Jayapura, Jubi – Ada tiga pulau lain di Pasifik Selatan yang memiliki upacara berjalan di atas batu panas, menyerupai ritual berjalan di atas batu barapen panas di Biak, yang dikenal sebagai ritual Apen Bayeren. Ketiga pulau itu adalah Pulau Beqa di Fiji, Pulau Britania Baru di Papua Nugini, dan Raiatea di Tahiti.
Ritual Apen Bayeren sejak lama menarik perhatian para antropolog dan pengamat. “Upacara berjalan di atas batu api panas di Pasifik Selatan memiliki beberapa aspek yang aneh,” tulis Robert Langdon dalam artikelnya dalam majalah Pacific Islands Monthly edisi Mai 1966.
Langdon mengakui ada upacara sejenis yang biasa dilakukan oleh orang India, misalnya warga India di Fiji. Akan tetapi, ritual berjalan di atas batu panas yang dilakukan masyarakat adat di Pasifik Selatan berbeda dan khas dengan budaya di Pasifik Selatan—mulai dari persiapan, hingga pemaknaan ritual tersebut.
“Saya sendiri baru tahu ada upacara berjalan di atas batu panas di Biak setelah membaca laporan dari Hugh Clarke saat menulis upacara Apen Bayeren. Upacara itu pertama kali dipentaskan di Hollandia pada April 1960,” tulis Langdon.
Langdon menggambarkan ritual di Hollandia (sekarang Kota Jayapura) dengan rinci. Menurutnya, upacara Apen Bayeren itu digelar untuk menandai peletakan batu pertama gedung parlemen di Holandia, yang kini menjadi gedung DPR Papua. Saat itu, para penari menyusun kayu bakar dan batu yang akan dipanaskan hingga setinggi 16 meter.
Sebelum melaksanakan upacara Apen Bayeren itu, orang-orang Biak memasak bakar batu atau barapen makanan berupa babi, sayuran dan umbi-umbian. Selanjutnya, mereka menggelar ritual berjalan di atas batu yang panas itu.
Apen Bayeren di Biak
Apen Bayeren di Pulau Biak saat ini hanya bisa dilakukan oleh warga di Kampung Adoki, Distrik Yendidori, Kabupaten Biak Numfor. Hanya tokoh tua Mansar Alveres Yepen yang sampai sekarang tetap mempertahankan tradisi Apen Bayeren di Biak, khususnya Kampung Adoki.
Apen Bayeren termasuk upacara pengucapan syukur terhadap Sang Pencipta, yang dalam bahasa Byak disebut Wor Fan Nanggi. Orang Byak mengucapkan syukur karena Wor Fan Nanggi telah menyertai dan melindungi serta ikut berperan dalam Wor ‘Bor, atau upacara inisiasi.
Belakangan, Apen Bayeren lebih banyak tampil dalam festival karena upacara itu diminati wisatawan sebagai atraksi budaya. Padahal, upacara itu sakral, dan dalam tradisinya tidak boleh dihadiri oleh kaum perempuan.
Sebelum mengikuti ritual Apen Bayeren, kaum lelaki terutama tua-tua adat tidak boleh berhubungan dengan istrinya, atau melakukan hal tidak sesuai dengan adat. Pasalnya Apen Bayeren harus dilakukan dengan hati dan jiwa yang bersih.
Upacara ini akan dimulai dengan membuat api ungun. Di atas api unggun itu akan diletakkan batu, dibakar hingga panas berpijar. Setelah itu, batu panas memerah dan arang-arang dipisahkan. Para tua-tua adat akan mengoleskan minyak dan daun Sandia di telapak kaki setiap lelaki yang akan berjalan di atas batu panas itu.
Lagu pujian berjudul Neno neo akan dinyanyikan mengiringi kaum pria berjalan di atas batu berpijar. Anehnya, telapak kaki para penari tidak lecet, terbakar, atau melepuh.
