Jayapura Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP, Latifa Anum Siregar mengibaratkan Markus Haluk menulis apa yang ada di halaman rumah. Sayangnya rumahnya tidak ada pagar, sehingga orang bisa masuk dan keluar sembarangan.
“Jadinya kita ini sudah nyaris mengalami disorientasi posisi. Mana lagi yang benar, kalau yang benar saja tidak bisa lagi diperjuangkan. Itulah kondisi halaman rumah di Papua yang digambarkan penulis dalam lima seri buku tersebut,” kata Anum Siregar.
Menurutnya, dari lima seri buku ini semuanya menceritakan persoalan di Tanah Papua, sehingga tak heran apabila buku lima seri ini memiliki ribuan halaman, sebab begitu banyak konflik yang ada di Tanah Papua. Mulai dari konflik perebutan sumber daya hingga konflik politik identitas.
*****************
Jubi.id adalah media yang berbasis di Tanah Papua. Media ini didirikan dengan sumberdana masyarakat melalui donasi dan crowd funding. Dukung kami melalui donasi anda agar kami bisa tetap melayani kepentingan publik.
*****************
Katanya, buku itu bukan menulis tentang kekecewaan dan tentang rasa putus asa. Namun mengajarkan dan mengajak semua pihak untuk tidak boleh berhenti berjuang karena orang Papua masih ada.
“Yang berikut bicara soal empat akar masalah di [Tanah] Papua, itu benar sekali apa yang dikatakan. Saya mengajak kita membawa konstruksi berpikir, supaya lebih dapat [memahami] persoalan di Papua. Jadi persoalan di [tanah] Papua yang ada di rak paling atas adalah persoalan sejarah integrasi,” ujarnya.
Sementara itu, akademisi Uncen, Dr. Bernarda Meteray mengatakan Markus Haluk menutup bukunya dengan sebuah doa dan harapan, agar keluarga besar Melanesia di Pasifik dan seluruh dunia mendengar dan merespons suara hati rakyat Papua.
“Sebenarnya, buku ini merupakan suara hati dari orang Papua, buku ini bukan sekedar kritik terhadap negara, tapi menandakan bahwa sejarah masa lalu cukup penting sekali,” kata Dr. Bernarda Meteray.
Menurutnya, tidak semua orang berani bicara tentang sejarah, padahal semua orang lahir dari sejarah. Tanpa masa lalu, tidak ada sejarah, sehingga buku lima seri ini merupakan wajah orang Papua.
“Mengapa ini penting karena buku ini berusaha membangun kembali kesadaran kolektif orang Papua yang bermasalah selama ini. Saya percaya, Haluk tidak menulis dengan kebencian, tapi dengan semangat perlawanan yang bermurah. Seperti hari ini kita duduk dengan baik sambil berdiskusi,” ujarnya.
Katanya, buku ini juga tidak meminta belas kasihan, tapi menuntut pengakuan dan keadilan. Baik sebagai akademisi, sebagai mahasiswa dan warga negara lain yang tentu memiliki tanggung jawab untuk membaca ulang sejarah Papua secara jujur.
“Kita perlu membuka hati dan pikiran untuk mendengar suara rakyat Papua,”katanya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!