Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar mengatakan penangkapan dua mantan anggota TNI Kodam XVII/Kasuari, Yuni Enumbi dan Eko Sugiyono, menunjukkan adanya dugaan perdagangan senjata api dan amunisi yang berulang terjadi di Tanah Papua memakai jaringan TNI.
“Aparat penegak hukum harus serius mengungkap aktor penyedia senjata api, amunisi, dan sumber dananya,” kata Anum kepada Jubi, Rabu (12/3/2025).
Apabila mantan anggota TNI terlibat, kata Anum, maka jaringan terdekatnya dari lingkaran TNI juga. Berdasarkan laporan AlDP dari hasil investigasi terhadap berbagai kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal pada periode 2011 hingga 2021, dari 51 orang yang dipidana karena memperdagangkan senjata api dan amunisi di Papua terdapat 14 tentara.
“Jadi yang pertama harus dicek adalah jaringan TNI, karena dari beberapa kasus sebelumnya, apabila mantan TNI maka jaringana terdekatnya dari lingkaran TNI juga. Jadi patut diduga bahwa transaksi melibatkan anggota TNI lainnya, termasuk apakah ini transaksi pertama kali atau kesekian kali,” ujarnya.
Pada 6 Maret 2025, Satgas Damai Cartenz Papua dan tim Opsnal Kepolisian Daerah Papua menangkap Yuni Enumbi alias Yuni Masok di KM 76 Distrik Waris, Kabupaten Keerom. Dari Yuni Enumbi polisi menyita 2 senjata api laras panjang, 4 pucuk pistol G2 Pindad, 632 butir amunisi kaliber 5,56 mm, 250 butir amunisi kaliber 9 mm, dan 1 pucuk senapan angin, serta bukti lainnya. Polisi juga menyita uang sebesar Rp369,9 juta. Senjata-senjata itu dibeli dengan harga Rp1,3 miliar.
Dari pengembangan kasus Yuni Enumbi, pada 8 dan 9 Maret 2025, Satgas Damai Cartenz kembali menangkap 6 orang yang diduga terlibat dalam perdagangan senjata api dan amunisi. Di antara yang ditangkap adalah mantan anggota TNI Kodam XVII/Kasuari, Eko Sugiyono (Papua Barat). Polisi juga menangkap Teguh Wiyono, Moch Herianto, Muhammad Kamaludin, Pujiono (Jawa Timur), dan Adi Pamungkas (Yogyakarta).
Dari keenam orang itu, polisi menyita 5 senjata api rakitan, 2 senjata api laras pendek, dan 4 senjata api. Polisi juga menyita amunisi berbagai kaliber sebanyak 2.391 butir.
Dilihat dari cara mengemas dan menyimpan barang bukti, kata Anum, nampaknya ada di antara jaringan tersebut yang sudah mempunyai pengalaman bertransaksi. Yuni Enumbi menyelundupkan senjata api dan amunisi dalam kompresor yang dikirim dengan kapal laut melalui ekspedisi dari Surabaya.
“Barang bukti dikemas dalam tabung untuk menghindari kecurigaan orang lain,” ujarnya.
Anum mengatakan keseluruhan barang bukti itu produk dalam negeri.
“Dari situ nanti bisa terlihat apakah itu jaringan antar pulau saja atau hingga antar provinsi. Kuat dugaan, ini jaringan dalam negeri. Jika aparat penegak hukum mau serius maka dapat diungkapkan hingga sumber/pemilik senjata api, amunisi hingga sumber uang,” katanya.
Selain itu, kata Anum, institusi yang menggunakan senjata sejenis barang bukti tersebut harus dapat mengecek juga ke jajaran di bawahnya. Anum menyarankan agar pengungkapan kasus ini tidak hanya bergantung pada penegak hukum, tetapi juga institusi yang menggunakannya.

