Jayapura, Jubi – Status Bandara Frans Kaisiepo di Biak, Provinsi Papua, yang sebelumnya merupakan bandara internasional kini telah diturunkan menjadi bandara domestik biasa. Bandara peninggalan era Perang Dunia II itu kini sepi dari aktivitas penerbangan dan nyaris terlupakan di tengah gemuruh Samudra Pasifik.
Namun, perhatian kembali tertuju ke Biak setelah Rusia dilaporkan mengincar Lapangan Udara Manuhua, juga peninggalan Jepang pada 1942, untuk dijadikan pangkalan militer di kawasan Pasifik. Padahal, dibandingkan Manuhua, Bandara Frans Kaisiepo memiliki landasan pacu yang lebih panjang, yakni 4 kilometer. Tak heran, bandara ini pernah didarati pesawat tempur dan pesawat angkut raksasa milik Rusia.
Di balik keraguan itu, kenyataannya pesawat Rusia pernah singgah di Biak pada 5 Desember 2017, yang mengejutkan warga setempat. Media Rusia, Rambler, menyebut kunjungan itu memiliki dua makna: pertama, kehadiran Tu-95MS—pesawat pembawa senjata nuklir—menunjukkan kepercayaan tinggi militer Rusia terhadap Indonesia; kedua, sebagai uji kemampuan teknis pendaratan di wilayah dengan kondisi geografis menantang seperti Pasifik.
Sebelum mendarat, pesawat Tu-95MS melakukan pengisian bahan bakar di udara di atas Samudra Pasifik, dengan konsumsi sekitar 20 ton. Penerbangan dari Vladivostok ke Biak menempuh jarak sekitar 7.000 kilometer.
Meski Kementerian Pertahanan RI membantah adanya rencana pangkalan militer Rusia, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Sergei Gennadievich Tolchenov, menegaskan bahwa kerja sama Rusia di Biak murni berkaitan dengan eksplorasi antariksa.
“Kami sudah berbicara soal pembangunan landasan peluncuran antariksa. Jika Indonesia tertarik, kami siap menyediakan teknologinya,” kata Tolchenov dalam jumpa pers di kediamannya di Jakarta Selatan, Senin (28/4/2025), seperti dikutip kumparan.com (3/5/2025).
Ia menegaskan kerja sama itu semata-mata untuk eksplorasi damai ruang angkasa, bukan untuk kepentingan militer.
Rencana pembangunan Bandar Antariksa Biak sebenarnya sudah ada sejak 1980-an. Posisi geografis Biak, yang dekat dengan garis katulistiwa, membuatnya ideal untuk peluncuran satelit. Dalam artikel Kompas (19 Desember 2005), Moch. S. Hendrowijono menulis bahwa Biak berpotensi meraup keuntungan miliaran rupiah dari bisnis antariksa.
Letak Bandara Frans Kaisiepo di 01°11’31’’ LS dan 136°06’36’’ BT, dekat Samudra Pasifik dan wilayah berpenduduk jarang, menjadikannya lokasi strategis. Pada era Orde Baru, proyek pembangunan fasilitas peluncuran satelit sempat ditawarkan kepada E-Prime Aerospace dari AS. Sementara di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Air Launch Aerospace Corporation dari Rusia juga tertarik membangun fasilitas peluncuran satelit berbasis udara dari pesawat Antonov An-124.
Pada 8 September 2007, CEO Air Launch, Anatoly Karpov, mengunjungi Bandara Frans Kaisiepo. Sementara di era Presiden Joko Widodo, rencana pembangunan bandar peluncuran di Kampung Saukobye, Biak, kembali dibahas. Jokowi bahkan sempat bertemu Elon Musk pada 15 Mei 2022 membicarakan kerja sama teknologi dan peluncuran satelit dari Biak.
Pulau Manus di Papua Nugini
Rencana Rusia membangun pangkalan militer di Biak mendapat respons negatif dari Australia. Dubes Rusia Sergei Tolchenov menilai kekhawatiran Australia berlebihan dan dipengaruhi dinamika politik dalam negeri menjelang pemilu.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Australia justru mulai memperkuat kehadiran mereka di Pulau Manus, provinsi terkecil di Papua Nugini (PNG), sebagai bagian dari kerja sama maritim bersama PNG Defence Force.

Pulau Manus sendiri pernah menjadi pangkalan militer Sekutu saat Perang Dunia II pada 1944, dalam strategi “loncat katak” Jenderal Douglas MacArthur. Saat itu, Papua dimasukkan dalam jalur serangan Sekutu untuk merebut kembali Filipina dan akhirnya Jepang.
Serangan besar terhadap basis Jepang di Pulau Manus dimulai dengan pendaratan pasukan Sekutu di Pulau Los Negros, 28 Februari 1944. Unit teknik Angkatan Laut AS, Seabees, membangun lapangan udara dan fasilitas logistik yang menjadi bagian dari Pangkalan Pulau Admiralty, pendukung Armada Ketujuh AS dan Komando Pasifik Barat Daya.
Kini, AS kembali menggarap Pulau Manus. Dua proyek infrastruktur diluncurkan di Pangkalan Angkatan Laut Lombrum, yaitu pembangunan Small Boat and Bosun Facility (SBBF) dan Regional Maritime Training Center (RMTC), dengan nilai investasi 16 juta dolar AS atau sekitar 61 juta kina. Proyek ini ditargetkan selesai pada April 2026.
Menurut The Guardian (1 November 2018), mantan PM Australia Scott Morrison dan PM PNG saat itu, Peter O’Neill, pernah menandatangani kesepakatan pendirian pangkalan bersama di Pulau Manus sebagai upaya Australia menandingi pengaruh China di Pasifik.
Laporan The Jakarta Post (15 Juni 2023) menyebutkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan PNG Win Bakri Daki telah menandatangani pakta keamanan yang memungkinkan militer AS beroperasi dari pangkalan di PNG.
Akses ke Lombrum dapat mendukung fasilitas AS di Guam dan menjadi strategis jika terjadi konflik di kawasan seperti Taiwan.
Menanggapi semua perkembangan ini, Dr. Siagian dari UNS menilai kawasan Pasifik akan menjadi medan persaingan pengaruh antara kekuatan besar dunia seperti Rusia, China, dan Amerika Serikat, bersama sekutu mereka Australia dan Selandia Baru. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!