Jayapura, Jubi – Front Rakyat West Papua (FRWP) menggelar diskusi dan pemutaran film tentang peran militer Indonesia dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua.
Dalam kegiatan yang berlangsung pada Senin (10/3/2025) di Asrama Tambrauw, Jalan Kamwolker Perumnas III, Heram, Kota Jayapura, Papua, FRWP menilai bahwa harapan masyarakat Papua terhadap sumber daya alam (SDA) dan hutan lindung semakin menipis akibat kebijakan PSN yang melibatkan aparat militer.
Diskusi ini membahas kebijakan pemerintah pusat terkait PSN di Papua, termasuk di Papua Selatan dan Ibu Kota Merauke, yang disebut melibatkan militer secara terstruktur dalam pengelolaan proyek-proyek tersebut.
Salah seorang peserta diskusi, Ronal Randongkir, mengapresiasi inisiatif FRWP dalam mengangkat isu ini.
Menurutnya, masyarakat Papua masih membutuhkan kepastian mengenai hak-hak mereka, dan diskusi semacam ini penting untuk menyampaikan aspirasi kepada berbagai komunitas, mahasiswa, dan aktivis.
“Hari ini, pemuda melalui FRWP bersatu untuk menyoroti program pemerintah pusat di daerah. Kita melihat bagaimana eksploitasi lahan seluas dua juta hektare di Papua Selatan melibatkan aparat militer Indonesia. Ini bukan hal baru, di semua kampung ada program ketahanan pangan yang diambil alih oleh TNI-Polri,” ujarnya.
Randongkir menambahkan bahwa proyek PSN di Papua Selatan telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat dalam sektor pertanian dan SDA.
Ia menilai bahwa pengelolaan ekonomi lokal sebenarnya sudah dipahami oleh masyarakat Papua, namun negara tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola hak-hak atas tanah dan sumber daya mereka sendiri.
“Ini menjadi ancaman besar bagi ekonomi masyarakat, daya beli mereka, serta kelangsungan hutan lindung. PSN justru digunakan untuk menghabiskan SDA di Merauke, dengan militer sebagai benteng eksploitasi tanah Papua,” katanya.
Menurutnya, orang asli Papua (OAP) semakin kehilangan harapan untuk lima tahun ke depan jika tetap bersama Indonesia. Ia menuding pelibatan militer dalam proyek-proyek pemerintah pusat sebagai bentuk penjajahan yang masih berlangsung.
“Harapan orang Papua sudah terlalu tipis. Kolonialisme ini tidak peduli dengan hak masyarakat, tetapi hanya pada eksploitasi SDA. Diskusi ini membuka kesadaran kita akan kenyataan tersebut,” ujarnya.

Solvin Eptis Meidodga, peserta lain dalam diskusi tersebut, menyebutkan bahwa PSN yang beroperasi di lima daerah Sorong, Sarmi, Keerom, Merauke, dan Papua Tengah berfokus pada perkebunan jagung dan tebu.
Ia menilai bahwa proyek-proyek ini secara tidak langsung menghabiskan sumber daya alam dan sistem mata pencaharian masyarakat adat.
“Proyek Strategis Nasional ini mencakup lima daerah, dengan fokus pada perkebunan tebu, jagung, dan padi. Namun, dampaknya sangat besar terhadap keberlangsungan mata pencaharian masyarakat adat. Beberapa tahun ke depan, orang Papua mungkin benar-benar tidak punya harapan,” ujarnya.
Mahasiswa Universitas Cenderawasih ini juga menyoroti peran aparat militer dalam perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua. Menurutnya, kehadiran militer adalah strategi negara untuk menghadang perlawanan masyarakat adat yang menolak pengambilalihan tanah mereka. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!