“Hal lain yang perlu dicek adalah sumber uang. Dengan jumlah transaksi sebanyak itu tentu saja pembelinya punya modal yang kuat, setidaknya ada pemodal besar di belakang transaksi tersebut,” ujarnya.
Sederet kasus melibatkan aparat
Direktur PAHAM Papua Gustaf Kawer mengatakan bukan hal baru keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam kasus perdagangan senjata api dan amunisi di Tanah Papua. Pendampingan yang dilakukan PAHAM Papua sejak 2015, kata Kawer, sebagian besar amunisi dengan senjata justru dari TNI dan Polisi.
“Itu ada indikasi keterlibatan tentara dan polisi. Kita tidak terlalu kaget dengan peristiwa ini, karena peristiwa ini kejadian yang berulang. Sebagai praktisi dan juga orang yang terlibat dalam penanganan kasus-kasus peredaran amunisi di seluruh Papua, kita tidak heran karena itu praktik yang berulang,” ujarnya.
Kawer mencontohkan, pada kasus yang menjerat Royes Wenda, serta Alberto Jikwa dan Freddy Kogoya yang didakwa Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api dan amunisi. Mereka ditangkap saat melakukan transaksi jual beli amunisi 800 butir dengan anggota TNI pada 2015.
“Itu mereka terlibat transaksi dengan satu anggota TNI dari Kodam XVII/Cenderawasih atas nama Supriyadi,” katanya.
Kasus lain yang ditangani PAHAM Papua adalah yang menimpa Titus Kwalik, Polce Tsugumol, dan Julianus Deime pada 2018. Dari pengakuan Titus Kwalik amunisi sebanyak 160 butir didapat dari salah seorang pensiunan TNI yang bernama Yehuda.
Selain itu, kata Kawer, dalam kasus Isai Wilil dan Aleks Wayage yang ditangkap 26 Agustus 2018 pukul 19.30 WIT di Kampung Hohik, Distrik Elelim, Kabupaten Yalimo, berkaitan dengan kepemilikan 139 butir amunisi, menurut pengakuan Isai Wilil, dia membeli amunisi dari anggota polisi atas nama Max.
Juga ada kasus Ruben Wakla yang didakwa atas kepemilikan senjata api dan amunisi. Ia divonis 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Timika. Ruben Wakla ditangkap pada 10 September 2018 pukul 10.06 WP di Bandara Udara Moses Kilangin Timika, karena membawa 155 butir amunisi.
“Kata Kawer saksi dari kepolisian atas nama Ahmad Dahlan dan saksi atas nama Arnolis Korowa menerangkan amunisi tersebut milik salah satu anggota TNI dari Kodim Mimika, namun TNI pemasok amunisi tidak diproses hukum,” ujarnya.

Kasus lainnya adalah Pdt Paniel Kogoya yang ditangkap saat mengikuti Kegiatan Gereja Kingmi Indonesia pada 19 April 2021. Ia ditangkap berkaitan dengan pasokan amunisi kepada kelompok TPNPB di Nduga, Intan Jaya dari 2017 hingga 2020. Jaringan yang memasok amunisi melibatkan anggota Brimob dari Kelapa Dua, Jakarta.
“Paniel Kogoya setelah diamankan mengakui telah membeli 4 pucuk senjata yang telah diberikan kepada KKB Nduga dan Intan Jaya. Anggota Brimob itu diproses atas nama Fuad Ari Setyadi dan Didy Candra, cuma atasannya tidak diproses,” kata Kawer.
Lemahnya penegakan hukum
Menurut Direktur AlDP Latifah Anum Siregar jaringan perdagangan senjata api dan amunisi ilegal di Tanah Papua sangat kuat. Banyak perkara perdagangan senjata api atau amunisi ilegal yang telah diputus pengadilan, namun para pemasok besar dan penyandang dana dalam perdagangan ilegal itu tidak tersentuh proses hukum.
“Bukan pada jaringannya, apalagi tidak semua nama-nama yang disebutkan oleh pelaku kemudian diselidiki oleh aparat penegak hukum sehingga jaringan bawah tanahnya tidak terungkap,” ujarnya.
Anum mengeritik proses penegakan hukum yang selama ini lemah. Aparat penegak hukum hanya bersandar pada proses hukum yang fokus pada pelaku semata.
“Maka jaringan ini dengan mudah mencari perantara baru untuk kembali bertransaksi,” katanya.
Laporan hasil investigasi terhadap berbagai kasus perdagangan senjata api dan amunisi ilegal pada periode 2011 hingga 2021 yang dirilis Aliansi Demokrasi untuk Papua menyebutkan ada 51 orang yang dipidana karena memperdagangkan senjata api dan amunisi di Papua. Mereka terdiri dari 14 tentara, 6 polisi, 4 anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB, 3 aktivis Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, dan sisanya 24 warga sipil.

Menurut Direktur PAHAM Papua Gustaf Kawer dalam proses hukum, baik di polisi maupun jaksa sampai pengadilan, tidak pernah diselesaikan tuntas persoalan peredaran amunisi dan senjata api tersebut. Menurutnya aparat penegak hukum hanya fokus memproses pelaku lapangan.
“Jangan itu aparat disibukan dengan setiap saat tinggal memunculkan pelaku dari institusi ini, tapi bongkar dan tangkap sampai ke akar-akarnya. Kalau ada di level institusi yang komandannya bertanggung jawab, diproses semuanya, supaya ke depan tidak ada lagi perdagangan senjata dan amunisi seperti begini,” katanya.
Kawer mengatakan jika hanya difokuskan pada pelaku lapangan maka perdagangan senjata api dan amunisi akan terus berulang di Tanah Papua.
“Siapa yang bermain melindungi, yang sumbernya, atau yang mendistribusikannya? Ini yang harus dikasih putus supaya peristiwa ini jangan berulang,” katanya.
Pengawasan senjata api Pindad lemah
Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua Frits Ramandey mengatakan pengawasan terhadap senjata api maupun amunisi yang diproduksi PT Pindad masih lemah. Hal itu dibuktikan dengan barang bukti 4 pucuk pistol G2 Pindad yang disita dari hasil penangkapan Yuni Enumbi oleh Satgas Damai Cartenz.
“Ini menunjukkan bahwa pengawasan di Pindad itu sangat lemah, sehingga produksi Pindad itu masih bisa keluar diperjualbelikan dengan bebas,” katanya kepada Jubi, Selasa (11/03/2025).
Ramandey mengatakan yang terpenting adalah Kementerian Pertahanan harus menelusuri sistem pengamanan, pengawasan, produksi, hingga penggunaan senjata api dan amunisi di Pindad.

