Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyebutkan bahwa Papua adalah wilayah rawan konflik, bukan wilayah konflik. Pada wilayah rawan konflik diskresi kepolisian dilakukan dalam menangani eskalasi konflik.
Ramandey menjelaskan Papua termasuk kategori wilayah rawan konflik karena konflik di Tanah Papua terjadi secara sporadis atau tidak merata. Misalnya konflik yang rentan terjadi di Yahukimo, Nduga, Intan Jaya, Puncak, Paniai, Dogiyai, Maybrat dan beberapa daerah lainnya yang tidak meliputi keseluruhan wilayah. Menurut dia wilayah yang bisa disebut wilayah konflik adalah wilayah dengan konflik yang terjadi secara massal dengan isu-isu tertentu.
“Kalau gerakan [konflik] massal, kita menyebutnya wilayah konflik. Tapi karena gerakannya sporadis, jadi kita menyebutnya daerah rawan konflik,” kata Frits Ramandey kepada jubi saat ditemui di kantornya, Jalan Soa Siu, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua, Kamis (29/2/2024).
Ramandey menjelaskan kategori wilayah rawan konflik itu bukan hanya karena adanya gerakan kekerasan, misalnya dalam hal ini konflik antara TNI/Polri dengan TPN-PB saja. Tetapi gerakan kekerasan yang kadang-kadang juga terjadi antara sesama orang asli Papua, seperti konflik perang suku.
“Gerakan kekerasan, tiba-tiba orang Papua demo soal tenaga kerja, demo hak-hak orang Papua di partai politik, demo soal tanah. Itu terjadi sporadis, dan dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) menyebutnya wilayah rawan konflik,” kata Frits.
Seperti halnya pada peristiwa penangkapan dua remaja di Yahukimo baru-baru ini karena disangka terkait TPNPB, menurut Ramandey tindakan itu adalah bentuk diskresi kepolisian dalam menangani eskalasi konflik.
Pada wilayah rawan konflik salah satunya Yahukimo, lanjut Frits, orang-orang yang ada di sekitar lokasi terjadinya eskalasi konflik itu dapat langsung dibawa sebagai tindakan untuk mengamankan atau diskresi kepolisian. Namun, ketika warga yang ada di lokasi eskalasi konflik itu ‘diamankan’, aparat keamanan tidak boleh melakukan penganiayaan terhadap warga tersebut.
“Yang jadi masalah adalah ketika warga yang diamankan mereka mendapat penganiayaan,” ujarnya.
Kepala kantor Komnas HAM Papua itu mengapresiasi pihak aparat keamanan yang saat ini telah melepaskan dua remaja Yahukimo tersebut, dan menyatakan mereka bukan bagian dari TPNPB atau kelompok sipil bersenjata.
Jika dua remaja itu mendapatkan penganiayaan atau penyiksaan sewaktu diamankan, kata Frits Ramandey, maka mereka berhak membuat laporan pengaduan ke Polres, Propam, atau ke Komnas HAM untuk bisa ditindaklanjuti secara hukum.
“Kalau mereka mendapatkan penganiayaan atau penyiksaan, mereka bisa buat laporan pengaduan ke Komnas HAM,” katanya.
Kepala kantor Komnas HAM Papua itu berharap di daerah- daerah rawan konflik seperti Yahukimo, Nduga, Intan Jaya, Maybrat dan lainnya masyarakat bisa dilokalisir. Komnas HAM meminta TNI/Polri tidak boleh melakukan penganiayaan, apalagi pembunuhan dalam situasi tertentu ketika orang tidak berdaya, atau tidak mengancam. (*)