploitasi meski belum ada aturan final.
Kini, langkah Trump memberikan peluang bagi TMC untuk mengabaikan proses ISA dan beralih ke jalur hukum AS, yang dinilai lebih cepat dan menguntungkan secara komersial.
“[Blok Nauru] mewakili 22 persen dari total sumber daya TMC di zona tersebut dan dinilai mengandung cadangan nikel terbesar yang belum dikembangkan di dunia,” tulis perusahaan itu di situsnya.
Pada 29 April, TMC mengumumkan pengajuan tiga izin penambangan di bawah hukum AS: satu untuk eksploitasi dan dua untuk eksplorasi. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perusahaan akan meninggalkan skema ISA dan negara sponsor seperti Nauru.
Phil McCabe dari Deep Sea Conservation Coalition menyebut, “Pengajuan ini bisa menyingkirkan Nauru dari kemitraan. Tidak ada mekanisme dalam hukum AS yang mengharuskan berbagi manfaat dengan negara sponsor di Pasifik.”
Menurutnya, area yang diajukan TMC di bawah hukum AS memiliki ukuran yang sama persis—25.160 km²—dengan blok yang telah mereka eksplorasi di bawah ISA di wilayah Nauru.
Geopolitik dan Persaingan AS-Tiongkok
Aktivis Maureen Penjueli dari Pacific Network on Globalisation (PANG) menyebut perintah Trump sebagai respons atas dominasi Tiongkok dalam rantai pasok mineral kritis dunia. AS dan sekutunya dinilai berupaya mengamankan pasokan mineral strategis, termasuk dari dasar laut, untuk kebutuhan militer seperti kapal selam, pesawat, dan kendaraan lapis baja.

“Ini bukan sekadar soal transisi energi hijau, tapi soal dominasi geopolitik,” kata Penjueli.
Trump sendiri menyebut perintah eksekutifnya sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan pada mineral luar negeri dan memperkuat kemitraan dengan sekutu guna melawan pengaruh Tiongkok.
CEO TMC, Gerard Barron, mengeklaim pihaknya telah menginvestasikan lebih dari USD 500 juta untuk mengembangkan metode penambangan laut dalam yang bertanggung jawab secara lingkungan.
Namun, kritik tetap mengemuka. Barron menuduh ISA “tidak memiliki keinginan bekerja sama dengan kontraktor komersial”, dan menyatakan bahwa kerangka hukum AS cukup untuk menjamin legalitas aktivitas mereka.
Ancaman terhadap Hukum Internasional
McCabe dan Penjueli menilai langkah TMC dan AS mengabaikan prinsip-prinsip UNCLOS, terutama kewajiban bahwa manfaat dari penambangan di perairan internasional harus bersifat universal dan digunakan untuk tujuan damai.
Duncan Currie, pakar hukum lingkungan dari Deep Sea Conservation Coalition, menyebut bahwa royalti yang timbul dari penambangan melalui jalur AS bisa dianggap ilegal karena:
- Berada di luar kerangka ISA,
- Tidak menjamin manfaat bagi umat manusia, dan
- Berpotensi digunakan untuk kepentingan militer.
Desakan Moratorium
Penjueli menegaskan pentingnya moratorium terhadap penambangan laut dalam mengingat ketidakpastian hukum dan geopolitik yang terjadi.
“Apa artinya jika TMC benar-benar meninggalkan mitranya di Pasifik? Apa konsekuensinya bagi hak legal mereka di Clarion-Clipperton?” tanyanya.
Lebih dari 30 negara telah menyatakan dukungan terhadap moratorium penambangan laut dalam, termasuk Palau, Fiji, Samoa, Mikronesia, Tuvalu, dan Kaledonia Baru. Sementara Nauru, Tonga, Kiribati, dan Kepulauan Cook tetap mendukung.
Australia bersikap netral. Selandia Baru yang sebelumnya mendukung moratorium kini sedang meninjau ulang sikapnya.
Hingga berita ini ditulis, pemerintah Nauru belum memberikan tanggapan atas permintaan konfirmasi RNZ Pacific. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!