Jayapura, Jubi – Komnas Pengendalian Tembakau atau Komnas PT bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia atau Mafindo meluncurkan temuan disinformasi seputar produk tembakau di media sosial. Disinformasi ini bukan hanya terkait isu kesehatan, tetapi juga isu ekonomi dan sosial, yang dapat mempengaruhi kebijakan.
Menurut data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), Indonesia selalu berada di urutan lima besar skor tertinggi Indeks Gangguan Industri Tembakau atau Tobacco Industry Interference (TII) Index. Dari tahun ke tahun Indonesia mendapatkan TII Index yang terus meningkat, yaitu 75 (2019), 82 (2020), dan 83 (2021).
Semakin tinggi skornya, maka semakin tinggi pula tingkat campur tangan industri tembakau secara keseluruhan. Ini merupakan pertanda buruk masih lemahnya upaya pemerintah dalam meredam dan melawan campur tangan industri tembakau.
Hal tersebut mempersulit upaya mendorong kebijakan karena tingginya intervensi industri hasil tembakau. Salah satu bentuk intervensi industri tembakau yakni disinformasi yang massif untuk mempengaruhi cara pandang masyarakat maupun Pemerintah.
Pada Februari sampai April 2024, Komnas PT dan Mafindo menganalisis bank data disinformasi yang beredar dan mengumpulkan disinformasi terkait produk tembakau dan industrinya yang tersebar di media sosial. Terkumpul 100 narasi disinformasi yang kemudian dianalisis untuk diketahui kelompok isu dan asalnya, yang kemudian dilakukan proses debunking untuk mengungkap fakta sebenarnya.
Proses ini sebagai bagian dari pembuktian adanya upaya industri dan afiliasinya yang secara aktif memproduksi dan mendorong beredarnya disinformasi maupun misinformasi tentang produk tembakau. Hal ini diduga dilakukan untuk menutupi fakta, yang berpotensi dapat mempengaruhi opini publik dan pengambil kebijakan.
Hasil dari bank data disinformasi yang dikumpulkan oleh Komnas PT dan Mafindo ini menunjukan, disinformasi yang tersebar sebagian besar di bidang kesehatan (61%), ekonomi (20%), dan hukum (4%) yang umumnya terkait regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia.
Ditemukan juga disinformasi bidang pertanian sebesar 2%. Dalam paparannya, Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial UI, Risky Kusuma Hartono, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Rabu (12/6/2024), menyebutkan, narasi disinformasi lebih banyak ditemukan pada media sosial dibandingkan secara langsung.
“Akun sosmed yang menyuarakan disinformasi dapat berasal dari perseorangan (yang mungkin bisa jadi mereka korban ketidak-tahuan) dan akun-akun yang terafiliasi dengan industri tembakau,” kata Risky.
Anggota Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau, Tari Menayang, dalam pembukaan kegiatan diseminasi ini menyebutkan, sayang sekali bahwa selama ini masyarakat Indonesia terus disuguhi dengan berbagai informasi salah atau hoaks terkait produk zat adiktif tembakau.
“Narasi-narasi yang kemudian tersebar luas di media sosial ini harus diluruskan karena berdampak pada pandangan masyarakat terhadap produk zat adiktif dan industrinya, dan bahkan berpotensi menggiring opini para pejabat yang kemudian ragu-ragu membuat kebijakan pengaturannya,” ujar Tari.
