Oleh : Alberth Yomo
Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional justru terbukti sebagai puncak gunung es dari skandal korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif. Uang negara senilai Rp2,58 triliun yang dihibahkan dari APBD Papua untuk penyelenggaraan PON, nyatanya tidak hanya digunakan di luar peruntukannya, tetapi juga raib tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Lebih buruk lagi, sidang demi sidang membongkar praktik korupsi yang melibatkan pejabat, ASN, pengusaha, hingga pimpinan bank.
Empat terdakwa utama—Vera Parinussa, Reky Douglas Ambrauw, Theodorus Rumbiak, dan Roy Letlora—bukanlah aktor tunggal, tetapi bagian dari jaringan manipulasi dana publik. Dalam kesaksian-kesaksian di pengadilan, muncul nama besar seperti Yunus Wonda, yang diduga kuat menjadi dalang sejumlah transaksi tunai miliaran rupiah tanpa bukti, bahkan disebut menerima Rp10 miliar hanya dengan alasan “pemalangan stadion”.
Penggelapan uang rakyat dilakukan secara terang-terangan. Dana ditransfer ke rekening satpam dan sopir BNI tanpa sepengetahuan mereka, untuk kemudian dicairkan dan dibagikan kepada orang-orang dekat para petinggi PON. Bahkan uang senilai Rp5 miliar disebut-sebut “masuk” ke rekening perusahaan tanpa tagihan resmi dan dikembalikan hanya karena terlanjur ketahuan.
Modus-modus pembiaran dan penyalahgunaan kekuasaan terstruktur. Proyek-proyek dibiayai tanpa masuk dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), seperti penunjukan Metro TV dan Festival Cahaya, yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Pinjaman-pinjaman sementara dengan janji “akan dikembalikan lewat sponsor” tak pernah terealisasi. Dana yang semestinya untuk bonus atlet, infrastruktur olahraga, dan kemajuan Papua justru dipakai untuk urusan pribadi dan politik.
Pertanggungjawaban dana? Nyaris nihil. Dari total dana hibah Rp2,58 triliun, hanya Rp559 miliar yang bisa direview penggunaannya oleh Inspektorat. Selebihnya gelap, tidak lengkap, dan tidak sesuai peruntukan. Banyak pejabat berdalih tidak tahu-menahu, atau justru menyalahkan satu sama lain, menciptakan lingkaran setan impunitas.
Ironisnya, skandal ini terjadi di tanah yang sudah lama memendam ketimpangan dan kemiskinan struktural. Dana yang bisa memperbaiki jalan, rumah sakit, dan pendidikan anak Papua, justru dicuri oleh mereka yang seharusnya mengabdi. PON XX Papua bukan hanya tragedi korupsi, tetapi simbol dari pengkhianatan terhadap harapan rakyat Papua.
PON telah usai, tetapi korupsi belum berhenti. Harus ada desakan politik dan hukum untuk tidak hanya menghukum “empat terdakwa utama”, tapi membongkar keseluruhan jaringan korupsi ini hingga ke akar. Tanpa itu, kita sedang mewariskan normalisasi kejahatan dalam pesta rakyat.
Berikut beberapa catatan kritis dari Persidangan Kasus Korupsi Dana PON XX :
- Masalah Struktural: Dana Jumbo Tanpa Sistem Akuntabilitas yang Kuat
Pemerintah Provinsi Papua mengucurkan hibah sebesar Rp2,58 triliun kepada PB PON XX melalui skema Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Namun, mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban ternyata sangat longgar. Tidak ada laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang valid hingga akhir 2021, dan sebagian besar pejabat terlibat mengaku tidak tahu-menahu soal LPJ.
Ini menunjukkan lemahnya governance framework. Dalam situasi dana hibah sebesar itu, seharusnya ada kontrol ketat dari Inspektorat, BPK, hingga lembaga pengawas internal. Ketika sistem pengawasan tidak berjalan, maka korupsi tumbuh liar.
