Jayapura, Jubi – Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat atau UN Special Rapporteur On The Rights Of Indigenous Peoples, Albert Kwokwo Barume menegaskan bahwa hak-hak masyarakat adat dalam hukum internasional setara dengan hak suatu bangsa, dan masyarakat adat mempunyai hak sesuai hukum Internasional.
Hal ini menjadi atensi Albert Barume saat berkunjung di Jayapura, Provinsi Papua pada 4 hingga 5, Juli 2025. Di Tanah Tabi, salah satu wilayah adat atau budaya Orang Asli Papua (OAP) itu, Pelapor Khusus ini hadir untuk melihat dan mendengar langsung masukan dari para korban pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat, kerusakan hutan dan perampasan wilayah adat yang berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN).
Seperti Masyarakat Adat Suku Malind Anim di Kabupaten Merauke, Suku Awyu di Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, Suku Mairasi di Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat Suku Biak dari Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, perwakilan korban kekerasan dari Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan dan Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah.
Berbagai kesaksian disampaikan oleh para korban atas kejahatan negara terhadap eksploitasi sumber daya alam, penghilangan dan pengrusakan hutan, penghancuran tempat penting dan mata pencaharian tradisional, kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang terjadi dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini di Tanah Papua.
Bahwa kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui pendekatan militeristik dan melibatkan korporasi, telah membawa kesengsaraan bagi Masyarakat Adat di Papua yang selama ini telah hidup berdampingan dengan alam. Tanah dan hutan habis untuk pembangunan food estate, menghancurkan hutan dan kehidupan tradisional Masyarakat Adat di Papua, menimbulkan tekanan dan perpecahan di antara komunitas Masyarakat Adat, bahkan mengancam hilangnya suku bangsa Malind Anim di Kabupaten Merauke.
Berbagai protes dan kritik Masyarakat Adat Papua dan berbagai organisasi atas PSN yang merampas ruang hidup Masyarakat Adat dan alam Papua, selama ini tak pernah didengar oleh pemerintahan sejak era Soeharto hingga Presiden Prabowo Subianto.
Alih-alih memegang prinsip free, prior, and informed consent (persetujuan awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi) yang merupakan bagian substansi dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), pemerintah Indonesia justru mengabaikan prinsip universal tersebut atas nama PSN.

“Negara telah melakukan kejahatan dengan merampas tanah adat kami. Perampasan tanah adat ini terjadi di seluruh tanah Papua dari Sorong sampai Merauke,” kata Shinta salah seorang korban PSN dari Suku Malind.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN, Rukka Sombolinggi meminta kepada semua orang di dunia, terutama Indonesia untuk bisa melihat apa yang selama ini dihadapi oleh Masyarakat Adat Papua. “Warga Indonesia berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, untuk memperoleh itu, kita tidak boleh menghisap darah dan air mata, serta hak-hak saudara kita masyarakat adat di Papua,” kata Rukka.
Dengan kehadiran Pelapor Khusus PBB ini, Masyarakat Adat Papua dan berbagai organisasi masyarakat sipil berharap dunia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Papua, dan bagaimana perampasan wilayah adat dan perampasan hak-hak sipil terus terjadi dan semakin masif. Dan berharap PBB mengambil sikap yang tegas atas tindakan pemerintah Indonesia terhadap Masyarakat Adat di Tanah Papua. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!