“Supaya bisa mengetahui siapa yang menyediakan senjata bagi Yuni Enumbi tersebut,” ujarnya.
Menurutnya Kementerian Pertahanan harus bisa mengawasi bagaimana proses produksi sampai penggunaan senjata api dan amunisi tersebut.
“Penelusuran terhadap siapa yang bisa memasok senjata itu yang paling penting, bukan siapa yang kasih uang. Karena hari ini dalam konteks Papua atau dalam konteks bisnis, uang itu sesuatu yang biasa,” ujarnya.
Ramandey mengatakan bisnis jual-beli senjata dan peluru adalah bisnis yang mengancam keselamatan manusia dan berpotensi terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pemantauan Komnas HAM selama Januari hingga Desember 2024 terjadi 85 kasus berdimensi konflik bersenjata dan kekerasan di Tanah Papua. Berbagai konflik bersenjata itu menyebabkan 32 warga sipil meninggal dunia dan 17 lainnya luka-luka.
Konflik bersenjata itu juga menyebabkan 8 anggota TNI meninggal dan 10 luka-luka, 7 anggota Polri meninggal dunia dan 5 luka-luka. Juga 14 anggota TPNPB meninggal dunia dan 7 lainnya luka-luka.
Berkat kerja keras
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Irjen Patrige Rudolf Renwarin mengatakan berkat kerja keras tim penyelidik dan aparat penegak hukum, berhasil menangkap 7 orang yang menyelundupkan berbagai jenis senjata api dan amunisi yang rencananya akan disuplai kepada kelompok TPNPB di Puncak Jaya, Papua Tengah.
Operasi penegakan hukum yang dilakukan 6-9 Maret 2025 merupakan hasil kerja sama Satgas Ops Damai Cartenz bersama Polda Papua, Polda Papua Barat, Polda Jatim, dan Polda DIY.

“[Kerja sama] yang didasari komitmen yang sangat kuat dalam memberantas penyelundupan senjata api yang dapat mengganggu stabilitas keamanan di Papua,” kata Patrige dalam keterangan tertulis yang diterima Jubi yang dikirim Kasatgas Humas Damai Cartenz Kombes Polisi Yusuf Sutejo, Selasa (11/3/2025) malam.
Patrige mengatakan pihaknya masih menyelidiki aktor dan dari mana sumber dana belakang pembelian senjata api beserta amunisi. Tim Damai Cartenz sudah disebar guna mengetahui asal senjata, buatan siapa, dan lainnya.
“Asal dana masih diselidiki, tetapi sebagai mantan prajurit TNI dia pasti jaga mati rahasia itu. Makanya kami akan tanyakan pelan-pelan. Yang jelas sampai hari ini pelaku belum mengaku,” ujarnya.
Frits Ramandey mengatakan aparat penegakan hukum harus mengungkap kasus tersebut hingga ke aktor pengadaan senjata api dan amunisi.
“Aktornya siapa? Yang sampai senjata bisa keluar itu kan aktor. Dia tidak mungkin bekerja sendiri, karena ada jaringan nasional dan ada jaringan lokal. Ini perlu ditelusuri secara baik supaya diungkap sebagai upaya untuk mitigasi konflik,” katanya,
Yang ditangkap itu, kata Ramandey, adalah operator atau yang bekerja langsung di lapangan. Sedangkan aktornya adalah yang menjual, tahu jaringan jual senjata, dan yang bisa mengalokasikan anggaran.
“Aktor itu yang perlu ditangkap, karena kalau operatornya ditangkap, aktornya berkeliaran, aktor itu akan bisa mencari operator baru lagi. Operator baru lagi dilatih dan seterusnya. Jadi yang terpenting itu aktornya, bukan operatornya,” ujarnya.
Meski begitu, Ramandey mengapresiasi Satgas Damai Cartenz yang bekerja mengungkap perdagangan senjata api dan amunisi di Tanah Papua.
“Kita beri apresiasi kepada Satgas Damai Cartenz yang bekerja secara profesional dan pengungkapannya pun juga menghormati dan berpedoman pada prinsip-prinsip kemanusiaan,” katanya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!