Mendiang antropolog Dr EH Rumansara pernah menulis makna Lagu pujian Neno neo itu. “Neno-neno Manseren Beba I dadoi kyon do Yen Saoneko, yen Saonek yen Saunek… Artinya, Wahai Allah turunlah dan diami hati kami, saya mohon turunlah diami hati kami,” tulis Dr EH Rumansara dalam artikelnya berjudul “Transformasi Upacara Adat Papua: Wor dalam lingkaran hidup orang Biak”.
Ritual sakral itu akan digelar delegasi masyarakat adat Biak yang mengikuti Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN VI) di Kabupaten Jayapura. Kongres yang dihadiri masyarakat adat dari seluruh Nusantara itu akan berlangsung pada 24 – 30 Oktober 2022.
Ritual serupa di Pulau Beqa
Seperti disebutkan oleh Robert Langdon, ritual berjalan di atas batu barapen yang panas ternyata juga hidup di tiga pulau lain di Pasifik Selatan. Di Fiji, sebuah negara yang berjarak sekitar 5.000 kilometer dari Biak, ritual serupa Apen Bayeren itu ada di Pulau Beqa, sebuah pulau kecil yang didiami Suku Sawau.
Di Pulau Beqa, hanya garis keturunan Tuinaiviqalita yang bisa mendapatkan daun atau minyak untuk upacara berjalan di atas batu panas, yang dalam sejumlah literatur antropologi disebut fire walking ceremony. Tradisi itu dimulai sekitar 500 tahun yang lalu di sebuah kampung dataran tinggi Nakarovu.
Dewa roh dalam budaya orang Beqa telah ditangkap oleh moyang marga Tuinaiqalita, sehingga mereka tidak akan terbakar jika berjalan di atas batu panas berpijar. Dipercaya, garis keturunan Tuinaiviqalita “kebal” dari panasnya batu barapen itu karena telah memperoleh “veli” atau dewa roh mereka.
Meskipun Pulau Biak dan Pulau Beqa terpisah jarak ribuan kilometer, ada kesamaan antara orang Biak dari Kampung Adoki dengan Suku Sawau di Pulau Beqa dalam mempersiapkan ritual itu. Cara orang Biak dan Suku Sawau membakar batu barapen, menyiapkan makanan keladi bete atau talas, santan kelapa, berikut ikan serta daging babi, memiliki banyak kemiripan.
Semua bahan makanan itu dimasak di dalam lubang berisi batu panas yang dilapisi dedaunan. Lalu, bahan makanan itu ditutupi dengan dedaunan lagi, kemudian ditimbuni pasir, sehingga tidak ada uap yang keluar. Setelah urusan memasak itu selesai, barulah para lelaki Suku Sawau di Pulau Beqa menggosokkan minyak tertentu, lalu berjalan di atas batu yang panas.
Kini, di Pulau Beqa ritual itu juga menjadi atraksi budaya di ajang pentas seni dan budaya, ataupun dijadikan atraksi menghibur para turis yang berkunjung ke sana. Serupa dengan Apen Bayeren yang biasa dihadirkand alam berbagai festival budaya.
Ada pula di Kampung Bainim
Ritual serupa Apen Bayeren juga ada di Papua Nugini, tepatnya di Kampung Kampung Bainim, Gaulim, yang bisa dijangkau dengan perjalanan sekitar satu setengah jam dari Kokopo, di belahan timur Pulau Britania Baru. Di Kampung Bainim, ritual itu biasa digelar pada musim kunjungan wisatawan, dikenal sebagai upacara Baining Fire Dance.
Laman internet fotografi perjalanan, ANYWAYINAWAY melansir artikel Papua New Guinea Culture & Traditions: Baining Fire Dance yang menuturkan tradisi tarian api dari Kampung Bainim itu. ANYWAYINAWAY menyebutkan bahwa “Tari Api Baining” adalah upacara sakral yang unik bagi orang-orang Baining, yang tinggal di pegunungan dengan nama yang sama yang terletak di Provinsi Britania Baru Timur atau East New Britain, Papua Nugini.