- Modus Operandi: Sistem Keuangan Bayangan dan Penyalahgunaan Struktur Bank
Salah satu modus paling mencolok adalah pembukaan rekening bank fiktif menggunakan data sopir dan satpam BNI tanpa sepengetahuan mereka. Melalui rekening ini, uang senilai Rp9 miliar ditransfer dan dikelola secara rahasia oleh pejabat PB PON, termasuk Roy Letlora.
Ini adalah bentuk money laundering dan misuse of banking system. Tindakan ini tidak mungkin terjadi tanpa kolusi antara pejabat PB PON dan pihak internal bank. Hal ini menandai adanya shadow financial system yang digunakan untuk menyamarkan jejak aliran dana.
- Penyalahgunaan Wewenang dan Pelanggaran Prosedural
Banyak kegiatan yang dibiayai tanpa masuk dalam DPA—dokumen anggaran resmi. Contohnya, proyek Festival Cahaya senilai Rp19,6 miliar dan Launching Theme Song Metro TV. Penandatanganan kontrak terjadi tanpa payung hukum anggaran, dan seringkali pembayaran dilakukan secara tunai berdasarkan perintah lisan dari atasan.
Ini menunjukkan abuse of discretion, di mana pejabat menggunakan jabatannya untuk mengarahkan dana tanpa mekanisme kontrol yang sah. Situasi ini menciptakan peluang untuk manipulasi, mark-up, dan penggelapan.
- Skema Transaksional dan Politik Patronase
Dana operasional Ketua Harian PB PON, Yunus Wonda, disebut-sebut mencapai Rp14 miliar, disalurkan langsung tanpa tanda terima resmi. Bahkan, dana Rp10 miliar disebut dibawa secara tunai ke Pantai Holtekamp tanpa bukti serah terima. Banyak dana mengalir ke pihak ketiga tanpa penjelasan (e.g. untuk klub basket, duka, rumah keluarga, organisasi keagamaan, dll).
Ini mencerminkan clientelism atau patronase politik di mana dana publik digunakan untuk merawat jejaring kekuasaan pribadi atau kelompok. Tujuannya bisa untuk memperkuat posisi politik, menjaga loyalitas, atau bahkan membeli pengaruh lokal.
- Tanggung Jawab Kolektif yang Terdilusi
Mayoritas saksi dan terdakwa mengelak dari tanggung jawab dengan saling menyalahkan atau berdalih tidak tahu-menahu soal aliran uang. Bendahara Umum PB PON, Theodorus Rumbiak, misalnya, disebut menerima dana ratusan juta, tetapi ia membantah keras. Bahkan agensi sponsorship mengembalikan fee Rp11,6 miliar ke kejaksaan karena sistemnya tidak transparan.
Ini adalah strategi klasik collective irresponsibility. Ketika tanggung jawab menyebar tanpa struktur kontrol vertikal yang tegas, maka semua bisa menghindar dari jeratan hukum dengan dalih ketidaktahuan atau hanya mengikuti perintah.
- Konteks Sosial dan Ironi Pembangunan
Ironisnya, skandal ini terjadi di Papua—daerah dengan tingkat kemiskinan dan stunting tinggi. Sementara elite sibuk membagi-bagikan dana miliaran, masyarakat masih bergulat dengan kebutuhan dasar. Dana yang bisa digunakan untuk sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur justru dipakai untuk “pemalangan stadion” atau “syukuran gereja” tanpa bukti.
Korupsi di konteks seperti ini tidak hanya merugikan negara secara fiskal, tetapi merupakan penghianatan terhadap keadilan sosial dan hak hidup rakyat Papua.
PON XX Papua Adalah Cermin Negara Gagal dalam Mengelola Dana Publik. Korupsi PON XX Papua bukan kasus individual, melainkan sistemik dan sistematis. Ini melibatkan Koordinasi lintas jabatan dan instansi, Manipulasi sistem perbankan, Pembiaran birokrasi, Pengabaian prinsip transparansi dan pengkhianatan terhadap masyarakat.
Skandal ini harus menjadi pelajaran penting bahwa dana besar tanpa akuntabilitas hanya melahirkan kemiskinan baru, bukan prestasi. (*)
(Penulis adalah Editor di Media Jubi Papua)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!