Selama ini, masyarakat Indonesia dibohongi dengan rentetan narasi tentang industri tembakau sebagai pengusaha yang dermawan yang selama bertahun-tahun menopang ekonomi rakyat, berkontribusi luar biasa ke pembangunan lewat cukai dan pajak, banyak menyumbang kegiatan sosial, bahkan menjadi penjaga budaya Indonesia. Cara efektif untuk mengalahkan narasi-narasi yang menyesatkan adalah dengan melambungkan narasi tandingan berdasarkan fakta dan data.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Presidium Mafindo Syifaul Arifin mengungkapkan, disinformasi tembakau begitu memikat karena menggunakan tampilan visual dan teks, menyentuh emosi, memanipulasi bukti, dan memanfaatkan ketidaktahuan audiens. Para pendukung rokok termasuk industri rokok memanfaatkan ketidaktahuan itu. Ketidaktahuan masyarakat soal bahaya rokok tak hanya karena tak adanya pengetahuan, tetapi dikonstruksi sengaja oleh kekuatan besar itu.
“Jadi ini namanya disinformasi, ada motif sengaja, memanfaatkan ketidaktahuan dan keraguan di masyarakat,” ujar dia.
Melawan disinformasi tembakau ini dilakukan dengan dua cara, debunking, yaitu mengkonter hoaks dengan argumen dan data. Selain debunking, kita mengedukasi masyarakat dengan konten prebunking. Konten prebunking akan menguatkan kritisisme dan skeptisisme masyarakat sehingga tidak mudah percaya jika menerima hoaks.
Koordinator Literasi Digital untuk Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Rizky Ameliah menyatakan, belum banyak yang memahami perbedaan misinformasi dan disinformasi, belum lagi jika masuk ke isu tembakau. Industri tembakau menggunakan strategi doubt is our product untuk menimbulkan keraguan terhadap penelitian.
“Dalam temuan kami, 10% dari tweet terkait tembakau mengandung klaim yang tidak akurat. Kebanyakan soal kesehatan, dan kami koordinasikan ke Kemenkes,” kata Rizky.
Ketua Tim Kerja Penggerakan dan Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Theresia Rhabina Noviandari Purba mengatakan, Kemenkes berkomitmen melakukan transformasi sistem kesehatan Indonesia. Disinformasi kesehatan marak, tidak hanya isu tembakau saja tetapi isu lainnya juga. Masyarakat banyak disodorkan informasi yang banyak di antaranya adalah disinformasi.
“Promkes mengatasinya dengan melakukan edukasi misalnya dengan kanal digital ayosehat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Mouhamad Bigwanto dalam tanggapannya mengomentari pentingnya mengekspos aktor yang memproduksi disinformasi.
“Siapa, bagaimana, dan apa tujuan para penyebar disinformasi tersebut membuat disinformasi menjadi informasi yang (tampak) benar dan mudah diterima di masyarakat. Karena itu, aksi kita tidak hanya terbatas mencari tahu disinformasi di sosial media saja, tetapi melakukan debunking terhadap komunikatornya,” jelasnya.
Komnas Pengendalian Tembakau bersama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia memberikan masukan kepada Pemerintah, agar meluruskan kembali misinformasi yang beredar di masyarakat, khususnya di media sosial yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, meliputi:
- Kementerian Kesehatan dapat mengoreksi dan memanfaatkan kembali hasil cek fakta disinformasi bidang kesehatan dari bank data ini untuk diunggah dalam laman website dan media sosial Kementerian Kesehatan.
- Promkes Kemenkes memperbanyak melakukan narasi counter disinformasi industri tembakau dengan memanfaatkan bank data ini.
- Kemenkominfo memanfaatkan bank data disinformasi ini untuk memperbanyak informasi counter hoaks di media daring.
- Kemenkominfo melakukan tindakan tegas (takedown) terhadap sumber penyebar disinformasi industri tembakau.
- Terdapat kerjasama antara Kementerian, jurnalis, akademisi, dan organisasi masyarakat dalam melakukan prebungking dan debungking isu seputar disinformasi tembakau di Indonesia.
- RUKI dapat memasukkan disinformasi industri tembakau sebagai salah satu poin indikator code of conduct intervensi industri
- Komnas Pengendalian Tembakau tetap mengembangkan bank data disinformasi berintegritas dengan organisasi masyarakat lain. (*)
Discussion about this post