Jayapura, Jubi – Presiden Prancis Emmanuel Macron baru saja mengunjungi Noumea, Kaledonia Baru. Beberapa NGO di Pasifik yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sipil Pasifik mendesak agar Macron segera mendengarkan aspirasi masyarakat adat Kanaky, Kaledonia Baru.
“Sekali lagi, segala upaya untuk menentukan hubungan masa depan antara Prancis dan wilayah tersebut, dengan paksaan, dan tanpa rakyatnya, tidak akan pernah diterima. Oleh karena itu, kelompok-kelompok Pasifik dan mitra solidaritas sangat mendukung penegasan FLNKS dan kelompok pro-kemerdekaan lainnya bahwa menanggapi krisis saat ini dengan cara politik, non-represif, dan tanpa kekerasan adalah satu-satunya jalan menuju solusi yang layak,” demikian rilis pers yang diterima Jubi.id dari Pergerakan Pasifik, Jaringan Pasifik tentang Globalisasi dari Suva, Fiji melalui email, Jumat (7/6/2024).
Dikatakan bahwa Macron harus memperhatikan seruan pembentukan Kelompok Tokoh Terkemuka atau Eminent Person Group (EPG) untuk memastikan krisis saat ini diselesaikan secara damai, dan memulihkan ketidakberpihakan dalam proses dekolonisasi di wilayah pendudukan.
“Seminggu setelah kekerasan pecah di Kanaky-Kaledonia Baru pada pertengahan Mei, Presiden Emmanuel Macron terbang sejauh 10.000 mil untuk meredakan ketegangan dengan kelompok pro-kemerdekaan dan memulihkan ketenangan,” demikian pesan mereka seraya menambahkan setelah kepergiannya, perwakilan FLNKS dan suara-suara pro-kemerdekaan lainnya tidak yakin akan keefektifan kunjungannya maupun ketulusan niatnya.
![Kelompok Masyarakat Sipil Pasifik desak Presiden Prancis dengarkan masyarakat adat Kanaky 2 445180793 847420104098396 8434876531166108009 n](https://jubi.id/wp-content/uploads/2024/06/445180793_847420104098396_8434876531166108009_n.jpg)
“Meskipun kami memuji upaya semua pihak untuk memulihkan ketenangan, serta jaminan dari Presiden Perancis untuk mencabut rancangan undang-undang pemilu kontroversial yang memicu terjadinya kekerasan di wilayah tersebut, tetapi kami menyesalkan pengerahan tambahan polisi dan angkatan bersenjata ke wilayah tersebut,” demikian seperti dikutip dari pernyataan sikap tersebut.
Kini Kaledonia Baru menjadi wilayah yang menjadikan jumlah total pasukan Prancis menjadi lebih dari 3000 hanya dalam 2 minggu, dan masih banyak lagi yang akan datang; “dan ini akan meningkatkan perlakuan brutal dan tindakan represif yang dilakukan oleh Polisi Prancis dan unit bersenjata lainnya terhadap pemuda Kanaky,” katanya.
Berdasarkan otoritas yang baik, Kelompok Masyarakat Sipil Pasifik memahami bahwa ada pertimbangan dari Pemerintahan Macron untuk mengajukan pertanyaan apakah akan tetap memberikan hak suara kepada penduduk pedatang yang tinggal minimal 10 tahun di Kaledonia Baru ke dalam referendum di Perancis, sehingga akan melemahkan suara masyarakat adat dan pro-kemerdekaan.
“Kami juga mendapat informasi yang dapat dipercaya bahwa tenggat waktu pada bulan Juli 2024, yang sebelumnya ditentukan oleh Macron bagi partai-partai lokal untuk menyetujui formula politik untuk memajukan wilayah tersebut melampaui jangka waktu Perjanjian Noumea, tetap tidak berubah,” katanya.
Dikatakan bahwa tindakan-tindakan ini hanya akan melanggengkan siklus penindasan yang terus menghambat proses dekolonisasi wilayah ini dan harus dikecam sekeras-kerasnya! “Langkah dan jalur menuju penyelesaian damai atas tantangan dekolonisasi Kanaky-Kaledonia Baru tidak dapat dan tidak boleh terus menerus didikte oleh Paris,” kata para aktivis sipil Pasifik seraya menambahkan bahwa selama peristiwa Mei 1988, perilaku serupa juga dilakukan oleh otoritas Perancis.
“Menolak unguk mendengarkan masyarakat adat, pemaksaan kehendak kolonial, dan penggunaan kekuatan bersenjata – mengakibatkan Pembantaian Ouvea, pertumpahan darah yang dapat dan seharusnya terjadi, telah dihindari,”katanya.
“Kami mengingat kembali kenangan menyakitkan ini dengan harapan bahwa hilangnya nyawa, sekitar 36 tahun yang lalu, tidak akan sia-sia. Terlebih lagi, hilangnya nyawa dan mata pencaharian baru-baru ini, dan pada akhirnya, terus tertahannya kedaulatan penuh dari rakyat Kanaky-Kaledonia Baru, dan bahkan ‘ketergantungan’ Prancis lainnya di wilayah tersebut, saat ini, atau selamanya, tidak dapat menjadi harga yang harus dibayar,”katanya.
Lebih lanjut tulis Kelompok Sipil Pasifik bahwa semua aspirasi politik, geopolitik, dan strategis yang belum terpenuhi masih dipegang Macron di kawasan Pasifik Biru.
“Aliansi, bersama dengan mitra dan gerakan solidaritas, memuji Pemerintah Pasifik, institusi politik, gereja, tetua dan pemimpin masyarakat yang telah bersuara mendukung resolusi damai terhadap krisis ini dan pada akhirnya untuk pembebasan Kanaky-Kaledonia Baru dari kekuasaan colonial,”katanya.
Dikatakan mengingat sesi substantif Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi (C24) yang akan datang di New York pada tanggal 10 – 21 Juni 2024 pekan depan.
“Kami mohon kepada pemerintah Pasifik, khususnya Misi tetap kami untuk PBB dan perwakilan Fiji dan Papua Nugini di PBB. C24, agar memastikan Kanaky-Kaledonia Baru tidak dihapuskan secara prematur dari daftar Wilayah yang akan didekolonisasi oleh PBB namun proses dekolonisasi dapat diselesaikan dengan tepat,” tegas Kelompok Sipil Pasifik. (*)
Discussion about this post