Jayapura, Jubi – Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Tioria Pretty menyatakan kebanyakan calon hakim ad hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia yang tengah diseleksi Mahkamah Agung tidak memiliki cukup kemampuan dan pemahaman masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM. Pernyataan Tioria itu didasarkan hasil pemantauan tahapan wawancara dalam proses seleksi 33 calon hakim ad hoc Pengadilan HAM.
Hal itu dinyatakan Tioria selaku pembicara dalam diskusi daring “Peradilan HAM Kasus Paniai 2014 dan Tantangan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Tanah Papua” yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) pada Jumat (22/7/2022). Menurut Tioria, 33 calon hakim ad hoc yang mengikuti tahapan wawancara seleksi itu telah disaring dari 100 orang pendaftar.
“Kontras ikut memantau secara langsung proses wawancara di sana. Sayangnya, [dari] 33 [orang yang mengikuti tahap wawancara seleksi calon hakim ad hoc], mayoritas kurang memiliki pengetahuannya tentang pelanggaran HAM. Bahkan beberapa calon yang tidak bisa membedakan antara tindak pidana biasa dan pelanggaran HAM,” kata Tioria.
Menurut Tioria, bahkan ada calon hakim ad hoc yang lolos hingga tahapan wawancara, namun tidak memahami Hukum Acara persidangan. “Ada [calon] yang tidak tahu soal apa itu eksepsi, hal yang sangat dasar dalam Hukum Acara,” kata Tioria.
Melihat hasil tes wawancara itu, Tioria pun mengkhawatirkan kualitas persidangan yang akan digelar Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Paniai Berdarah
“Kami mencoba membuat peringkat dari hasil tes wawancara 33 peserta. Yang menurut kami nilainya tidak merah hanya dua orang. Sementara 31 peserta lainnya skor merah. Padahal Mahkamah Agung hendak memilih 12 hakim untuk sidang kasus Paniai Berdarah,” ujar Tioria.
Ia mengaku pesimis dengan proses persidangan kasus Paniai Berdarah di Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar. “Saya pesimis [dengan] proses persidangan itu. Kualitas hakim yang akan memimpin sangat memalukan. Bisa jadi [hasil persidangannya] sama seperti kasus Abepura Berdarah,” katanya.
Kasus Abepura Berdarah adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Kota Jayapura pada 7 Desember 2000. Kasus itu disidangkan di Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar pada 2005. Kedua terdakwa kasus Abepura Berdarah, Brigjen Pol Johny Wainal Usman dan Kombes Daud Sihombing divonis bebas Pengadilan HAM Ad Hoc Makassar untuk kasus Abepura Berdarah pada 8 dan 9 September 2005. (*)
Discussion about this post