Jayapura, Jubi – Delapan tahun lalu, tepatnya pada 5 Desember 2017, saya bersama rombongan dari Perwakilan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Papua mendarat di Biak dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10 Desember.
Namun, kedatangan kami di Bandara Internasional Frans Kaisiepo disambut suasana yang tidak biasa. Ribuan warga Biak memadati bandara. Mereka datang untuk menyaksikan langsung kedatangan pesawat pengebom strategis milik Angkatan Udara Rusia.
“Warga Biak berbondong-bondong ke lapangan udara demi melihat langsung pesawat pengebom strategis Tu-95MS yang mendarat di Pulau Biak pada Selasa, 5 Desember 2017,” tulis situs berita Rusia, Perviy Kanal.
Media itu juga menggambarkan suasana bandara saat pesawat mendarat. Gemuruh suara mesin “Beruang”—julukan Tu-95MS—disebut seperti raungan yang menggema di landasan Bandara Frans Kaisiepo.
“Ada banyak pesawat yang mendarat di sini, tapi yang satu ini adalah yang terbesar yang pernah saya lihat. Menyambut pesawat ini adalah pengalaman luar biasa bagi kami,” kata Adrianus Wakum, salah satu petugas keamanan bandara, kepada Perviy Kanal.
Komandan kru pesawat pun mengungkapkan kegembiraannya setelah berhasil mendarat di Biak. Ia menyebut penerbangan selama hampir sepuluh jam itu berjalan lancar.
Seluruh kru pesawat disambut dengan tarian selamat datang oleh warga Biak. Mereka menari tanpa alas kaki di atas aspal panas, tubuh mereka dicat warna-warni, menciptakan suasana yang meriah dan khas Indonesia.
“Warga lainnya pun tak mau kalah. Mereka menyerbu kru pesawat untuk berfoto dan berjabat tangan, seperti bertemu bintang musik rock,” lanjut laporan Perviy Kanal.
Sebagai bentuk penyambutan, beberapa perempuan mengalungkan bunga kepada komandan pesawat. Namun, sang pilot terlihat kepanasan di bawah sengatan matahari Biak yang mencapai 30°C. Wajahnya penuh peluh, kontras dengan suhu -30°C yang mereka tinggalkan di wilayah Amur saat lepas landas.
Pesawat-pesawat Rusia itu terbang dari Vladivostok, melintasi Samudra Pasifik, menyeberangi khatulistiwa, dan mendarat di Biak—sebuah pulau kecil di utara pesisir Papua.
“Misi damai ini dijalankan dalam kondisi cuaca yang cukup menantang. Namun, seluruh kru bekerja dengan luar biasa. Kami berhasil mengatasi hambatan dan mendarat mulus. Ini bukan pertama kalinya kami menjalani misi seperti ini,” ujar Komandan Resimen Penerbangan Pelatihan, Vadim Kulkov.
Melatih Kemampuan Pilot
Kedatangan dua pesawat pengebom jarak jauh Tu-95MS ini merupakan bagian dari kunjungan internasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pesawat-pesawat tersebut melintasi Samudra Pasifik menuju negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di garis khatulistiwa.
Menurut laporan media Rusia, Rambler, kunjungan ini memiliki dua makna penting. Pertama, karena Tu-95MS merupakan pengangkut senjata nuklir, kehadirannya mencerminkan tingkat kepercayaan militer Rusia yang tinggi terhadap Indonesia. Kedua, misi ini bertujuan untuk mengasah kemampuan teknis pendaratan di wilayah-wilayah yang memiliki kondisi geografis menantang, seperti di kawasan Pasifik.
Sebelum mendarat di Biak, pesawat Tu-95MS sempat melakukan pengisian bahan bakar di udara di atas Samudra Pasifik, dengan konsumsi masing-masing sekitar 20 ton bahan bakar. Jarak yang ditempuh dari pangkalan di Vladivostok ke Biak sekitar 7.000 kilometer.
Selain dua pesawat pengebom, turut serta dalam misi ini dua pesawat angkut militer Il-76MD dari Pasukan Kedirgantaraan Rusia. Mereka membawa personel militer, teknisi, ahli cuaca, dan tim medis. Bagi para awak, ini adalah pengalaman penerbangan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
“Kunjungan ini juga bertujuan untuk menguji kemampuan pilot dalam menerbangkan pesawat jarak jauh, melintasi Samudra Pasifik, serta melakukan operasi di belahan bumi selatan. Artinya, kru harus melintasi khatulistiwa dan terbang menuju wilayah ekuator selatan,” jelas Inspektur Navigator Senior Komando Penerbangan Jarak Jauh, Grigory Pavlyukovets.
Tu-95MS dikenal sebagai pesawat baling-baling tercepat di dunia dan satu-satunya pesawat pengebom bermesin turboprop. Umur operasionalnya yang panjang hanya dapat disaingi oleh Boeing B-52 milik Amerika Serikat.
Sementara itu, Il-76 adalah pesawat angkut strategis multifungsi yang memainkan peran penting dalam sejarah penerbangan Rusia. Pesawat ini pertama kali mengudara pada tahun 1971 dan masih aktif digunakan hingga kini. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!