Manokwari, Jubi – Diskusi Kelompok Terpumpun yang diselenggarakan komunitas Sahabat Polisi Indonesia di Manokwari, Provinsi Papua Barat, pada Kamis (2/10/2025) mengkaji penegakan hukum berbasis kultural sebagai solusi atas berbagai persoalan penegakan hukum di Papua Barat. Diskusi terpumpun itu juga membahas wacana pembentukan peradilan adat.
Diskusi Kelompok Terpumpun bertema Penegakan Hukum Berbasis Kultur di Masyarakat itu menghadirkan Rektor Universitas Caritas Indonesia Manokwari, Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua Barat, anggota DPR Papua Barat, Pemerintah Provinsi Papua Barat, serta para aktivis HAM, mahasiswa, maupun tokoh organisasi kemasyarakatan.
Koordinator Jaringan Hak Asasi Manusia dan Jaringan Tokoh, Edison Baransano mengatakan, penegakan hukum berbasis kultur di Tanah Papua mestinya bersandar kepada peradilan adat. Ia menyatakan peradilan adat adalah ruh Otonomi Khusus Papua, dan harus dibentuk untuk menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi Orang Asli Papua. Baransano menyebut lembaga lain yang harus dibentuk berdasarkan Otonomi Khusus Papua adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
*****************
Jubi.id adalah media yang berbasis di Tanah Papua. Media ini didirikan dengan sumberdana masyarakat melalui donasi dan crowd funding. Dukung kami melalui donasi anda agar kami bisa tetap melayani kepentingan publik.
*****************
“Bicara tentang penyelesaian masalah hukum berbasis kultur, kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang mengamankan pembentukan peradilan adat dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU Otonomi Khusus Papua sejatinya merupakan resolusi konflik, bukan penyelesaian dalam bentuk uang [Dana Otonomi Khusus],” kata Baransano disela diskusi terpumpun itu.
Baransano mengingatkan semua pihak bahwa Otonomi Khusus Papua hadir karena adanya tuntutan kemerdekaan Papua. Otonomi Khusus Papua merupakan jawaban pemerintah pusat atas tuntutan kemerdekaan Papua, di mana provinsi di Tanah Papua diberi wewenang khusus untuk melindungi hak Orang Asli Papua. Akan tetapi, Baransano menilai beberapa kalangan sudah melupakan asal muasal Otonomi Khusus Papua itu.
Rektor Universitas Caritas Indonesia Manokwari, Prof Dr Roberth KR Hammar SH MHum MM CLA mengatakan bahwa selama ini penyelesaian masalah hukum di Papua Barat kerap ditautkan dengan hukum negara. Padahal, ada banyak masyarakat adat di Tanah Papua yang memiliki hukum ada masing-masing, dan hukum adat itu seharusnya digali dan menjadi acuan penyelesaian masalah hukum di Papua Barat.
Prof Roberth mengatakan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sudah menyebut bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria di Indonesia. Itu merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan hukum adat.
“Segala perihal berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam seharusnya menoleh ke sana [ke hukum adat]. Negara dengan perangkat hukumnya melihat praktik baik dalam masyarakat adat, sehingga penyelesaian [perkara hukum], terutama dalam perkara ringan, diselesaikan dalam masyarakat adat. [Itu] seperti [penyelesaian masalah hukum] dalam restorative justice,” katanya Prof Roberth.
Ia mengapresiasi diskusi terpumpun yang dibuat Sahabat Polisi Indonesia. “Ke depan, dalam penerapan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru itu sudah ada living law. Kita perlu sinergitas antara negara dan masyarakat hukum adat dalam rangka membangun negara yang lebih solid,” katanya.
Terkait wacana peradilan adat, Prof Roberth menyatakan pembentukan peradilan adat sudah pernah didorong, namun prosesnya tidak berjalan. “Kita mendorong peradilan adat sekitar tiga atau empat tahun lalu, tetapi tidak jalan. Ada pemahaman bahwa kalau kita menerapkan hukum adat, di Papua Barat saja ada banyak suku, maka terjadi kebingungan. Menurut saya, kita [bisa] membentuk kerangka kelembagaan, pedoman [beracara hukum adat], namun isinya kembali ke [hukum adat] masing-masing daerah,” ujarnya.
Ia mengakui pembentukan peradilan adat harus mempertimbangkan kemungkinan adanya persoalan hukum antara masyarakat adat dan warga non-masyarakat adat. Ada pula kemungkinan persoalan hukum di antara masyarakat adat yang berbeda daerah/adat istiadatnya.
“Itu bisa didiskusikan untuk mencari cara yang tepat, selama tidak melanggar norma-norma baik di dalam masyarakat adat Papua, [dan tidak] bertentangan dengan Pancasila,” jelasnya.
Ketua Sahabat Polisi Indonesia Papua Barat, Jalil Lambara mengatakan kegiatan ini merupakan upaya menangkap keresahan masyarakat atas kondisi penegakan hukum di Papua Barat. “Kita tahu bersama bahwa persoalan [benturan hukum negara dan hukum adat] di Papua Barat selama ini terutama masalah palang memalang kawasan umum. [Selain itu], persoalan hukum yang mestinya diselesaikan di ranah adat selalu di bawa ke ranah hukum [negara],” katanya
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPR Papua Barat, Amin Ngabalin mengatakan bahwa pihaknya siap menangkap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pembentukan regulasi, termasuk regulasi untuk membentuk peradilan adat. “Tentang peradilan [adat] ini, konsep pemikiran yang akan didorong dalam kebijakan juga menjadi perhatian Majelis Rakyat Papua Barat,” kata Ngabalin
Ia berharap konsep peradilan adat itu bisa disampaikan ke DPR Papua Barat, sehingga bisa disusun sebagai Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!