Orang Baining, atau “orang semak” dalam bahasa Tolai, adalah penduduk asli Semenanjung Gazelle. Mereka diyakini telah didorong jauh ke pegunungan oleh orang-orang Tolai yang bermigrasi dari New Ireland ke East New Britain. Mereka juga mungkin pindah karena aktivitas gunung berapi Tavurvurand.
Tarian api Baining hanya dilakukan pada acara-acara khusus, seperti inisiasi anak laki-laki menjadi dewasa. Mereka juga melakukan upacara ini untuk memperingati orang yang meninggal, merayakan panen dan kelahiran, pernikahan, dan acara-acara khusus lainnya. Kini, tarian itu juga biasa dipentaskan dalam rangkaian Festival Topeng Nasional.
Mirip dengan Apen Bayeren di Biak, dalam tradisi lama tarian api Baining juga hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Para perempuan dan gadis Baining dilarang berpartisipasi atau bahkan menonton tarian ritual itu. Roh-roh hutan, yang diwakili oleh topeng yang dikenakan oleh para penari api, diyakini berbahaya bagi mereka.
Bahkan hingga hari ini para wanita dan gadis Baining tidak bisa mendekati tempat pertunjukan. Juga tabu bagi perempuan untuk mengunjungi lokasi di mana anak laki-laki membuat topeng mereka.
Saat api semakin tinggi dan tinggi, seorang pria dengan topi kerucut yang disebut “Lingen” mendekati api itu dengan tangan dan kakinya dicat putih. Daun pandan tergantung di sekitar topi kerucutnya, dan ekor kain kulit kayu disematkan di dasar putaran. Dia akan memimpin roh-roh malam selama pertunjukan ritual malam itu.
Sekelompok tetua kampong duduk di tanah di tepi area tarian. Nyanyian dan ketukan dengan tongkat bambu dengan memukul batang kayu besar, mereka menghasilkan musik berirama yang menghipnotis. Para penari, para pemuda Baining yang diinisiasi, tiba-tiba muncul dari kegelapan mengenakan topeng mereka yang menakjubkan dengan mata raksasa menatap liar ke sekeliling.
Satu per satu pria menari solo di depan paduan suara sepanjang lagu sebelum bergabung dengan pria lain di sekitar api unggun. Ketika semua penari berkumpul kembali, mereka memulai tarian liar mereka yang panik di sekitar api dengan iringan nyanyian dan pemukulan bambu. Mereka menginjak api dan menendang bara api tetapi tidak ada yang lecet maupun melepuh.
Di Raiatea pun serupa
Masyarakat adat lain yang memiliki tradisi berjalan di atas batu panas itu adalah masyarakat adat Raiatea di Tahiti. Kini, ritual itu biasa diselenggarakan pada festival tradisional Heiva.
Tahua atau tua-tua adat Tahiti menyiapkan parit panjang yang diisi dengan api dari kayu dan pohon kelapa kering yang ditutupi dengan batu vulkanik. Batu vulkanik itu akan dibayar selama 24 hingga 48 jam, sampai batu itu berwarna putih dan sangat panas. Upacara serupa Apen Bayeren itu dimulai setelah serangkaian mantra dibaca. Satu demi satu, relawan diundang untuk berjalan melintasi batu panas.
Laman internet Moana Voyages melansir bahwa upacara berjalan di atas batu panas itu diyakini menjadi sarana untuk menyucikan diri. “Rupanya, itu berfungsi untuk menyucikan tubuh dan jiwa. Meskipun panas tetapi yakinlah telapak kaki tidak terbakar maupun melepuh sedikitpun,” tulis Moana Voyages dalam artikel “Fire walking, an incredible experience to live in French Polynesia!” (*)