Oleh: John Agustinus*
Saya pernah melakukan perjalanan untuk melakukan penelitian melalui Pelabuhan Pomako, Kabupaten Mimika menuju Kampung Otakwa, Distrik Mimika Jauh, Provinsi Papua Tengah. Saya menggunakan perahu cepat menyusuri laut dan muara sungai. Sekitar tiga jam lamanya.
Sambil melayangkan mata ke samping laut, terbentang hutan bakau yang masih baik dan alami. Sesekali harus berhenti. Lalu berjalan pelan-pelan. Beberapa kali memutar agak jauh ke tengah lautan.
Wawancara penelitian dimulai dengan bertanya kepada nahkoda perahu cepat. Dia menjelaskan, dulu perjalanan dari Pelabuhan Pomako ke Otakwa dapat ditempuh dua jam.
Akan tetapi, kini perjalanan menjadi tiga jam, karena pendangkalan laut dan sungai akibat tailing atau pembuangan pasir sisa tambang dari PT Freeport Indonesia.
Saya melanjutkan wawancara bersama masyarakat. Dan diperoleh penjelasan bahwa Kampung Otakwa adalah sebuah desa tradisional, yang terletak di Distrik Manasari, Kabupaten Mimika.
Kampung ini memiliki latar belakang sejarah yang kaya dan menjadi rumah bagi masyarakat suku Kamoro–yang telah lama tinggal di wilayah ini.
Masyarakat Kampung Otakwa memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomi yang besar. Namun, para tokoh masyarakat menuturkan berbagai tantangan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dulu kampung mereka dikelilingi oleh hutan bakau yang sangat luas, yang dapat memberikan ketahanan pangan yang kuat. Karena menyediakan kepiting dan berbagai jenis ikan.
Sementara itu, lautan di sepanjang Kampung Otakwa menyediakan beberapa jenis ikan, seperti, bubara, tenggiri, cakalang dan goropa.
Beberapa nelayan menjelaskan bahwa dulu mereka dapat menangkap ikan-ikan tidak jauh. Berlayar sampai 3 mil ke laut saja bisa mendapatkan sekitar 1 ton ikan.
Namun, pendangkalan di sepanjang sungai dan laut, membuat nelayan-nelayan harus mencari ikan lebih jauh lagi. Mereka melaut sejauh 5–7 mil dari garis pantai.
Bagi nelayan-nelayan Kampung Otakwa, menggunakan perahu bermesin kecil tentu berisiko tinggi, jika melaut sejauh 5 mil. Keadaan ini mempengaruhi jumlah tangkapan ikan bagi masyarakat setempat.
Pendangkalan sungai dan laut juga berdampak terhadap arus lalu lintas air. Semakin jauh jarak tempuh, mengharuskan penyediaan jumlah BBM cukup banyak.
Kebutuhan-kebutuhan pengawet ikan seperti es batu dan garam pun menjadi terbatas. Jika ikan hasil tangkapan tidak segera dikirim ke Timika, maka terjadi pembusukan dan menyebabkan kerugian pada nelayan.
Hambatan-hambatan ini menyebabkan masyarakat juga terbatas mencari ikan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Kampung Otakwa adalah nelayan atau mencari ikan di laut.
Pendangkalan sungai dan laut mengakibatkan kurangnya produktivitas hasil ikan dan kesejahteraan masyarakat. Debit tailing atau pasir sisa tambang terus-menerus mengalir ke sungai dan laut, menyebabkan ikan-ikan semakin menjauh, dan semakin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan ikan.
Hasil kajian penelitian kemudian menjelaskan bahwa kehadiran PT Freeport dan Pemerintah, wajib memproteksi masyarakat Kampung Otakwa. Dengan upaya teknis yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pendangkalan laut dan sungai, dengan melakukan pengerukan dan normalisasi sungai.
Karena disinilah letak urgensi perhatian terhadap pendangkalan air sungai dan laut. Laut menjadi sumber pendapatan masyarakat, khususnya nelayan.
Namun, terjadinya pendangkalan berimbas pada produktivitas pangan dan daya jual yang tinggi.
Tailing adalah material dengan jumlah terbesar kedua, yang dihasilkan oleh kegiatan tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Pasir sisa tambang (sirsat) atau biasa disebut sebagai tailing adalah pasir sisa dari proses pengolahan batuan bijih di pabrik pengolahan.
Indonesia Corruption Watch dan giz (Pengantar Anti Korupsi untuk Masyarakat Adat P.10) menjelaskan semua bentuk pengingkaran atau pengabaian kewajiban negara, untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengakomodasi kepentingan modal daripada kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan, bisa kita pahami sebagai penyalahgunaan wewenang atau korupsi.
Pembiaran penumpukan tailing yang bersumber dari PT Freeport, jika tetap dilakukan dalam kurun waktu yang lama dan tidak ada pengawasan yang baik oleh pemerintah dan perusahaan, maka terjadinya pendangkalan sungai dan laut dapat mengganggu hasil tangkapan ikan bagi nelayan, dan produksi ikan akan berkurang, ketahanan pangan perolehan ikan melemah dan mengganggu kesejahteraan masyarakat.
Terjadinya pembiaran pendangkalan akibat debit tailing yang masif masuk ke sungai dan laut, dapat dikategorikan sebagai korupsi. Masyarakat bukan hanya kelompok paling rentan terhadap korupsi, melainkan juga merupakan korban korupsi ketika wilayah sumber penghidupan mereka terhambat. (*)
*Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Port Numbay Jayapura, Papua
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!